Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Rabu, 29 Juni 2011

Upacara Tradisional Di Yogyakarta

BAB 1: PENDAHULUAN
Latar Belakang
Khitan merupakan sebuah adat dan perintah yang harus di jalani oleh khususnya pemeluk agama islam. Seseorang di katakan sah menjadi orang islam jika dia sudah di khitan. Kata khitan untuk pria yaitu memotong sebagian kulit depan zakar yang menutupi kepala zakar tersebut. Menurut  ajaran agama Islam, khitan berlandaskan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah memerintahkan fitrah (hygiene) itu ada lima:  khitan, mencukur bulu zakar, mencabut bulu ketiak, mencukur kumis, dan memotong kuku. Abu Hurairah juga mengabarkan, bahwa Nabi Muhammad SAW itu sudah khitan. Nabi Ibrahim khitan saat usia 80 tahun dengan mempergunakan kampak.
Acara khitan tak sekedar di lakukan seadanya. Jogja, yang merupakan kota budaya adalah salah satunya. Acara khitanan di sana, khususnya daerah kraton, sangatlah unik dan patut untuk di teliti. Acara khitan di Yogjakarta selalu ada upacara adat. Sesungguhnya khitanan di kawasan Kraton Yogyakarta tidak khusus hanya upacara saja, akan tetapi ada beberapa rangkaian upacara yang dilakukan. Di antaranya Majang Tarub, Siraman, Ngabekten, dan Gres. Bahkan beberapa waktu  (selapan dina) sudah ada upacara selamatan yang menyiagakan berbagai  ubarampe makanan. Antara lain sega ambengan, jenang teriwarna, sega gurih, jenang onang-aning, ingkung, pisang raja, ketan kolak, apem, rujak degan, dan jajan pasar. Semua seolah hanya agar Ngarsa Dalem dan semua Putra-putri Ngarsa Dalem sejahtera. Panjang usia untuk Ngarsa Dalem. Luhura Ngarsa Dalem, Luhura Keprabon Ngarsa Dalem. Ubarampe (peralatan dan perabot) upacara khitanan di antaranya (1) Tarub dengan mayang megar dan berbagai tanaman, (2) Pekobongan, (3) Pasareyan Pajangan, (4) Ampilan (Panjujuh, Cengkah, Kebut, Botol, Papan Rokok), (5) Jamu Mamahan, dan (6) Ageman Agung.
Majang artinya menghias. Tarub maknanya memasang sarana peneduh, yang berupa bangunan nonpermanen (sementara) yang terletak di sebelah depan rumah atau pemukiman. Gunanya untuk menyiapkan sarana duduk para tamu, yang juga lazim disebut tratag.
Hal inilah yang menjadi daya tarik untuk kami meneliti lebih jauh acara khitan di Yogyakarta. Meskipun di berbagai daerah juga terdapat acara upacara khitan, namun di Yogyakarta, upacara tersebut di lakukan dengan unik dan penuh dengan adat yang sangat kental. Bicara tentang Yogyakarta memang tak ada habisnya jika membahas masalah adat. Oleh karena itu, acara khitan di daerah Yogyakarta adalah sumber inspirasi bagi kami untuk mengkajinya lebih dalam.
Pengertian Kebudayaan secara Etimologis :
Secara etimologis, kata “kebudayaan” berarti hal-hal yang dikaitkan dengan akal. Namun ada pula anggapan bahwa kata “budaya” berasal dari kata majemuk budidaya yang berarti “daya dari budi” atau “daya dari akal” yang berupa cipta, karsa, dan rasa.
Para pakar antropologi budaya Indonesia umumnya sependapat bahwa kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah. Kata budaya adalah bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Kata “kebudayaan” itu sepadan dengan kata culture dalam bahasa Inggris. Kata culture itu sendiri berasal dari bahasa Latin colere yang berarti merawat, menjaga, memelihara, dan mengolah, terutama mengolahtanah atau bertani.
Konsep Kebudayaan :
  1. Sir Edward B. Tylor
Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks dari ide dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam penglaman historisnya”. Termasuk di sini ialah “pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kemampuan serta perilaku lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”. 
  1. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya.
  1. C. Kluckhohn
Kebudayaan adalah pola hidup yang tercipta dalam sejarah, yang eksplisit, implisit, rasional, irasional dan nonrasional yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman tingkah laku manusia

