Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Jumat, 06 Januari 2012

Keinginan Anak-anak daerah Gaza dalam puisi "Doa Anak-anak Gaza pada Pagi Hari"


A.     PENDAHULUAN
Sebagaimana pendapat Samuel Taylor Coleridge mengenai definisi puisi, puisi adalah kata-kata terindah dalam susunan terindah. Serupa dengan pernyataan tersebut, Prof. Dr. Rahmat Djoko Pradopo pun berpendapat bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.
Dimaksud dengan teks puisi yaitu teks-teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur. Selain itu teks puisi bercirikan penyajian tipografik tertentu. Definisi ini mengenai teks-teks puisi tidak hanya mencakup jenis-jenis sastra, melainkan pula ungkapan bahasa yang bersifat pepatah, pesan iklan, semboyan politik, syair lagu-lagu pop, dan doa-doa (Luxemburg dkk, 1986: 175).

Dari pengertian tersebut dapat diterangkan mengenai hakikat puisi sebagai teks monolog dari penyair yang berkomunikasi satu arah kepada pembacanya. Penyair mengundang para pembaca memberi respon terhadap teks monolog yang diciptakan penyairnya, tetapi tidak secara langsung saat dimunculkan karya penyair itu. Karena tentu para pembaca haruslah memikirkan dan melalui proses pembacaan berulang-ulang. Kemudian isi teks puisi di atas tentu tidak hanya permasalahan sastra, tetapi cenderung pada problematika kehidupan yang muncul di masyarakat termasuk permasalahan budaya, politik, sosial, ekonomi, ideologi dan lain-lain. Seperti sering pada saat ini, banyak puisi muncul dengan berlatar belakang permasalahan kehidupan sosial dalam bentuk kritik dan ditujukan pada pemerintahan. Lingkungan dan alam sekitar termasuk hal yang menarik untuk dijadikan tema dalam pembuatan puisi.
Tema mengenai lingkungan dan alam sekitar dalam puisi memberikan aspek yang cukup luas dan dapat dinikmati oleh khalayak pembaca. Kehadiran sebuah sajak mengenai lingkungan bukan semata-mata ekspresi nilai estetika seorang penyair semata, karena sajak tersebut berisikan muatan moral atas terciptanya lingkungan yang menentramkan. Melalui sajak tentang lingkungan, kita bisa mengkritisi tata olah kehidupan alam semesta ini.
Dalam menilai suatu karya sastra, tentu telah banyak yang tahu bagaimana para penafsir menafsirkan suatu karya sastra agar dapat mengetahui maksud pengarang dalam karya tersebut. Metode penilaian yang sederhana ini tentu dimulai dengan bagaimana kita dapat mengetahui kode-kode dalam memaknai karya sastra seperti kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya. Kode bahasa merupakan kode pertama yang mesti kita kuasai untuk memaknai kemudian menilai karya sastra. Meskipun terlihat sebagai kode yang paling mudah untuk dimengerti, namun tentu sangat sulit dimengerti jika memakai kata-kata yang berambigu dan memerlukan pengetahuan yang cukup. Selanjutnya kode budaya dan kode sastra sangat diperlukan dalam menilai karya sastra ini.

B.     PEMBAHASAN
DOA ANAK-ANAK GAZA DI PAGI HARI
Tuhan
Pagi ini kami ingin sekolah
Kami rindu pada madrasah kami yang indah
Kami rindu pada cerita Lubna dan Antarah
Tentu juga Sirah Rasulillah
Pagi ini kami ingin secuil roti
Kami ingin sepotong keju
Setetes susu
Dan sebutir Tin dan Zaitun
Pagi ini kami ingin belaian cinta
Ayah kami tercinta
Paman kami tercinta
Kakek kami tercinta
Pagi ini kami ingin matahari
Yang cerah menyinari gaza
Dan mengusir segala kecemasan jiwa
O Tuhan, apakah mereka akan merampas juga
Matahari kami, atau menutup Gaza
Tanpa matahari
Sehingga tak ada lagi pagi bagi kami
Tuhan
Biarlah mereka mengucilkan kami dari dunia
Asal setiap pagi
Kau masih tersenyum pada kami
Dunia tidak penting lagi bagi kami
Tuhan
Kami tidak pernah mengemis kemerdekaan pada siapapun
Karena kami telah memiliki kemerdekaan itu
Setiap kami menyebut nama-Mu
Dan setiap kami rukuk dan sujud kepada-Mu
Tuhan ini pagi ini kami tetap tersenyum kepada-Mu
Maka tersenyumlah kepada kami.
