Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Kamis, 30 Juni 2011

Penolakan Konsep Langue Saussure oleh Kristeva

Pendahuluan
Seperti konsep makna dalam linguistik Saussure bahwa kritik makna dapat dipahami karena adanya posisi diferensial dalam struktur bahasa, dan sifat bahasa yang arbitrer; yang berarti tanda memperentasikan sesuatu berdasarkan kesepakatan dan kebiasaan penggunaan, bukan berdasarkan keharusan. Dalam konsep Saussure ini, keseimbangan antara penanda dan petanda senantiasa berada pada posisi genting. Ini berbeda dari konsep posstrukturalis, secara umum, petanda direndahkan dan penanda diposisikan dominan. Ini berarti tidak ada hubungan satu-satu antara proposisi dan realitas. Ini sesuai dengan konsep Lacan tentang ‘’selalu terpelesetnya petanda di bahwa penanda’’.
Ciri yang mendasar dan perbedaan postrukturalisme dengan strukturalis yang melihat kebenaran berada ‘’di balik’’ atau ‘’di dalam’’ teks. Postrukturalisme menekankan interaksi pembaca dan teks sebagai produktivitas. Dengan kata lain aktivitas membaca kehilangan status sebagai tindakan konsumsi suatu produk secara pasif dan diubah menjadi tindakan aktif.

Pembahasan
A.    KONSEP STRUKTURALIS SAUSSURE
Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap. Menurut De Saussure ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke dalam analisis semiotik, sering digunakan pola ilmu bahasa. De Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu-tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain sebagainya. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. Jadi kita dapat menanamkan benih suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda di tengah-tengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari psikologi umum, yang nantinya dinamakan oleh De Saussure sebagai semiologi.
Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena strukturalisme mengkaji pikiran-pikiran yang terjadi dalam diri manusia. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda  (termasuk didalmnya upacara-upacara, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa. Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan sehari-hari juga mengenai proses kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia, dianalisa berdasarkan strukturnya melalui petanda dan penanda, langue dan parole, sintagmatik dan paradikmatik serta diakronis dan sinkronis. Semua realitas sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan.
Membaca pemikiran Saussure tentang strukturalisme, seolah-olah kita diajak untuk berdialog sistemik yang dapat mengantarkan kita pada wilayah linguistik dan gramatikal. Mengingat landasan filosofis yang digagas Saussure lebih menekankan pada aspek kajian bahasa yang merupakan nilai filosofis terpenting dalam memahami arus strukturalisme. Kajian Saussure memang tak lepas dari aspek linguistik, sehingga analisis strukturalisme yang digagasnya mempunyai relevansi dengan sistem tanda maupun bahasa. Itulah kenapa, strukturalisme berupaya mengisolasi struktur umum aktivitas manusia dengan mengaplikasikan analogi pertamanya dalam bidang linguistik. Seperti yang kita ketahui, bahwa linguistik struktural melakukan empat perubahan dasar. Pertama, linguistik struktural bergeser dari kajian fenomena linguistik sadar ke kajian infratuktur tak sadarnya. Kedua, linguistik struktural tidak melihat pengertian sebagai identitas independen, dan menempatkan hubungan antar pengertian sebagai landasan analisisnya. Ketiga, linguistik struktural memperkenalkan konsep sistem. Keempat, berusaha menemukan sistem hukum umum.Walaupun melakukan perubahan secara mendasar, strukturalisme yang digagas Saussure banyak mendapatkan kritik pedas dari berbagai filosofis yang kompeten dalam bidang strukturalisme.

B.     FEMINISME POSTMODERN & POSTSTRUKTURALIS
Feminisme posmodern (postmodern feminism) adalah sebuah pendekatan terhadap teori feminis yang memadukan teori posmodern dan postrukturalisme. Para tokoh feminisme ini menghindari istilah-istilah yang mengisyaratkan adanya suatu kesatuan yang membatasi perbedaan. Mereka menolak untuk mengembangkan penjelasan dan penyelesaian yang menyeluruh mengenai opresi terhadap perempuan. Meskipun hal ini menghadirkan masalah besar bagi teori feminis, namun penolakan ini juga memperkaya pluralitas dalam feminisme.
Para feminis postmodern seperti Helene Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva menawarkan pandangan masing-masing mengenai bahasa. Misalkan saja dengan mengadopsi konsep différance milik Derrida, Helene Cixous mengkontraskan tulisan feminin (l’écriture feminine) dan tulisan maskulin. Tulisan yang berkualitas adalah tulisan yang mengandung ‘gairah’ sebagaimana yang terdapat dalam tulisan feminin, bukan mengandung rasio (reason) seperti pada tulisan maskulin. Ia mengajak untuk menulis jenis tulisan feminin dengan terus mengeksplorasi seksualitas, erotisme, dan femininitas. Menurutnya seksualitas feminin dan tubuh perempuan adalah sumber dari tulisan perempuan.

C.     KRITIK KRISTEVA TERHADAP KONSEP LANGUE SAUSSURE
Ciri-ciri pasca strukturalis: pertama, tanda tidak stabil, sebuah penanda tidak mengacu pada sebuah makna yang pasti. Dalam hal tertentu terjadi ambiguitas, yakni sesuatu yang dianggap sah. Kedua, membongkar hirarki makna. Pada oposisi biner, hirarki makna itu dibongkar. Ketiga, menciptakan heterogenitas makna, terbentuk pluralitas makna, pluralitas tanda yaitu persamaan hak dalam pertandaan. Dalam postmodernisme menggunakan prinsip Form Follows Fun dengan model semiotik penanda dan makna ironis.
Salah satunya adalah Derrida yang secara tegas mengkritik landasan filosofis strukturalisme Saussure. Pertama, ia meragukan kemungkinan hukum umum. Kedua, ia mempertanyakan oposisi antara subjek dan objek, yang menjadi dasar diskripsi yang objektif. Menurut Derrida, diskripsi objek tidak dapat dilepaskan dari pola hasrat subjek. Ketiga, ia mempertanyakan struktur oposisi biner. Ia mengajak kita untuk memahami oposisi bukan dalam pengertian lain, tetapi harus didasarkan pada pemahaman yang holistik mengenai persamaan yang seimbang, sehingga tidak terjadi pertentangan gagasan yang hanya akan melahirkan kejenuhan dalam ranah filsafat.
Mengacu pada kritik Derrida terhadap landasan filosofis strukturalisme Saussure, Kristeva menolak konsep langue Saussure yang mengenai sistem penandaan dengan menjelaskan intertektualitas sebagai pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya. Ia menggunakan istilah 'transposisi' untuk menjelaskan perlintasan di dalam ruang pasca sejarah ini, yang di dalamnya satu atau beberapa sistem tanda digunakan untuk menginterogasi satu atau beberapa sistem tanda yang ada sebelumnya. Interogasi tekstual ini dapat menghasilkan ungkapan-ungkapan baru yang sangat kaya dalam bentuk maupun makna.
 
Penutup dan Kesimpulan
Dalam konsep Saussure keseimbangan antara penanda dan petanda senantiasa berada pada posisi genting. Ini berbeda dari konsep postrukturalis, secara umum, petanda direndahkan dan penanda diposisikan dominan. Ini berarti tidak ada hubungan satu-satu antara proposisi dan realitas.
Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena strukturalisme mengkaji pikiran-pikiran yang terjadi dalam diri manusia. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda  (termasuk didalmnya upacara-upacara, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa.
Ciri-ciri pasca strukturalis: pertama, tanda tidak stabil, sebuah penanda tidak mengacu pada sebuah makna yang pasti. Dalam hal tertentu terjadi ambiguitas, yakni sesuatu yang dianggap sah. Kedua, membongkar hirarki makna. Pada oposisi biner, hirarki makna itu dibongkar. Ketiga, menciptakan heterogenitas makna, terbentuk pluralitas makna, pluralitas tanda yaitu persamaan hak dalam pertandaan.

Proses Reduplikasi (kata-kata ulang)

1.      PENDAHULUAN
Proses pengulangan merupakan salah satu bagian dari proses morfologik, khususnya dalam bahasa Indonesia. Sebagaimana yang diketahui, proses morfologik merupakan proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya. Selain proses pengulangan, dalam morfologik bahasa Indonesia terdapat dua proses lainnya yaitu proses pembubuhan afiks dan proses pemajemukan.
Reduplikasi merupakan kata lain dari proses pengulangan. Menurut Kridalaksana (1993: 100), kata ulang adalah kata yang terjadi sebagai hasil kata ulang. Menurut Ramlan (1987: 63), reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan itu disebut kata ulang. Misalnya kata ulang koran-koran dari bentuk dasar koran, kata ulang perumahan-perumahan dari bentuk dasar perumahan. Ramlan dalam bukunya Morfologi: Suatu Tinjauan Deskritif, menguraikan empat macam perulangan, yaitu perulangan seluruh, perulangan sebagian, perulangan yang berkombinasi dengan  afiksasi, dan perulangan dengan proses fonemis.
Proses pengidentifikasian kata ulang diuraikan berdasarkan kategori kata ulang itu sendiri dalam suatu kalimat. Keserasian kata ulang juga dilihat dari penggunaan kata ulang itu dalam kalimat. Pemakaian kata ulang dalam sebuah kalimat menuntut adanya keserasian antara kata ulang dan unsur-unsur yang ada di dekatnya, baik dari segi makna maupun dari segi bentuk. Pengidentifikasian dalam bagian ini adalah identifikasi verba ulang, identifikasi adjektiva ulang, identifikasi adverbia ulang, dan identifikasi nomina ulang.

2.      PEMBAHASAN
2.1  Identifikasi Verba Ulang
Ada dua hal yang dilihat untuk menentukan identifikasi verba ulang dalam bahasa Indonesia, yaitu ciri morfologis dan ciri semantis.
2.1.1        Ciri Morfologis
Dalam bahasa Indonesia, ada bermacam-macam bentuk verba ulang, yaitu :
1.      Bentuk dasar + kata ulang : pada tipe ini, kata ulang terbentuk dengan mengulang bentuk dasar. Contoh : duduk-duduk, jalan-jalan, makan-makan, dan lihat-lihat.
2.      Bentuk dasar + ber-) + kata ulang : pada tipe ini, terdapat pengimbuhan dan kata ulang sekaligus. Contoh : berlari-lari, berkata-kata, dan bermain-main.
3.      Bentuk dasar + ber-) + kata ulang + –an
Contoh : bersalam-salaman, bersahut-sahutan, dan berkejar-kejaran.
4.      Bentuk dasar + (kata ulang + ber-)
Contoh : ganti-berganti dan balas-berbalas.
5.      Bentuk dasar + meN-) + kata ulang
Contoh : membawa-bawa, membaca-baca, melihat-lihat, dan melempar-lempar.
6.      Bentuk dasar + (kata ulang + meN-)
Contoh : pukul-memukul dan masak-memasak.
7.      Bentuk dasar + meN-) + kata ulang + –kan
Contoh : menggerak-gerakkan dan membesar-besarkan.

8.      Bentuk dasar + meN-) + kata ulang + –i
Contoh : menghalang-halangi dan merintang-rintagi.
9.      Bentuk dasar + kata ulang + -an
Contoh : lompat-lompatan dan tembak-tembakan.
10.  Bentuk dasar + ter) + kata ulang
Contoh : tergila-gila dan terheran-heran.
2.1.2     Ciri Semantis
Kata ulang selalu memiliki makna inheren yang terkandung di dalamnya. Sedikitnya ada tiga makna yang terkandung dalam verba ulang, yaitu :
1.      Perbuatan yang dilakukan untuk bersenang-senang atau tidak menpunyai tujuan sebenarnya. Contoh : duduk-duduk, berjalan-berjalan, menulis-nulis.
2.      Perbuatan yang dilakukan berulang kali dan/atau terus-menerus. Contoh : berteriak-teriak dan memukul-mukul.
3.      Perbuatan yang dilakukan berbalasan. Contoh : pukul-memukul, ganti-berganti, dan bersembur-sembur.
2.2  Identifikasi Adjektiva Ulang
2.2.1     Ciri Morfologis
Dilihat dari segi morfologisnya, ada bermacam-macam bentuk kata ulang yang berkategori adjektiva, yaitu :
1.      Adjektiva ulang dapat terbentuk dari pengulangan kata dasar. Contoh : cantik-cantik, gagah-gagah, miskin-miskin, kaya-kaya, kuat-kuat, lemah-lemah, rajin-rajin, berani-berani, bersih-bersih, dan malu-malu.
2.      Adjektiva ulang dapat terbentuk dari kata dasar + imbuhan.
a.)    Adjektiva ulang terbentuk dari bentuk ulang + ke-…-an. Contoh : kekuning-kuningan dan kekanak-kanakan.
b.)    Adjektiva ulang terbentuk dari kata dasar, tetapi ada fonem perulangannya yang berubah. Contoh : ramah-tamah dan kusut-musut.
c.)    Adjektiva ulang terbentuk dari kata dasar, tetapi ada penambahan beberapa fonem. Contoh : terang-temerang, kilau-kemilau, cerlang-cemerlang, dan gilang-gemilang.
d.)   Adjektiva ulang terbentuk dari perulangan kata dasar + se- + -nya. Contoh : secantik-cantiknya, sekuat-kuatnya, dan sebersih-bersihnya.
2.2.2     Ciri Semantis
Makna inheren yang terkandung di dalam adjektiva ulang dapat menimbulkan arti sebagai berikut.
1.      Agak, dengan bentuk ke-…-an + kata ulang bentuk dasar. Contoh : kekanak-kanakan, kebarat-baratan, dan kekuning-kuningan.
2.      Intensif kualitatif, dengan bentuk kata ulang bentuk dasar + -em-. Contoh : gilang-gemilang dan kilau-kemilau.
3.      Intensif kualitatif, dengan bentuk kata ulang bentuk dasar + se- + -nya. Contoh : secantik-cantiknya, sekaya-kayanya, dan sekuat-kuatnya.
4.      Sikap, dengan bentuk kata ulang bentuk dasar dengan perubahan fonem di awal kata pengulang. Contoh : ramah-tamah dan kusut-musut.
5.      Konsesif, dengan adjektiva yang diulang juga dapat menimbulkan arti konsesif. Contoh : kecil-kecil Ani dan Tono sudah dijodohkan.
2.3  Identifikasi Adverbia Ulang
Identifikasi adverbia ulang dapat dilihat dari segi bentuknya. Dalam bahasa Indonesia, ada bermacam-macam bentuk adverbial ulang, yaitu sebagai berikut.
1.      Adverbial ulang dapat terbentuk dari perulangan kata dasar.
Contoh : jarang-jarang, sering-sering, belum-belum, dan jangan-jangan.
2.      Adverbial ulang dapat terbentuk dari kata ulang bentuk dasar + –lah.
Contoh : tengah-tengahlah, sering-seringlah, dan baik-baiklah.
3.      Adverbial ulang dapat terbentuk dari se- + kata ulang bentuk dasar + -nya.
Contoh : selama-lamanya.
4.      Adverbial ulang dapat terbentuk dari kata ulang bentuk dasar + -an.
Contoh : mudah-mudahan, pagi-pagian, dan malam-malaman.
5.      Adverbia ulang dapat terbentuk dari kata ulang bentuk dasar + -nya.
Contoh : mula-mulanya, rupa-rupanya, dan agak-agaknya.
6.      Adverbia ulang dapat terbentuk dari se- + kata ulang bentuk dasar.
Contoh : seakan-akan dan sesering-sering.
7.      Adverbial ulang dapat terbentuk dari per- + kata ulang bentuk dasar.
Contoh : perlahan-lahan.
2.4  Identifikasi Nomina Ulang
2.4.1   Ciri Morfologis
Ada bermacam-macam bentuk nomina ulang, yaitu :
1.      Bentuk monomorfemis + kata ulang. Pada tipe ini, bentuk nomina ulang adalah mengulang bentuk dasar. Contoh : sepeda-sepeda, majalah-majalah, dan rumah-rumah.
2.      Bentuk polimorfemis + kata ulang. Tipe ini mengulang bentuk-bentuk berimbuhan. Contoh : jawaban-jawaban, uraian-uraian, dan permainan-permainan.
3.      Bentuk dasar + kata ulang yang diikuti perubahan vokal. Tipe ini mengulang bentuk dasar yang diikuti dengan perubahan vokal pada konstituen ulang. Contoh : corat-coret, warna-warni, dan desas-desus.
4.      Bentuk dasar + kata ulang yang diikuti perubahan konsonan. Tipe ini mengulang bentuk dasar yang diikuti dengan perubahan konsonan pada konstituen ulang. Contoh : lauk-pauk, sayur-mayur, dan beras-petas.
5.      Bentuk dasar + kata ulang + ber-. Tipe ini mengulang bentuk dasar yang diikuti dengan penambahan imbuhan ber- pada konstituen ulang. Contoh : anak-beranak, adik-beradik, dan baris-berbaris.
6.      Bentuk dasar + kata ulang + -em-/-el-. Tipe ini mengulang bentuk dasar yang diikuti dengan penambahan imbuhan –em-/-el- pada kostituen ulang. Contoh : jari-jemari, tali-temali, dan gigi-geligi.
7.      Bentuk dasar + kata ulang parsial. Tipe ini mengulang bentuk dasar yang diikuti dengan penambahan suku pertama yang disertai perubahan vokal atau bentuk dasar. Contoh : sesama, jejari, rumah-rumah sakit, dan surat-surat kabar.
8.      Bentuk dasar + kata ulang + -an. Tipe ini mengulang bentuk dasar yang diikuti dengan penambahan imbuhan –an pada konstituen ulang. Contoh : kartu-kartuan, kucing-kucingan, biji-bijian, dan tanam-tanaman.
9.      Bentuk dasar + kata ulang parsial + -an. Tipe ini mengulang bentuk dasar yang diikuti dengan penambahan suku pertama yang disertai perubahan vokal dan imbuhan –an. Contoh : dedaunan, pepohonan, dan rerumputan.
10.  Bentuk dasar + kata ulang ke-…-an. Tipe ini mengulang bentuk dasar yang diikuti penambahan imbuhan ke-…-an. Contoh : keibu-ibuan, kekanak-kanakan, kejawa-jawaan, dan kebarat-baratan.
2.4.2     Ciri Semantis
Makna inheren yang terkandung pada kata nomina ulang adalah :
1.      Ketaktunggalan atau kanekaan.
Contoh : sepeda-sepeda, warna-warni, dan sayur-mayur.
2.      Kegiatan yang melakukan sesuatu dengan ketaktunggalan.
Contoh : uraian-uraian, dan permainan-permainan.
3.      Segala kegiatan yang berkaitan.
Contoh : anak-beranak, dan baris-berbaris.
4.      Kekolektifan yang merupakan kumpulan yang sejenis.
Contoh : tali-temali, dan gigi-geligi.
5.      Kemiripan rupa.
Contoh : kartu-kartuan, kuda-kudaan, dan mobil-mobilan.
6.      Kemiripan cara.
Contoh : kucing-kucingan, keibu-ibuan, dan kekanak-kanakan.
7.      Kekolektifan yang merupakan kumpulan berbgai jenis.
Contoh : tanam-tanaman, biji-bijian, dan kacang-kacangan.

3.      PENUTUP
Proses pengidentifikasian reduplikasi ini meliputi segi morfologisnya yang menelaah proses pembentukan kata ulang serta segi semantisnya dengan menelaah makna inheren dari hasil pembentukan kata ulang itu. Karena dengan cara itulah, proses pengidentifikasian dapat terarah dengan mudah. Morfologi mampu menguraikan awal pembentukan kata ulang itu dari kata dasar hingga membentuk kata baru yang berupa perulangan kata. Sedangkan Semantik menegaskan makna yang terkandung dalam kata ulang itu sebagai hasil pembentukan dari kata dasarnya.
Dapat saya simpulkan, terdapat empat golongan proses pengulangan kata, sama seperti halnya Ramlan dalam bukunya Morfologi: Suatu Tinjauan Deskritif, menguraikan empat macam perulangan, yaitu (1) pengulangan seluruh bentuk dasar, (2) pengulangan sebagian dari bentuk dasarnya, (3) perulangan yang berkombinasi dengan  proses pembubuhan afiks, dalam golongan ini bentuk dasar diulang seluruhnya dan berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks dan bersama-sama pula mendukung satu fungsi, (4) dan perulangan dengan proses fonemis.
Fungsi semantik dalam proses pengulangan kata ini mampu menimbulkan berbagai makna yang inheren sebagai hasil pembentukan kata atau proses morfologis dari kata dasarnya, yaitu : “Perbuatan yang dilakukan untuk bersenang-senang atau tidak menpunyai tujuan sebenarnya, perbuatan yang dilakukan berulang kali dan/atau terus-menerus, perbuatan yang dilakukan berbalasan, agak, intensif kualitatif, konsesif, sikap, ketaktunggalan atau kanekaan, segala kegiatan yang berkaitan, kekolektifan, kemiripan rupa dan cara.”
Daftar Pustaka
-          Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia.
-                            Ramlan, M. 1987. Morfologi : Suatu Tinjauan Deskritif. Yogyakarta : UP Karyono.
-                            Winarti, Sri dkk. 2000. Kata Ulang dalam bahasa Indonesia : Tinjauan Sintaksis. Jakarta.

Proses Morfologis

Proses Morfologik
Pengertian proses morfologik.
Proses morfologik ialah proses pembentukan kata-klata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya. Bentuk dasarnya berupa berbagai kemungkinan bentuk kata. Seperti :
a.       Berupa kata. Kata menggergaji, dibentuk dari kata gergaji.
b.      Berupa pokok kata. Kata bertemu, dibentuk dari kata temu.
c.       Berupa frasa. Kata ketidakadilan, dibentuk dari frasa tidak adil.
d.      Berupa kata dan kata. Kata rumah sakit, dibentuk dari kata rumah dan kata sakit.
e.       Berupa kata dan pokok kata. Kata pasukan tempur, dibentuk dari kata pasukan dan pokok kata tempur.
f.       Berupa pokok kata dan pokok kata. Kata lomba tari, dibentuk dari pokok kata lomba dan pokok kata tari.
Dalam bahasa Indonesia, terdapat tiga proses morfologik, ialah proses pembubuhan afiks, proses pengulangan, proses pemajemukan.
Selain ketiga proses itu, terdapat satu proses lagi yaitu proses perubahan zero. Yaitu proses yang hanya meliputi sejumlah kata tertentu. Seperti kata makan, minum, minta, dan mohon. Karena kata-kata itu termasuk golongan kata verbal yang transitif. Tetapi sebagai kata verbal yang transitif, kata-kata tersebut tidak ditandai dengan afiks meN-, maka perubahan dari kata-kata makan, minum, minta, dan mohon sebagai bentuk dasar menjadi kata-kata makan, minum, minta, dan mohon sebagai kata verbal transitif itu disebut perubahan zero yang tidak ada perubahan.

Proses pembubuhan afiks.
Proses pembubuhan afiks ialah pembubuhan afiks pada sesuatu satuan, baik satuan itu berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentu kata. Satuan yang dilekati afiks atau yang menjadi dasar pembentukan bagi satuan yang lebih besar itu di sini disebut bentuk dasar. Misalnya afiks ber- pada jalan menjadi berjalan.
Ada bentuk dasar yang dapat berdiri sendiri sebagai kata, misalnya pakaian dalam berpakaian, serta jalan dalam berjalan. Tetapi ada jiga bentuk dasar yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata dalam penggunaan bahasa, misalnya temu dalam bertemu, serta alir dalam mengalir.
Penentuan bentuk dasar tidak terlepas dari prinsip adanya hirarki dalam bahasa. Bentuk dasar dalam proses pembubuhan afiks tentu merupakan salah satu dari dua unsur yang bukan afiks.

Afiks.
Afiks ialah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Setiap afiks tentu berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan secara gramatik selalu melekat pada satuan lain. Misalnya kata minuman. Kata ini terdiri dari dua unsur, ialah minum yang merupakan kata dan –an yang merupakan satuan terikat.
Afiks yang terletak di lajur paling depan disebut prefiks. Seperti meN- dan ber-.
Afiks yang terletak di lajur tengah disebut infiks. Seperti –el- dan –em-.
Afiks yang terletak di lajur belakang disebut sufiks. Seperti –kan dan –an.
Selain ketiga macam afiks di atas, terdapat satu afiks lagi yang disebut afiks terpisah atau simulfiks. Terletak di depan bentuk dasar kata dan di belakangnya. Seperti peN-an dan ber-an.
Morfem ber- dan –an pada kata berpakaian tidak merupakan simulfiks, karena ber- dan –an tidak melekat dan mendukung satu fungsi secara bersama-sama. Morfem –an melekat lebih dulu pada kata pakaian yang membentuk kata nominal. Sementara morfem ber- melekat kemudian dan berfungsi membentuk golongan kata verbal.
Afiks ber- dan –an pada berpakaian bebrbeda dengan afiks ber-an pada berlarian dan berhamburan. Afiks pada kata itu membentuk simulfiks karena melekat bersama-sama pada satu bentuk dasar, dan bersama-sama mendukung satu fungsi, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik.

Afiks yang prodiktif dan afiks yang improduktif.
Afiks yang produktif ialah afiks yang hidup, yang memiliki kesanggupan yang besar untuk melekat pada kata-kata atau morfem-morfem, seperti ternyata dari distribusinya, sedangkan afiks yang improduktif ialah afiks yang sudah using, yang distribusinya terbatas pada beberapa kata, yang tidak lagi membentuk kata-kata baru.

Proses pengulangan.
Proses pengulangan atau reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan itu di sini disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar. Misalnya kata ulang rumah-rumah dari bentuk dasar rumah, serta kata ulang berjalan-jalan dari bentuk dasar berjalan.

Bentuk dasar kata ulang.
Setiap kata ulang memiliki satuan yang diulang. Satuan yang diulang itu disebut bentuk dasar. Sebagian kata ulang dengan mudah dapat ditentukan bentuk dasarnya. Dapat dikemukakan dua petunjuk dalam menentukan bentuk dasarnya kata ulang :
1.      Pengulangan pada umumnya tidak mengubah golongan kata. Dijelaskan bahwa bentuk dasar kata ulang yang berupa golongan kata nominal berupa kata nominal juga. Begitu juga golongan kata verbal maupun kata sifat.
Contoh : menari-nari (kata kerja) mempunyai bentuk dasar menari (kata kerja). Gunung-gunung (kata nominal) mempunyai bentuk dasar gunung (kata nominal).
Cepat-cepat (kata sifat) mempunyai bentuk dasar cepat (kata sifat).
Namun ada pengecualian pada kata tinggi yang menjadi kata setinggi-tingginya serta kata jelek menjadi kata sejelek-jeleknya. Kata-kata itu termasuk golongan kata keterangan karena kata-kata tersebut secara dominan menduduki fungsi keterangan dalam suatu klausa, sedangkan bentuk dasarnya seperti kata tinggi dan kata jelek merupakan golongan kata sifat.

2.      Bentuk dasarnya selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa. Misalnya kata mempertahan-tahankan. Bentuk dasarnya bukan mempertahan melainkan mempertahankan, karena mempertahan tidak terdapat dalam pemakaian bahasa.
Bentuk dasar bagi kata ulang penting sekali artinya bagi penentuan golongan pengulangan. Misalnya, jika kata kemerah-merahan dikatakan terbentuk dari bentuk dasar merah, maka pengulangan pada kata kemerah-merahan termasuk golongan pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, tetapi jika dikatakan terbentuk dari bentuk dasar kemerah-merahan, maka pengulangannya termasuk golongan pengulangan sebagian.