Unsur-unsur kebudayaan universal :
1.      Peralatan dan perlengkapan hidup manusia : Sesuatu yang berguna bagi masyarakat karena dapat membantu kegiatan masyarakat dalam kehidupan. Sistem ini meliputi alat-alat produksi, senjata, wadah, alat penyala api, makanan dan minuman, pakaian, tempat berlindung, dan alat transportasi.
2.      Sistem mata pencaharian hidup : Sistem yang meliputi pencaharian sehari-hari suatu masyarakat untuk membekali hidup masyarakat itu ke depan. Biasanya mata pencaharian hidup suatu kelompok masyarakat hanya satu jenis mata pencaharian.
3.      Sistem kemasyarakatan : Sistem yang mengatur kegiatan dan perilaku masyarakat dalam berhubungan dengan sesamanya. Sistem ini meliputi nilai, norma, beserta sanksinya.
4.      Sistem pengetahuan : Seperangkat sistem mengenai pengetahuan-pengetahuan tentang segala hal yang berkaitan dan berguna bagi masyarakat dan kebudayaannya dan berkaitan dengan unsur peralatan dan perlengkapan.
5.      Sistem bahasa : Sistem komunikasi yang menggunakan suara yang dihubungkan satu sama lain menurut seperangkat aturan sehingga mempunyai arti.
6.      Sistem kesenian : Sistem yang penggunaannya kreatif imajinasi untuk menerangkan, memahami dan menikmati kehidupan.
7.      Religi : Sistem kepercayaan dari pola perilaku yang dimiliki oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting dan aspek-aspek alam semesta yang tidak dapat dikendalikannya oleh teknologi maupun organisasi sosial yang dikenalnya.

Dari penjelasan mengenai kebudayaan di atas, kami mengambil salah satu unsur kebudayaan yang akan dibahas dalam makalah ini. Yaitu mengenai unsur kebudayaan yang religi atau sistem kepercayaan yang dianut. Dari unsur religi itu juga dapat dibagi menjadi empat unsur pokok religi yaitu :
a.)    Emosi Keagamaan : Unsur yang paling dasar atau menjadi pangkal individu dalam melakukan kegiatan keagamaan.
b.)    Sistem Kepercayaan : Unsur ini bertumbuh dari adanya emosi keagamaan dan berbentuk suatu keyakinan bersama dari sekelompok orang yang seagama.
c.)    Sistem Upacara : Unsur ini dibangun dari timbulnya emosi keagamaan dan sistem kepercayaan tertentu. Unsur ini banyak disebut ritual.
d.)   Komunitas keagamaan : Unsur ini biasanya terpupuk dari solidaritas oleh berbagai sistem upacara (ritual) yang dilakukan menurut aturan keagamaan tertentu.

Maka dari itu, kami mempersempit bahasan yang kami bahas. Yaitu hanya meliputi upacara/ritual khitan keagamaan islam yang berada di lingkup keraton Yogyakata. Seperti diketahui, keraton Yogyakarta bernafas dan menganut agama islam. Banyak upacara keagamaan di keraton Yogyakarta seperti khitanan, perkawinan, grebeg, dan malam selikuran. Tapi kami hanya membahas ritual khitan saja, meliputi perangkat upacara, pakaian, makna simbolik yang terkandung dalam upacara itu, dan do’a dalam upacara itu.

Landasan Teori
Kebudayaan adalah “totalitas pengetahuan manusia, pengalaman yang terakumulasi dan yang ditranmisikan secara sosial”, atau singkatnya “kebudayaan adalah tingkah laku yang diperoleh melalui proses sosialisasi” (Keesing, 1958:18). Hal itu menandakan bahwa proses sosialisasi memegang peran penting dalam terjadinya kebudayaan yang berupa tingkah laku. Tingkah laku itu timbul karena pentranmisian pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki tiap individu secara sosial dan totalitas.
Sementara konsep kepercayaan/agama yaitu berupa pandangan-pandangan atau interpretasi-interpretasi tentang masa lampau serta penjelasan-penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa predikisi masa depan juga, atau berdasarkan common sense dan kebijaksanaan ilmu pengetahuan (Maran, 2007:38-39).
Jadi apa yang dimaksud khitan dalam pandangan islam yaitu membukakan kepala zakar dengan cara memotong kulit pucuk (ujung) kulup seorang laki-laki. Dilihat dari segi kesehatan, Islam mewajibkan bagi setiap muslim laki-laki untuk dikhitan. Hukum Islam menganjurkan juga agar “sunatan” dilakukan pada saat seorang anak berumur 7 hari, asal tidak membahayakan (Juyuboll, 1925 :16), mengingat saat ini umur 7 hari merupakan umur anak masih bayi, maka dalam praktek dilaksanakan pada umur belasan tahun atau 7 tahun.
Dalam kulup atau kulit penutup kepala alat kemaluan laki-laki (penis) sering terdapat kotoran yang bernama keputihan yang dinamakan kalat. Karena kalat itu dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada kelamin laki-laki atau wanita melalui persetubuhan.