Karya Habiburrahman El-Shirazi.

Puisi tersebut merupakan salah satu puisi dari beberapa puisi milik Habiburrahman El-Shirazi yang diciptakan sebagai bentuk keprihatianan atas serangan tentara zionis Israel kepada penduduk Palestina yang tinggal di daerah sengketa Gaza. Tidak hanya bentuk keprihatinan, namun juga merupakan bentuk protes sosial yang tentu menuntut tanggung jawab moral dari pasukan Israel atas kekejaman mereka di Gaza. Terpilihnya puisi ini sebagai objek kajian karena mempunyai unsur lingkungan sebagai petunjuk yang memberikan deskripsi cukup memadai tentang makna puisi ini. Karena bagaimanapun lingkungan dalam puisi tersebut merupakan cerminan dari keadaan sebenarnya makna puisi realitas tersebut. Proses penafsiran (hermeneutik) ini digunakan untuk menggambarkan secara gamblang makna puisi tersebut.
Dari judul puisi tersebut yaitu “Doa Anak-anak Gaza Pagi Hari”. Merupakan judul yang menarik karena tentu terlintas di pikiran para pembaca mengenai anak-anak yang dalam kondisi perang meminta doa seperti apa saat pagi hari, saat ingin memulai kegiatannya. Tentu jawaban atas pertanyaan tersebut yaitu doa keselamatan yang paling utama di ucapakan dari bibir mereka. Keselamatan dirinya, orangtuanya, dan sanak keluarganya jelas menjadi hal yang utama. Selanjutnya mengenai keselamatan lingkungan tempat mereka tinggal, rumah, sekolah, dan masjid. Karena mereka sangat mengerti tentang hidup di daerah penuh konflik atas negara Israel, mereka terpaksa menyisihkan doa masa depan mereka agar memwujudkan cita-citanya. Mereka pun sadar bahwa sebutir peluru dapat menghancurkan doa mereka pada pagi hari, memalfungsikan doa menjadi hal yang sia-sia dan tidak berguna.
Bait pertama, menunjukan suatu doa seorang subjek yang dikenali sebagai anak kecil Palestina yang tengah terlibat dalam perang di Gaza. Anak tersebut memanjatkan doa untuk dapat melanjutkan pendidikannya yang terbengkalai karena perang tersebut. Kata “Tuhan” sebagai kata yang pertama ia ucapkan mempunyai kesan jika anak tersebut menganggap Tuhan sebagai dzat yang penting dan selalu hadir dalam hatinya, sehingga anak tersebut merasa sangat membutuhkan pertolongan Maha Penciptanya. Karena anak tersebut merasa kehilangan lingkungan tempat ia menempuh pendidikannya, madrasah. Baris kedua menunjukan jika dia menginginkan pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu. Seolah sekolah dengan kegiatan pembelajarannya merupakan sesuatu hal yang sulit untuk dilakukan selama kondisi perang ini. Hal ini menunjukan jika sekolah sebagai lingkungan hidup mereka dan hal yang paling utama mereka butuhkan sehingga diletakkan dalam bait pertama. Hal tersebut terbengkalai karena situasi yang sedang bahaya untuk anak-anak ataupun karena sekolah mereka telah hancur akibat perang.
Pada bait kedua terlihat sebagai ungkapan atas keinginan untuk makan yang sehat, bergizi, dan tentu melezatkan bagi anak-anak seumuran mereka. Seperti yang tertera pada bait kedua, hasil alam seperti susu, roti, keju, dan buah tin/zaitun merupakan makanan yang sulit didapatkan dalam kondisi perang. Padahal makanan tersebut merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tersebut. Namun anak-anak tersebut memang terancam dalam pertumbuhan gizi mereka, karena dijumpai kata-kata seperti “secuil”, “setetes”, “sebutir”, dan “sepotong”. Kata-kata tersebut seolah permohonan meminta dengan sangat makanan-makanan bergizi seperti keju, susu, roti, dan buah-buahan. Padahal mereka berhak dari segi untuk dapat tumbuh dan berkembang serta memperoleh hasil produksi alam berupa makanan yang bergizi dan buah yang sangat diberkati oleh Tuhan (Tin dan Zaitun).
Pada bait ketiga merupakan bait yang menunjukan jika anak-anak tersebut merupakan manusia yang masih butuh kasih sayang, bimbingan, dan dukungan dari orang-orang terdekat mereka. Dalam umur yang masih kecil, tentu individu membutuhkan bimbingan orang-orang terdekat mereka untuk mengenal dunia ini. Selain itu perhatian dari orang-orang terdekat sangat mereka butuhkan. Sehingga kehilangan orang-orang terdekat merupakan bencana yang tidak ingin terjadi pada setiap individu. Seperti pada bait tersebut, mereka ingin kasih sayang dari keluarga mereka. Tetapi mereka tidak menemukan hal tersebut. Bukan karena keluarga mereka tidak mempunyai rasa kasih sayang, namun keluarga mereka hilang atau seperti terpisah dengan anak-anak tersebut. Dapat dibayangkan kesendirian mereka di tempat pengungsian terpisah dengan keluarga mereka. Tidak jelas nasib keluarga mereka, mungkin berada di tempat pengungsian lainnya ataupun telah berada di surga. Tanda tanya jelas hadir dalam diri setiap anak. Karena kehadiran lingkungan keluarga yang membuat hati tiap individu tentram dalam menjalani kehidupan sekeras apapun.
Pada bait keempat dan kelima, masih seperti bait-bait sebelumnya yang menyatakan suatu keinginan, maka pada dua bait ini menyebutkan keinginan anak-anak tersebut agar matahari tetap selalu hadir menyinari dan memberikan energi kekuatan jiwa dan mental pada rakyat Palestina. Karena bagi mereka terdapat suatu keindahan tersendiri ketika menjumpai matahari pada pagi hari, seolah berkah dari Tuhan ketika bangun tidur pada pagi hari dan melihat matahari bersinar di ufuk timur. Hingga mereka lalu mengucapkan rasa syukur karena masih diberi kesempatan untuk melihat matahari di pagi hari. Seperti pada bait ke empat, suatu pengharapan hadirnya matahari yang cerah sedikit menghiasi pagi yang seharusnya berudara sejuk, namun berbau anyir darah dan kimia mesiu. Hal tersebut sangat dibutuhkan oleh rakyat Palestina untuk menguatkan jiwa mereka agar tetap hidup dan bertahan mencapai cita-cita. Karena hari-hari mereka selalu mempunyai rutinitas yaitu ketakutan mereka akan kematian yang bisa menjemput kapan saja. Mereka sebenarnya tidak takut akan kematian, namun mereka takut jika kematian mereka sia-sia demi kepentingan Israel, mereka juga masih mempunyai cita-cita yang perlu pemwujudan. Hal mengenai ketakutan akan kematian tersebut tersimbolkan pada bait kelima melalui simbol matahari. Matahari pada bait kelima tersebut seolah mewakili harapan kehidupan rakyat Palestina. Sehingga jika matahari tersebut terampas oleh tentara Zionis, maka kematianpun akan datang menghampiri rakyat Palestina di Gaza seperti pada baris “Sehingga tak ada lagi pagi bagi kami”.