BAB 2 : PEMBAHASAN
1.      Perihal Khitanan
1.1  Khitanan dalam Islam
Bilamana ditelusuri dari segi bahasa, kata khitan berasal dari bahasa Arab “Khatana”, jadi khitan adalah istilah resmi dalam agama islam, dalam istilah lain yaitu sunatan. Juga berasal dari bahasa Arab “Sunnah”= adat.
Hukum islam secara tegas tidak mengajarkan mengenai khitanan, meskipun demikian para ulama menunjuk Al Qur’an surat An Nisa ayat 125 dengan arti “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangannya”.
Maka dari itu, setiap muslim diwajibkan mengikuti agama Nabi Ibrahim. Agama Nabi Ibrahim diriwayatkan hanya Ibrahim ketika dalam usia yang lanjut baru bersunat, yakni ketika beliau sudah berumur 80 tahun.
Jadi yang dimaksud dengan khitanan adalah membukakan kepala zakar (glaus penis) dengan membuangkan praeputium glandis (kulup). Dalam kulup atau kulit penutup kepala alat kemaluan laki-laki (penis) sering terdapat kotoran yang bernama keputihan yang dinamakan kalat. Karena kalat itu dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada kelamin laki-laki atau wanita melalui persetubuhan.

1.2  Khitanan dalam kalangan masyarakat Jawa
Sunatan berasal dari kata sunat, yang berarti memotong kulub. Sunat sendiri dalam bahasa Jawa berarti “tetak” untuk anak laki-laki, atau “tetes” untuk anak perempuan. Selanjutnya sunatan adalah upacara sunat baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan.
Menurut adat Jawa pada umumnya, tingkatan hidup seorang manusia dapat dilihat pada peristiwa-peristiwa mulai dari kelahiran, anak-anak, khitanan, perkawinan, dan kematian. Saat-saat peralihan dari tingkat hidup yang satu ke tingkat hidup selanjutnya merupakan saat-saat yang penuh bahaya. Oleh sebab itu pada saat-saat seperti itu, diadakanlah upacara-upacara yang maksudnya untuk menolak bahaya gaib yang dianggap mengancam individu.
Yang dimaksudkan dengan upacara khitanan di lingkungan Keraton Yogyakarta sebenarnya bukan hanya semata-mata terdiri dari upacara saja, melainkan terdiri dari beberapa urutan yang merupakan satu rangkaian.
Upacara khitanan juga terdiri dari 4 rangkaian, tapi memiliki 1 acara khusus setelah upacara Siraman yaitu acara Tuguran/Midodareni. Berikut urutan upacara khitanan ini:
- Upacara majang tarub (menghias tarub)
- Upacara siraman
- Upacara ngabekten (minta do’a restu)
- Upacara gres (puncak)

2.      Upacara Majang Tarub
2.1 Pengertian
Majang berasal dari bahasa jawa artinya yaitu menghias, majang asal kata dari “Pajang”, kemudian kata tersebut mendapat akhiran “-an” dan menjadi “Pajangan”. Adapun yang dimaksud dengan Tarub adalah memasang tambahan “eyub-eyub” (tempat berteduh), yaitu suatu bangunan sementara/darurat didepan rumah pokok untuk menampung tamu yang cukup banyak.
2.2 Alat-Alat Perlengkapan
Alat-alat yang diperlukan untuk majang antara lain, “Bleketepe”, yaitu daun kelapa muda yang dianyam, walaupun tidak semua atap dipasangi bleketepe artinya “wes tumplek blek ukete” (erat dan rukun). Maksudnya keluarga yang rukun saling membantu dan selalu berhubungan erat. Selanjutnya tarub ini dihiasi janur kuning. Janur kuning yang digunakan sebagai hiasan tarub tidak boleh digantung tapi harus disobek kecil-kecil atau dihilangkan lidinya.
Selanjutnya tarub ini dihiasi dengan “Tuwuhan” (tumbuh-tumbuhan) yang juga dilengkapi dengan seperangkat makanan. Bermacam-macam tumbuhan itu mengandung arti kemakmuran tanaman atau harapan kemakmuran bagi si anak dikemudian hari.
Selain “bangsal kencono”, tempat lain yang dihiasi  ialah “Gedong Gangsa, bangsal mandala sana, pakobongan, dan pasarehan pajangan”. Gedong Gangsa dan Bangsal Mandala sana ialah tempat gemelan yang selama berlangsung upacara selalu dibunyikan, gamelan untuk upacara ini bernama “Kyai Kebo Gang-Gang” yang memang semata-mata dibunyikan untuk menghormati pengkhitanan para putra sultan yang terdiri dari dua tempat yang masing-masing ada disamping kiri dan kanan pintu gerbang yang menghubungkan Kesatrian dan Pelataran Keraton.
Dikedua tempat ini yaitu pada kedua tiang yang terdapat dibagian dari Gedong Gangsal ini dipasang Tuwuhan. Perlengkapan benda-benda Tuwuhan antara lain :
1.      Pisang Raja Setandan, yang melambangkan adanya harapan agar anak yang dikhitan kelak menjadi anak yang agung.
2.      Setandan Kelapa Gading Muda, yang melambangkan adanya harapan agar anak yang dikhitan kelak banyak dikaruniai anak.
3.      Dua batang tahu beserta daunnya, yang melambangkan adanya harapan agar anak yang dikhitan itu selalu dikaruniai kegembiraan, ketentraman dan kemantapan.
4.      Seikat padi, yang melambangkan adanya harapan agar yang dikhitan itu dikemudian hari akan hidup makmur dan sejahtera, sehingga dapat menjamin kehidupan sanak keluarganya.
            Pekobongan yaitu suatu tempat khusus yang digunakan oleh para putra sultan untuk melaksanakan khitanan di dalam Bangsal Kencana. Tempat ini bukan merupakan suatu bangunan yang permanen, tapi dibuat dari kayu berukir yang sangat indah dan dicat berwarna merah tua serta berwarna emas.
            Pasarean Pajangan artinya tempat untuk tidur tapi hanya sekedar hiasan pajangan. Tempat ini terletak disamping tempat tidur yang sebenarnya dari anak Sultan. Pasarean itu dahulunya sebagai tempat tidur cadangan bagi penunggu anak yang dikhitan tapi sekarang sudah tidak lagi, dan pasarean lesehan itu melambangkan bahwa si anak yang dikhitan bisa merasa senang dan bahagia bila ada yang menemaninya.

2.3  Do’a Pada Majang Tarub
Upacara pada Majang Tarub ini diakhiri dengan pembacaan do’a oleh Abdi Dalem kaji berbunyi sebagai berikut :
·         Allhamdu lillahu hamdan yuwafi ni’amahu wa yukafii mazidah, Ya Robbana lakal hamdu kama yanbaghi li jalali wajhikal karim wa ‘azhimi shultanik.
·         Allhumma aksyif ‘anna minal bala-I wal waba-I wal ghala-I wal fahsya-I wal amradhi wakfitani ma layaksyifu gairuh, Robbana atina fiddunya khasanah wafil akhirati khassanah wakina adzabannar.
·         Allahumma inna nasaluka salamatan fidinniina, wa afiyatan jasadina, wa ziayadatan fi ilmina, wabarakatan fi rizkina, wa taubatan qabla mautina, warahmatan ‘inda mautina, wamaghfiratan ba’da mautina.
·         Allahumma hawwin ‘alaina fi sakaratil maut, wanna jata minannari wal ‘afwa ‘indal hisab. Robbana la tuzig qulubana ba’da id hadaitana wa hablana min ladunka rahmatan innaka autal wahhab. Rabbana atina fi dunya khasanah, wa fil akhirati khasanah, wakina adzabannar, Subhana Robbil izati amma yasyifun wa salamun ‘alal mursalin walhamdulillahirobbil alamiin. Al Fatihah.
Artinya :
·         Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan nikmat dan karunia-Nya.
·         Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu segala puji sesuai dengan kebesaran zat-Mu dan kemegahan kerajaan-Mu Yang Maha Mulia.
·         Ya Allah, hilangkan dari kami segala macam bala dan bencana dan malapetaka, dan kekejian, dan segala macam penyakit dan segala fitnah yang tidak bisa dihilangkan oleh siapa saja. Ya Allah, berilah kebahagiaan didunia dan kebahagiaan di akhirat dab jauhkan kami dari kesengsaraan.
·         Ya Allah, kami mohon kepada-Mu keselamatan agama, kesehatan jasmani, bertambah ilmu dan berkah rizki. Dapat bertobat sebelum mati, mendapat rahmat ketika mati dan mendapat ampun setelah mati.
·         Ya Allah, mudahkanlah bagi kami pada waktu menghadapi gelombang sakaratul maut, dan lepaskanlah dari api neraka dan mendapat kemanfa’atan ketika dihisab.
·         Ya Allah, janganlah digoncangkan hati kami setelah mendapat petunjuk, berilah kami rahmat, Engkau Maha Pemberi. Ya Allah, berilah kami kebajikan didunia dan kebajikan diakhirat. Maha Suci Engkau Allah Yang Maha Mulia, dan keselamatan atas segala Rasul dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Selanjutnya ditutup dengan membaca surat Al-Fatihah.
2.4 Pakaian yang di gunakan
Di saat itu para petugas yang di percayai untuk menyelesaikan masing-masing pekerjaan tersebut menggunakan pakaian jawa sebagaimana biasa setiap mereka masuk keraton yaitu berpakaian pranakan atau takwa atau yang lebih disebut baju surjan.

3.      Upacara siraman
3.1 Pengertian
Memandikan putra yang dikhitan dengan air kembang dengan harapan anak tersebut bersih dari segala noda baik yang menempal di dohir dan batin. Dengan didampingi oleh para bandara putri termasuk ibu dari putri raja, saudara perempuan, dan putri-putri kerabat Keraton yang dipimpin oleh bendara putri yang lebih muda sampai seterusnya. Siraman dilakukan dalam satu hari sebelum upacara gres.
Kegiatan ini dimulai dengan diguyurnya badan si anak yang akan dikhitan dengan air bunga, selanjutnya digosok param 7 macam hingga bersih. Lalu untuk mengakhiri acara ini bendara lurah putri menyiram dengan air landa merang, kemudian mengambil air untuk diwudlukan pada si anak, hingga menyiramkan air bunga dalam klenting ke kepala anak yang dikhitan. Setelah itu, baru klenting dipecahkan dengan cara membantingkan ke tanah.

3.2 Alat-alat perlengkapan
Perlengkapan yang diperlukan dalam upacara siraman adalah:
1.      Dingklik, yaitu bangku (kursi) kecil tempat duduk anak yang akan dikhitan, gunanya ialah agar anak bergerak-gerak bila di siram air, bila ia tidak diberi tempat duduk atau berdiri.
2.      Kain basahan berwarna putih atau menutupi badan sang anak, agar tidak kelihatan telanjang saat disiram.
3.      Kamar mandi
4.      Bahan-bahan kosmetik tradisional dan alat-alat rias serta cermin
5.      Parem tujuh macam untuk menggosok tubuh sang anak agar menghilangkan segala kotoran yang ada pada kulit.
6.      Air landak awu merang yaitu air endapan batang padi yang sudah dibakar
7.      Air asam
8.      Kelenting tempat air dari tanah liat berisi air yang sudah dido’akan
9.      Air kembang setaman yaitu melati, kantil dan mawar
10.  Permadani sebagai tempat duduk antara putri pengantar dan sang anak yang akan dikhitan sambil menunggu persiapan selesai
3.3  Do’a pada Upacara Siraman
Upacara siraman ini melambangkan kesucian dan kebersihan jasmani dan juga rohani anak yang akan melangsungkan upacara khitanan. Jadi siraman ini secara simbolis untuk kebersihan jasmani dan rohani dalam rangka “ngislamake”.
Sebelum klenting dipecahkan oleh bendara lurah putri, ia lebih dahulu membacakan do’a 3 macam yaitu ; do’a tolak bala, do’a thawwil umur, dan do’a selamat.
Do’a tolak bala :
·         Allahummakasyif ‘anna minal balsi, wal wabaai, wal ghala walfasyai, wal amrodhi wal fitani ma la yaksyifu gairuh.
Aritnya :
·         Ya Allah hilangkanlah dari kami segala macam bala dan bencana dan malapetaka dan kekejian da segala macam penyakit dan segala macam fitnah yang tidak bisa dihilangkan oleh siapapun.

Do’a panjang umur :
·         Allahuma thawwil a’marana wa shallih ajsadana wanawwir qulubana wa sabbit ima nana wa ahsin a’malana wa wassi’ wa ilal khairi qarribna wa’anis syarri ab’idna waaqdhi hawa fiddini waddunya wal akhirati innaka ‘ala kulli syai in qadir.
Artinya :
·         Ya Allah panjangkanlah umur kami, umur anak kami yang bernama……, sehatkanlah badan kami terangilah hati kami, tetapkanlah iman kami, perbaikilah amal kami, luaskanlah rejeki kami, dekatkanlah kami kepada kebaikan dan jauhkanlah kami dari kejahatan, tunaikanlah hajat kami, baik hajat agama dunia dan akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
3.4  Pakaian yang digunakan
Setelah Lurah putri yang memimpin para putri Keraton berada di tempat kamar mandi Kasatriyan, semuanya sudah berganti pakaian basahan dan berwarna putih. Pakaian untuk para petugas itu biasa yang dipakai oleh wanita Keraton yang terdiri dari beberapa bagian yaitu : sanggul, baju kebaya dari bahan lurik, atau kain batik yang bermacam motifnya. Baju memakai kutuban, bengkung stagen dan kemben, dan selendang lurik.

4.      Acara Tuguran/midodareni
4.1  Pengertian
Dengan selesai upacara siraman maka berarti putra raja sudah selesai berhias, sudah segar dan bersih. Sejak waktu itu putra raja yang akan dikhitan mulai dipingit di Kasatriyan, dilayani dan ditunggu oleh para kerabat mereka yang terdekat. Hal ini yang disebut acara Tuguran atau berjaga-jaga. Pada sore harinya, kepada para putra raja yang akan disunat dijarkan kalimat syahadat oleh ulama dari kawedwnan Pengulu Kraton.
Dalam acara ini Pakobongan juga ditunggu oleh petugas tertentu biasanya abdi dalem kepercayaan. Abdi dalem menjalankan tugas itu mereka selalu berdo’a, mengaji/tadarusan.

4.2  Alat-alat perlengkapan
Adapun perlengkapan yang diperlukan pada malam tuguran ini adalah sebagai berikut :
1.      Beberapa buah kitab suci Al-Qur’an yang akan dibaca pada waktu berjaga-jaga.
2.      Permadani atau tikar untuk duduk.
3.      Kitab yang berisi do’a dan shalawat nabi, untuk membacakan do’a yang akan dipanjatkan dalam rangka mohon keselamatan kepada Allah, mohon dijauhkan dari malapetaka.
4.      Kitab tafsir Al-Ibriz (Al-Qur’an yang ditafsirkan ke dalam bahasa Jawa).
4.3  Do’a pada Upacara Tuguran
Malam tuguran itu secara khusus tidak ada do’a, namun demikian lebih diutamakan di saat itu sebagai mukadimah membaca do’a. Meskipun hanya sedikit mendo’akan kepada para leluhur yang telah dikuburkan di suatu tempat, tetapi tidak seperti tahlil. Menjelang akhir upacara tuguran ini, para Punokawan Kaji menutup upacara tersebut  dengan membaca Shalawat Nabi berulang selama tujuh kali dan dilanjutan dengan do’a tolak bala. Shalawat Nabi itu yaitu sebagai berikut :
·         Allahumma shalli’ala Muhammad Wa’ala ali Muhammad. Kama shallaita’ala Ibrahim, wa’ala ali Ibrahim. Wabarik’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad. Kama Barakta’ala Ibrahim wa’ala ali Ibrahim. Fil’alamina innaka kami dum majid. 7x.
Artinya :
·         Ya Allah berilah keselamatan dan kesejahteraan kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan juga kepada para keluarganya sebagaimana telah Engkau berikan keselamatan itu kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya.7x
4.4  Pakaian yang digunakan
Pada acara berjaga-jaga ini, Abdi Dalem Kaji menggunakan pakaian biasa yang dipakai pada lingkungan Kraton yaitu pakaian Surjan. Sedangkan Punokawan Kaji memakai pakaian pakaian putih-putih menggunakan sorban, baju jas yang disebut antari dan memakai kain dengan berlipat engkol.
5.      Upacara Ngakbeten
Pengertian
Ngakbeten yaitu sungkem atau menghaturkan sembah kepada orangtua. Hal ini melambangkan pernyataan terima kasih kepada orangtua atas segala asuhan dan bimbingannya sampai saat ia dikhitan bahkan ia telah dewasa, serta mohon do’a restu agar sukses dan bahagia. Dalam acara ini tidak ada perlengkapan khusus yang langsung dipakai. Tidak ada do’a khusus juga pada acara sungkeman ini. Untuk pakaian dalam upacara Ngakbeten ini sama seperti yang akan dipakai pada upacara Gres yang akan dibahas selanjutnya.

6.      Upacara Gres (puncak)
6.1 Pengertian
Upacara Gres ini adalah puncak sunatan, yaitu puncak dari semua rangkaian upacara khitanan saat pemotongan kulit kepala kemaluan laki-laki si anak yang menyelimutinya. Upacara ini berlangsung pada pagi hari, sebelumnya anak yang akan dikhitan disuruh berendam dalamair beberapa lama, agar waktu gres darah tidak banyak mengalir.
Dalam upacara ini, putra Sultan yang akan dikhitan didampingi oleh Penganthi. Seorang pangeran yang bertugas mendampingi putra Sultan mulai dari hendak menuju Pekobongan hingga kembali ke Kasatriyan lagi.
Selain itu juga dikenal adanya Pemangku. Merupakan seorang yang diberi tugas memangku putra raja pada saat disunat. Pemangku juga merupakan seorang Pangeran.
Jika pelaksanaan khitanan sudah selesai semuanya, maka kembalilah Sultan ke Bangsal Kencono diiringi para Pangeran, kemudian seorang nerpa cundaka diutus pergi ke Bangsal Manis, tempat menyiapkan hidangan. Setelah itu, maka putra Sultan yang habis dikhitan tadi diperintahkan kembali ke Kesatriyan dengan diantar oleh para pengampil untuk beristirahat. Para putra Sultan bersama para Pangeran Pemangku/Penganthi berjalan menuju Kesatriyan diiringi ampilan seperti semula ketika menghadap. Kemudian Sultan memerintahkan bubar paowanan itu, raja sendiri masuk ke dalam puri dan yang lain pulang kembali ke rumah masing-masing. Maka selesailah rangkaian upacara khitanan dengan ditandai berakhirnya upacara Gres (puncak).
6.2 Alat-alat perlengkapan
Perlengkapan/alat upacara yang diperlukan disebut Ampilan. Ampilan yaitu benda-benda yang dibawa oleh serombongan petugas untuk  mengiringi putra raja sejak berangkat dari Kesatriyan hingga upacara selesai dan kembali ke Kestriyan. Ampilan itu berisi keperluan-keperluan putra raja yang sewaktu-waktu membutuhkannya, dapat segera terpenuhi. Alat-alat itu adalah :
a.     Pengunjukan yaitu tempat minum, terdiri dari cangkir dan tutupnya, dan sendok teh yang terbuat dari emas. Biasanya dengan ketel berisi air teh dan ditempatkan dalam sebuah talam kecil.
b.   Tempat rokok selengkapnya.
c.     Cengkal, sebuah benda terbentuk seperti jerat yang dibuat dari emas. Pangkalnya berbentuk seperti sangkutan. Cengkal ini diselitkan di bawah kain, dan bagian pangkal menyangkut pada ikat pinggang. Sedang gaunnya ialah untuk menjaga agar kain yang dipakai dapat terangkat longgar, sehingga tak dapat menggesek lukanya.
d.   Kebut, yaitu seperti kipas bertangkai panjang yang terbuat dari emas untuk menghalau lalat yang masuk serta hinggap ke luka.
e.     Sapu tangan beserta sebotol minyak wangi.
f.     Seperlangkapan obat-obatan yang disebut kenyohan atau mamahan terdiri dari beberapa butir jeruk nipis yang telah telah dikupas kulitnya dan beberapa bungkuh gula batu, kencur dan kunyit yang telah dipotong kecil-kecil. Kenyohan ini harus dikunyah si anak yang dikhitan tadi sehabis disunat.
Alat yang diperlukan untuk menyunat antara lain:
-      Sogok, untuk menyodok agar bisa meraba-raba/untuk memisahkan agar dapat mengambil kulitnya.
-      Japit, untuk menjepit agar jangan sampai mengiris kepala kelaminnya.
-      Pisau, untuk mengiris, terutama bagi anak yang gemuk.
-      Gunting, untuk menggunting, jika pemotongan kulit kelamin masih belum sepenuhnya membuka.
6.3  Do’a pada Upacara Gres
Sebelum putra Sultan yang akan dikhitan masuk ke dalam Pakobongan, oleh Bapak Pengulu Kraton dibacakan do’a sebelum masuk Pakobongan yang terdiri dari beberapa Shalawat Nabi, bacaan Tahmid 3x, do’a keselamatan.
Setelah itu, maka putra Sultan yang akan dikhitan diajari oleh Bong Supit (orang yang mengkhitan) yaitu membaca dua kalimat Syahadat dengan cara menutun pelan-pelan. Dua kalimat Syahadat itu adalah :
·         Bismillahir-rahman-nirrohim
·         Ashadualla-illaha-illalloh
·         Wa Asyhaduanna-muhammadar-rasullulloh
Artinya :
·         Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang
·         Aku bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah dan
·         Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul-Allah
Selanjutnya diniatkan pula suatu pemohonan kepada Tuhan sebagai berikut : “Ya Allah berilah kemudahan dan keselamatan dalam menjalankan tugas mengkhitani putra Sultan yang bernama ………… Akhirnya ditutup dengan membaca surat Al-Fatihah.
Setelah Bong Supit selesai membaca surat Al-Fatihah maka pengkhitanan langsung dimulai.
6.4  Pakaian pada Upacara Ngakbeten/Gres
Pakaian putra Sultan yang akan dikhitan memakai pakaian pranakan dengan segala kelengkapannya berupa :
1.      Pakai puputan (tutup kepala) dihias dengan benang emas.
2.      Memakai kalung bersusun tiga terbuat dari emas bertahtakan permata.
3.      Bajunya berbentuk sikapan tanpa lengan berwarna hitam, dihias dengan benang emas.
4.      Memakai kemers disulam benang emas.
5.      Pada kemers tersebut dipasang kretep bertahtakan permata.
6.      Kainnya nyamping pradan.
7.      Tubuh luar di bawah perut dikenakan pakaikan lontong kanan-kiri.
Sementara itu pakaian Sri Sultan mengenakan pakaian Jawa biasa yaitu berbaju surjan (taqwa) memakai keris. Para pangeran memakai pakaian takwa dan keris. Pakaian para Bupati berbaju Jawa biasa yairu beskapan berwarna putih memakai keris, warna putih melambangkan kegembiraan. Untuk Punokawan Kaji, memakai surban putih, berbaju anteri putih dan memakai golok. Pakaian Abdi Dalem Punokawan, Abdi Dalem Suranata, Abdi Dalem Pensiunan memakai pakaian pranakan.

BAB 3 : PENUTUP
Kesimpulan
Menurut adat Jawa pada umumnya, tingkatan hidup seorang manusia dapat dilihat pada peristiwa-peristiwa mulai dari kelahiran, anak-anak, khitanan, perkawinan, dan kematian. Saat-saat peralihan dari tingkat hidup yang satu ke tingkat hidup selanjutnya merupakan saat-saat yang penuh bahaya. Oleh sebab itu pada saat-saat seperti itu, diadakanlah upacara-upacara yang maksudnya untuk menolak bahaya gaib yang dianggap mengancam individu.
Jadi yang dimaksud dengan khitanan adalah membukakan kepala zakar (glaus penis) dengan membuangkan praeputium glandis (kulup). Dalam kulup atau kulit penutup kepala alat kemaluan laki-laki (penis) sering terdapat kotoran yang bernama keputihan yang dinamakan kalat. Karena kalat itu dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada kelamin laki-laki atau wanita melalui persetubuhan.
Upacara khitanan juga terdiri dari 4 rangkaian, tapi memiliki 1 acara khusus setelah upacara Siraman yaitu acara Tuguran/Midodareni. Berikut urutan upacara khitanan ini:
- Upacara majang tarub (menghias tarub)
- Upacara siraman
- Upacara ngabekten (minta do’a restu)
- Upacara gres (puncak)
Majang berasal dari bahasa jawa artinya yaitu menghias, majang asal kata dari “Pajang”, kemudian kata tersebut mendapat akhiran “-an” dan menjadi “Pajangan”. Adapun yang dimaksud dengan Tarub adalah memasang tambahan “eyub-eyub” (tempat berteduh), yaitu suatu bangunan sementara/darurat didepan rumah pokok untuk menampung tamu yang cukup banyak.
Memandikan putra yang dikhitan dengan air kembang dengan harapan anak tersebut bersih dari segala noda baik yang menempal di dohir dan batin. Dengan didampingi oleh para bandara putri termasuk ibu dari putri raja, saudara perempuan, dan putri-putri kerabat Keraton yang dipimpin oleh bendara putri yang lebih muda sampai seterusnya. Siraman dilakukan dalam satu hari sebelum upacara gres.
Dengan selesai upacara siraman maka berarti putra raja sudah selesai berhias, sudah segar dan bersih. Sejak waktu itu putra raja yang akan dikhitan mulai dipingit di Kasatriyan, dilayani dan ditunggu oleh para kerabat mereka yang terdekat. Hal ini yang disebut acara Tuguran atau berjaga-jaga. Pada sore harinya, kepada para putra raja yang akan disunat dijarkan kalimat syahadat oleh ulama dari kawedwnan Pengulu Kraton.
Ngakbeten yaitu sungkem atau menghaturkan sembah kepada orangtua. Hal ini melambangkan pernyataan terima kasih kepada orangtua atas segala asuhan dan bimbingannya sampai saat ia dikhitan bahkan ia telah dewasa, serta mohon do’a restu agar sukses dan bahagia.
Upacara Gres ini adalah puncak sunatan, yaitu puncak dari semua rangkaian upacara khitanan saat pemotongan kulit kepala kemaluan laki-laki si anak yang menyelimutinya.
Ritual pengkhitanan ini, terdiri dari perangkat/peralatan upacara yang dipakai dan diperlukan oleh putra Sultan yang akan dikhitan maupun petugas yang membantu, pakaian yang dikenakan, makna simbolik yang terkandung dalam upacara itu, serta do’a yang bernafaskan islam dalam upacara itu. Semua hal itu merupakan seperangkat dan telah diatur dalam satu paket untuk menyukseskan upacara keagamaan ini hingga selesai. 

DAFTAR PUSTAKA
·         Jandra, Mifedwil., dkk. 1991. PERANGKAT/ALAT-ALAT DAN PAKAIAN SERTA MAKNA SIMBOLIS UPACARA KEAGAMAAN DI LINGKUNGAN KERATON YOGYAKARTA. Yogyakarta: Depdikbud Daerah Istimewa Yogyakarta.
·         Sare, Yuni., dan Petrus Citra. 2007. Antopologi untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
·         Dhohiri, Taufiq Rohman., dkk. 2005. Antroologi 1. Jakarta: Yudhistira.
·         Maran, Rafael Raga. 2007. Manusia & Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
·         Koentjaraningrat. 2002. Manusia & Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.