Keinginan-keinginan di atas merupakan keinginan dari anak-anak Gaza berupa doa dan ditujukan pada Tuhan, sebagai Dzat pemilik mutlak segalanya termasuk pemilik hak atas pencabutan nyawa mereka dari dunia. Hal tersebut tertera pada bait keenam puisi ini. Mereka mencoba untuk mengabaikan serangan Israel yang datang tiap hari, karena bagi mereka Tuhan Maha Pemurah lagi Maha Penyayang yang merupakan satu-satunya muara doa yang mereka panjatkan. Mereka jelas membutuhkan rahmat, rezeki, dan hidayah dari Tuhan. Hal itu disebabkan karena bala bantuanpun telah diblokir oleh Israel dari negara-negara lainnya, sehingga Gaza seperti daerah yang benar-benar terlihat terjajah. Namun segalanya atas restu Tuhan, setidaknya hal tersebut yang mereka yakini.
Seperti pada bait sebelumnya, bait ketujuh dan kedelapan ini mengungkapkan rasa syukurnya terhadap Tuhan sebagai spirit kejiwaan mereka. Bait ini mengungkapakan jika mereka-rakyat Palestina telah merdeka, namun bukan merdeka secara fisik yang mereka punyai tapi kemerdekaan rohani mereka sebagai umat yang beragama Islam dan taat akan Tuhannya. Situasi dan kondisi telah menghancurkan harapan mereka untuk hidup lebih bahagia dari sebelumnya, sehingga mereka tidak membutuhkan kemerdekaan secara konstitusi. PBB sebagai tempat permintaan perlindungan negara, tidak mampu berbuat banyak atas serangan Israel. Sehingga hanya Tuhan yang akan membuat mereka sibuk dengan doa-doa yang hadir setiap saat dan dipanjatkannya. Permintaan yang sederhana, permintaan agar mereka diberi “senyuman” oleh Tuhan merupakan harapan yang terlihat sebagai doa kemakmuran atas tanah air mereka, Gaza-Palestina.
C.     PENUTUP
Secara keseluruhan, puisi di atas mengungkapkan keinginan-keinginan anak kecil pada umumnya yang tinggal di daerah Gaza tersebut. Pendidikan, makanan, rasa cinta dari keluarga, keselamatan, dan harapan atas berakhirnya perang merupakan serangkaian kebutuhan yang mereka ingin dapatkan. Namun yang paling terpenting yaitu mendapatkan ridho Tuhan. Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang merupakan pernyataan yang dapat membuat mereka tenang dan tegar menghadapi kemungkinan-kemungkinan kematian.
Jika dihubungkan dengan aspek lingkungan, puisi tersebut cukup memberikan gambaran mengenai rusaknya lingkungan tempat tinggal di daerah konflik seperti Gaza. Kerusakan mungkin mencapai 75% jika diperhitungkan secara persentase totalitas kehancuran. Hal tersebut dapat dilihat karena saat ini zaman modern dan pelaku perang sendiri merupakan manusia-manusia yang sangat mengerti akan teknologi, sehingga mereka menggunakan senjata modern juga. Seperti yang diketahui, senjata modern dapat menghancurkan apapun tergantung porsinya, dapat dibayangkan pohon-pohonan, rumah-rumah, gedung sekolah tidak bisa lepas dari kerusakan parah.
Hal ini tidak sesuai dengan beberapa prinsip yang dihasilkan dari Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro tahun 1992. Berupa prinsip keadilan antar generasi yang berkseimpulan jika manusia mempunyai hak untuk hidup dan menempati bumi bukan dalam kondisi yang buruk akibat perbuatan generasi sebelumnya. Jelas hal itu merupakan suatu bentuk pelanggaran, kerusakan yang ditimbulkan berefek ke depan, ke arah generasi selanjutnya yang terancam kemiskinan hidup akibat lingkungan yang tidak memadai dan ilmu pengetahuan yang tidak terakomodasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar