Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Jumat, 01 Juli 2011

Romantisme-Feminisme Layar Terkembang

Perselisihan, Romantisme-Feminisme pada Layar Terkembang

Cerita ini merupakan cerita kehidupan yang biasa dan bisa saja terjadi di lingkungan kita. Menarik untuk disimak dan di apresiasi sebagai suatu karya yang mampu memberikan suasana perselisihan dan keromantisan dalam cerita ini. Saya tidak kaget dengan cerita ini, karena cerita ini didesain oleh seorang ahli dalam dunia kesusastraan sekelas Sutan Takdir Alisyahbana. Seorang tokoh yang menjadi layak dijadikan panutan pada era Balai Pustaka-Pujangga Baru. Beliau mendesain cerita ini berlatar kehidupan pada umumnya dengan membandingkan perselisihan dengan keromantisan antar tokohnya.
Romantisme layak dikedepankan dalam cerita ini, karena romantisme merupakan hal yang tak asing dalam kehidupan seperti dalam cerita tersebut. Pada era Balai Pustaka-Pujangga Baru juga terdapat tema seperti itu dalama karya-karyanya. Adanya pertemuan seorang wanita yang berwajah ayu dengan lelaki berparas tampan tentu membuat banyak pembaca untuk menafsirkan akan timbul suatu perasaan di antara ke duanya. Karena memang itu yang terjadi selanjutnya. Maria dan Yusuf yang mengalami kejadian seperti di atas. Mereka bertemu di akuarium besar, dan selanjutnya di antara mereka timbul suatu kisah percintaan. Keduanya saling menyayangi, sehingga pantas disebut pasangan yang ideal.
Yusuf hadir di cerita ini tak sekedar sebagai seorang yang berparas tamapan dan menjalin kisah percintaan dengan Maria, tetapi juga sebagai seorang penengah saat Maria berselisih paham dengan Tuti, kakaknya. Perselisihan antar saudara pada umumnya memang sering terjadi di kehidupan kita. Sehingga tak ayal dalam cerita ini juga terjadi seperti itu. Perbedaan paham tentu menjadi dasar perselisihan ini terjadi.
Tuti merupakan seorang sosok wanita tegas, berpendirian, sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum perempuan, dan sangat gemar mengikuti organisasi. Tuti juga memiliki kepandaian yang luar biasa dibandingkan dengan wanita-wanita pada masa itu. Ia mampu berpidato di depan wanita-wanita lain sehingga mampu membuat semua orang terkesima mendengar orasi-orasi yang Tuti lontarkan. Tuti juga memiliki pendirian yang teguh, Ia tak mudah memuji bahkan lebih sering mencela jika menurut pemikirannya hal itu tidak sesuai dengan paham yang Ia ikuti. Berbeda dengan Maria yang gadis remaja periang yang memiliki sifat bertolak belakang dengan Tuti. Maria cenderung gemar berdandan, tidak terlalu suka berorganisasi, dan benar-benar menikmati masa mudanya yang penuh kegembiraan. Maria tidak suka berdebat hal-hal berat seperti yang dilakukan kakaknya, dia gemar bernyanyi sembari merawat bunga-bunga yang sengaja dia tanam di pekarangan rumahnya. Maria masih bersekolah di salah satu sekolah terbaik di tempatnya, dia menggantungkan cita-citanya setinggi mungkin.
Dari pendeskripsian di atas, jelas terlihat bahwasannya perbedaan pandangan hidup di persaudaraan antara Tuti dan Maria membuat mereka sering berselisih. Maria orangnya pemalas, tetapi mempunyai aura sebagai wanita muda yang indah dan mempunyai cita-cita tinggi. Berbeda dengan Tuti yang sangat dingin dan sulit untuk memikirkan cinta padahal dia sangat butuh akan cinta itu sendiri. Feminisme yang berbicara akan hal itu. Layaknya seorang wanita biasa, Tuti mencoba untuk jatuh cinta pada seseorang, tapi sulit untuk menahan egonya yang berkata tidak akan cinta. Karena hal itu diawali oleh gagalnya dia bertunagan dengan Hambali, kekasihnya dulu.

Frase Bahasa Indonesia

Frase Bahasa Indonesia
            Dalam tataran sintaksis Bahasa Indonesia, frase merupakan salah satu dari satuan-satuan milik Sintaksis selain kata, klausa, kalimat, dan wacana. Maka dari itu frase haruslah didapati sebagai sebuah bagian yang tidak boleh ditanggalkan dari sistem sintaksis ini sebagai satuannya. Dalam Bahasa Indonesia, terdapat frase-frase yang tentu menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena bentuknya hampir sama seperti kata majemuk.
Definisi frase menurut M. Ramlan yaitu satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampau batas fungsi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa frase mempunyai dau sifat menurut pengertian di atas yaitu (1) frase merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih dan (2) frase merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi, maksudnya harus terdapat dalam satu fungsi pada suatu kalimat. Jadi frase tersebut haruslah terdiri dari lebih dari atau sama dengan dua kata asalkan tidak melampaui satu fungsi dalam suatu kalimat.
Beberapa hal yang terdapat dalam frase ini yaitu :
(1)   Pembentuk frase harus berupa morfem bebas, bukan berupa morfem terikat. Seperti kontruksi  daya juang, yang tedapat morfem terikat juang. Maka dapat dikatakan bahwa kontruksi itu merupakan kata majemuk. Seperti kontruksi tanah tinggi yang unsurnya berupa morfem bebas.
(2)   Frase merupakan kontruksi nonpredikatif. Hal ini menandakan bahwa hubungan antara kedua unsur yang membentuk frase itu tidak berstruktur subjek-predikat atau predikat-objek, sehingga dapat dikatakan frase merupakan konstituen pengisi dalam suatu kalimat. Seperti bentuk saya makan yang terdiri dari fungsi subjek-predikat, maka bentuk itu bukan merupakan frase. Berbeda dengan bentuk sedang makan yang tentu menempati fungsi predikat.
(3)   Dalam frase, antara kata yang satu dengan kata yang lain dapat diselipi unsur lain. Seperti bentuk celana panjang, bentuk tersebut dapat diselipi suatu unsur lain sehingga menjadi celana berkain panjang.
(4)   Karena frase mengisi salah satu fungsi sintaksis, maka salah satu unsur frase itu tidak dapat dipindahkan secara terpisah, jika ingin dipindahkan maka harus membawa semua unsur dalam satu fungsi. Seperti pada kalimat Ipank membelikan boneka lumba-lumba untuk Icha. Untuk frase boneka lumba-lumba tidak dapat dipindahkan letaknya secara terpisah menjadi Boneka Icha dibelikan Ipank lumba-lumba. Seharusnya tetap menjadi satu fungsi seperti Boneka lumba-lumba untuk Icha dibelikan Ipank jika dalam kalimat pasif.
(5)   Berbeda dengan makna pada kata majemuk yang menciptakan makna baru atau satu makna, maka frase memiliki makna sintaktik atau makna gramatikal. Seperti kata majemuk rumah sakit, kata majemuk menciptakan makna baru bagi rumah sakit dengan arti ‘tempat bagi orang yang sakit’. Berbeda dengan rumah Ipank yang merupakan sebuah frase yang berarti ‘rumah milik Ipank’.
Jenis-jenis frase dapat dibedakan menjadi dua jenis frase utama yaitu frase eksosentrik dan frase endosentrik.
Frase eksosentrik merupakan frase yang komponen-komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Frase ini merupakan frase yang dimana kedua atau salah satu komponennya tidak dapat berdiri sendiri. Seperti frase ke sekolah. Dalam kalimat Andi membawa sepeda ke sekolah, tentu tidak dapat menjadi kalimat Andi membawa sepeda ke atau Andi membawa sepeda sekolah. Selanjutnya frase eksosentris ini dibedakan menjadi dua frase sub bagian lagi. Yaitu frase eksosentris yang direktif dan frase eksosentris yang nondirektif. Frase direktif yaitu frase eksosentris yang komponennya berupa preposisi di, ke, dari, dan berkategori nomina. Seperti frase dari rumah teman, di kampus, dan ke masjid. Sedangkan frase eksosentris yang nondirektif yaitu frase eksosentris yang berupa komponen artikulus, seperti si, sang, yang, para, dan kaum. Selanjutnya komponennya juga berupa kata berkategori nomina, ajektifa, atau verba. Seperti si kaya, sang pahlawan, yang berbaju merah, para budayawan, dan kaum ekstrimis.
Frase endosentrik merupakan frase yang salah satu unsurnya atau komponenya memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Frase yang salah satu artinya jika dipasang pada satu kalimat dapat menggantikan peranan frase itu. Seperti kalimat Amir sedang mencari uangnya, maka kalimatnya bisa menjadi Amir mencari uangnya. Selanjutnya frase endosentrik dibedakan atas frase endosentrik yang koordinatif, frase endosentrik yang atributif, dan frase endosentrik yang apositif. Frase endosentrik yang koordinatif yaitu frase yang terdiri dari komponen yang setara, dan kesetaraan itu dibuktikan dengan adanya kata penghubung seperti dan atau atau. Seperti adik kakak, belajar dan bekerja, dan hitam atau putih. Frase endosentrik yang atributif yaitu frase yang terdiri dari komponen yang tidak setara. Sehingga tidak terdapat kata penghubung seperti dan atau atau. Frase ini mempunyai unsur pusat dan unsur atributif. Seperti baju lama, malam itu, sedang mandi. Kata-kata baju, malam, dan sedang merupakan unsur pusat, sedangkan kata-kata lama, itu, dan sedang merupakan unsur atributif. Frase endosentrik yang apositif adalah frase yang kedua komponennya saling merujuk sesamanya dan oleh karena itu urutan letak komponennya dapat ditukarkan. Seperti contoh ini: Pak Tubi, dosen saya, pintar sekali. Lalu kalimat ini: Dosen saya, pak Tubi, pintar sekali. Dari kedua kalimat tersebut, pak Tubi dapat menggantikan atau digantikan dengan dosen saya, ataupun dihilangkan salah satu dari kedua frase tersebut.
Frase-frase juga dapat dibedakan berdasarkan persamaan distribusi dengan golongan kata menjadi empat golongan yaitu frase nominal, frase verbal, frase bilangan, dan frase keterangan. Sedangkan berdasarkan tidak memiliki persamaan distribusi dengan kategori kata disebut frase depan.
Frase nominal yaitu frase yang memiliki pendistribusian yang sama dengan kata nominal. Dalam frase tersebut terdapat golongan kata nominal. Seperti frase celana baru dan jalan kecil. Selanjutnya frase nominal ini dibagi dalam beberapa bentukan kategori kata komponennya. Seperti frase nominal yang bercirikan kata benda diikuti kata benda. Contoh: gelang perak. Selanjutnya frase nominal berciri kata benda diikuti kata kerja. Contoh: adik bersepatu. Lalu frase nominal yang bercirikan kata benda diikuti kata bilangan. Contoh: apel tiga biji. Selanjutnya frase nominal yang bercirikan kata benda diikuti kata keterangan. Contoh: acara besok sore. Lalu frase nominal yang bercirikan kata benda yang diikuti frase depan. Contoh: pengabdian kepada masyarakat. Selanjutnya frase nominal yang bercirikan kata benda didahului kata bilangan. Contoh: lima buah sepeda baru. Lalu frase nominal yang bercirikan kata nominal didahului kata sandang. Contoh: sang kodok. Selanjutnya frase nominal yang bercirikan kata yang diikuti kata benda. Contoh: yang ini. Lalu frase nominal yang bercirikan kata yang diikuti kata kerja. Contoh: yang akan pulang. Selanjutnya frase nominal yang bercirikan kata yang diikuti kata bilangan. Contoh: yang sepuluh buah. Lalu frase nominal yang bercirikan kata yang diikuti kata keterangan. Contoh: yang kemarin. Selanjutnya frase nominal yang bercirikan kata yang diikuti frase depan.
Frase verbal yaitu frase yang memiliki pendistribusian yang sama dengan kata kerja. Dalam frase tersebut terdapat golongan kata kerja. Seperti frase sedang menulis, frase sering lari, frase dapat menari, dan frase akan datang. Frase akan datang merupakan frase yang terdiri dari kata akan yang termasuk golongan kata tambah dan merupakan atribut dalam frase itu, sedangkan kata datang yang termasuk golongan kata kerja merupakan unsur pusat dari frase tersebut. Maka semua kata golongan tambah merupakan kata-kata yang dalam frase endosentrik yang atributif berfungsi sebagai atribut bagi unsur pusat yang berupa kata benda. Untuk frase menyanyi dan menari, frase ini terdiri dari golongan kata kerja semua. Kedua kata pembentuk frase tersebut merupakan unsur pusat semua dan hanya dipisahkan dengan kata dan.
Frase bilangan merupakan frase yang memiliki pendistribusian yang sama dengan kata bilangan. Dalam frase tersebut terdapat golongan kata bilangan. Seperti frase lima buah kursi. Dalam frase tersebut terdapat kata bilangan yaitu lima. Frase bilangan selalu terdiri dari unsur kata bilangan diikuti kata satuan. Seperti frase tiga lembar (daun). Kata lembar merupakan kata satuan.
Frase keterangan merupakan frase yang memiliki pendistribusian yang sama dengan kata keterangan. Dalam frase tersebut terdapat golongan kata keterangan. Frase ini memiliki kecendrungan yaitu selalu berada dalam sebuah klausa atau kalimat yang menduduki fungsi keterangan. Jumlah dari frase ini tidak banyak dalam bahasa Indonesia. Seperti frase besok malam, nanti siang, dan tadi malam.
Frase depan merupakan frase yang diawali oleh kata depan sebagai penanda, dan diikuti oleh kata yang berkategori benda (N), kerja (V), bilangan (bil), atau keterangan sebagai petanda. Seperti frase di wisma yang berpetanda benda, frase dengan sangat lincah yang berpetanda kerja, frase dari dua (kali) yang berpetanda bilangan, dan frase sejak kemarin malam yang berpetanda keterangan.

Sumber Pustaka :
Ramlan, M., 1981, Sintaksis, Yogyakarta : UP Karyono

Klausa Bahasa Indonesia

Klausa Bahasa Indonesia
1.        Pengertian klausa dan perbedaan dengan kalimat
Dalam tataran sintaksis Bahasa Indonesia, klausa merupakan salah satu dari satuan-satuan milik Sintaksis selain kata, frase, kalimat, dan wacana. Maka dari itu klausa haruslah didapati sebagai sebuah bagian yang tidak boleh ditanggalkan dari sistem sintaksis ini sebagai satuannya. Dalam Bahasa Indonesia, terdapat klausa-klausa yang tentu menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena bentuknya hampir sama dengan kalimat pada umumnya.
Definisi klausa menurut M. Ramlan merupakan satuan gramatik yang terdiri dari unsur predikat saja, lalu disertai dengan fungsi subjek, objek, pelengkap, dan keterangan ataupun tidak. Sehingga fungsi-fungsi selain predikat boleh hadir atau boleh tidak. Sedangkan menurut Abdul Chaer, klausa merupakan satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkontruksi predikat. Artinya, di dalam kontruksi itu ada komponen berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Sehingga dapat disimpulkan klausa sebagai satuan gramatik dalam sintaksis yang berkewajiban mempunyai fungsi predikat sebagai unsurnya.
Untuk membedakan klausa dengan kalimat dengan mencontohkan pada kumpulan kata-kata seperti ini: Andi bermain. Dalam kontruksi tersebut, syarat menjadi klausa telah terpenuhi dengan adanya fungsi predikat sebagai syarat mutlak serta hadirnya fungsi subjek. Klausa tersebut dapat berubah menjadi kalimat dengan menambahkan tanda final berupa tanda (.), (?), (!). Jika kalimat tersebut tanpa tanda-tanda seperti itu, maka masih disebut sebagai klausa.
2.        Analisis klausa berdasarkan kategori fungsi dan makna
Seperti yang diuraikan di atas, klausa terdapat fungsi wajib dan fungsi tidak wajib. Fungsi wajib yaitu fungsi predikat sebagai pernyataan mengenai yang ingin diutarakan atau mengenai subjek. Sedangkan fungsi tidak wajib adalah subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Subjek  sendiri adalah fungsi yang menjadi hal yang ingin dikatakan oleh oleh penulis. Seperti klausa Ayah makan, Ayah menjadi subjek karena merupakan hal yang ingin dikatakan, dan makan merupakan predikat karena berisi pernyataan mengenai subjek. Objek sendiri akan bersifat wajib hadir jika fungsi predikatnya berupa predikat transitif seperti Irfan memakan buah apel. Selanjunya fungsi pelengkap sebagai fungsi yang melengkapi klausa yang berpredikat intransitif seperti Irfan bersenjata senapan MK-41. Sedangkan untuk fungsi keterangan berfungsi sebagai memberi informasi tambahan dalam klausa itu sendiri berupa waktu atau tempat seperti: Malam ini Irfan tidak bisa tidur.
Fungsi-fungsi klausa tersebut jika dikategorikan secara golongan kata, maka menghasilkan analisis seperti berikut. Fungsi predikat terdapat beberapa golongan yaitu kata benda (N), kata kerja (V), dan kata numeralia (Bil). Contoh untuk fungsi predikat bergolongan kata benda yaitu: Batu itu adalah batu Zamrud. Contoh untuk fungsi predikat bergolongan kata kerja yaitu: Irfan sedang meminta uang. Contoh untuk fungsi predikat bergolongan kata numeralia yaitu: Teman-temannya ada tujuh orang. Fungsi subjek hanya terdapat golongan kata benda (N) seperti : Irfan pergi berkerja dan Tiga wanita itu mendapatkan perhiasan. Selanjutnya fungsi objek juga hanya terdapat golongan kata benda (N) seperti : Irfan membeli buku Kewarganegaraan dan Anak-anak itu memberikan ibunya sebuah pakaian. Fungsi pelengkap terdapat tiga golongan kata yaitu kata benda (N), kata kerja (V), dan kata numeralia (Bil). Contoh untuk fungsi pelengkap bergolongan kata benda yaitu: Orang itu berkalung emas. Contoh untuk fungsi pelengkap bergolongan kata kerja yaitu: Irfan sedang belajar berhitung. Contoh untuk fungsi pelengkap bergolongan kata numeralia yaitu: Teman-temannya berkurang satu orang. Selanjutnya fungsi keterangan terdapat beberapa golongan kata yaitu kata keterangan (ket), frase depan (FD), kata benda (N), dan kata kerja (V). Contoh untuk fungsi keterangan bergolongan kata benda yaitu: Bulan yang akan datang Irfan akan pulang. Contoh untuk fungsi keterangan bergolongan kata kerja yaitu: Irfan berjalan tersandung-sandung. Contoh untuk fungsi keterangan bergolongan kata frase depan yaitu: Komeng dan Sule mengangkat sepeda motor itu secara bersama-sama. Contoh untuk fungsi keterangan bergolongan kata keterangan yaitu: Inggris akan segera datang besok sore.
Selanjutnya fungsi-fungsi tersebut dianalisis berdasarkan maknanya maka menghasilkan analisis sebagai berikut. Fungsi predikat mempunyai beberapa makna seperti tindakan, keadaan, pengenal, dan jumlah. Fungsi predikat bermakna tindakan seperti: Rondo mengerjakan soal bahasa Inggris. Fungsi predikat bermakna keadaan seperti: Kuliah kemarin sangat menyenangkan. Fungsi predikat bermakna pengenal seperti: Bapak dosen itu adalah Dekan Fakultas Kedokteran. Fungsi predikat bermakna jumlah seperti : Mobil Basuki ada tiga. Untuk fungsi subjek, terdapat enam makna yaitu pelaku, alat yang digunakan, sebab, pengalam, dikenal melalui tanda pengenal, dan yang dikenai jumlah. Fungsi subjek bermakna ‘pelaku’ seperti : Nurdin mengebom hotel J.W Marriot. Fungsi subjek bermakna ‘alat yang digunakan’ seperti : Becak itu mengangkut barang bawaan nenek. Fungsi subjek bermakna ‘sebab’ seperti : Kebakaran kertas ini menyebabkan terbakarnya rumah itu. Fungsi subjek bermakna ‘pengalam’ seperti : Pesawat Lion Air terjatuh saat mendarat di Bandara Selaparang. Fungsi subjek bermakna ‘dikenal melalui tanda pengenal’ seperti : Pemuda itu dikenal sebagai pemuda yang baik. Fungsi subjek bermakna ‘yang dikenai jumlah’ seperti : Pintu kamar itu dua. Selanjutnya fungsi objek terdapat lima macam makna  yaitu menderita akibat tindakan, penerima tindakan, tempat, alat yang digunakan, dan hasil tindakan tersebut. Fungsi objek bermakna ‘menderita akibat tindakan’ seperti : Irfan memotong rumput di depan rumahnya. Fungsi objek bermakna ‘penerima tindakan’ seperti : Bapak Walikota menghadiahi Sudin uang. Fungsi objek bermakna ‘tempat’ seperti : Irfan baru ini mengunjungi rumah neneknya. Fungsi objek bermakna ‘alat yang digunakan’ seperti : Nurdin menggunakan bom untuk meledakkan Tunjungan Plaza. Fungsi objek bermakna ‘hasil tindakan tersebut’ seperti : Mahasiswa Sastra Indonesia menulis antologi puisi berjudul ‘Detik-detik Kematian’.
Untuk fungsi pelengkap terdapat dua makna yaitu sebagai yang dikenai akibat tindakan predikat dan alat yang digunakan. Fungsi pelengkap yang bermakna ‘yang dikeani akibat tindakan predikat’ seperti : Setiap malam Dina bermimpikan seorang pangeran. Fungsi pelengkap yang bermakna ‘alat yang digunakan’ seperti : Rumah Unyit beratapkan jerami. Selanjutnya fungsi keterangan terdapat sepuluh jenis makna yaitu tempat, waktu, cara, penerima faedah, peserta yang ikut, alat yang dipakai, sebab, frekuensi tindakan, perbandingan, dan perkecualian. Fungsi keterangan yang bermakna ‘tempat’ seperti: Ali bertemu dengan Saskia di depan rumah Andi. Fungsi keterangan yang bermakna ‘waktu’ seperti : Dini hari tadi Irfan pergi menemui Nyoman. Fungsi keterangan yang bermakna ‘cara’ seperti: Pemain itu menendang bola dengan kerasnya. Fungsi keterangan yang bermakna ‘penerima faedah’ seperti : Quinn memberikan uang kepada Foe. Fungsi keterangan yang bermakna ‘peserta yang ikut’ seperti : Tuti menyanyikan lagu kenangan dengan Titi DJ. Fungsi keterangan yang bermakna ‘alat yang dipakai’ seperti : Nenek menjahit baju itu dengan jarum yang telah karatan. Fungsi keterangan yang bermakna ‘sebab’ seperti : Adam menangis ketakutan karena melihat ayahnya membawa pisau berdarah. Fungsi keterangan yang bermakna ‘frekuensi tindakan’ seperti : Mony memukul Tina sebanyak empat-lima kali. Fungsi keterangan yang bermakna ‘perbandingan’ seperti: Makanan ini sangat enak seperti masakan luar negeri. Fungsi keterangan bermakna ‘perkecualian’ seperti : Semua mahasiswa mendapat pakaian terkecuali Irfan.
3.        Jenis-jenis klausa
Berdasarkan struktur internnya, klausa dapat dibedakan menjadi klausa lengkap dan klausa tidak lengkap. Hal ini berdasar pada ada-tidaknya fungsi subjek, dan karena hal ini peran subjek merupakan terpenting kedua setelah fungsi predikat sebagai syarat mutlak adanya suatu klausa. Klausa lengkap terdiri sedikitnya yaitu fungsi predikat dan subjek seperti: Badan orang itu sangat besar. Sedangkan klausa tidak lengkap terdiri sedikitnya fungsi predikat saja, berikut ditemani oleh fungsi-fungsi lainnya seperti objek, pelengkap, dan keterangan, seperti: membaca komik; bermain api; dan pergi ke sekolah.
Berdasarkan kategori kata atau frase yang menduduki fungsi predikat, klausa dapat dibagi menjadi klausa nominal, klausa verbal, klausa bilangan, klausa adjektifal, klausa adverbial, dan  klausa preposisional. Klausa nominal adalah klausa yang berpredikat terdiri kata atau frase nominal seperti : Orang-orang itu adalah mahasiswa tahun lalu. Klausa verbal adalah klausa yang berpredikat terdiri kata atau frase verbal seperti : Deny mendaki Gunung Semeru bulan kemarin. Klausa bilangan adalah klausa yang berpredikat numeralia atau bilangan seperti : Rumah Bapak Siswanto itu tiga unit. Klausa  adjektifal yaitu klausa yang berpredikat kata adjektifal seperti : Hari ini gadis kecil itu rapi sekali. Klausa adverbial yaitu klausa yang berpredikat kata adverbia seperti : hidupnya sangat menderita. Klausa preposisional yaitu klausa yang berpredikat kata depan atau frase depan seperti : adik di depan rumah.

Daftar Pustaka :
Ramlan, M. 1981. Sintaksis. Yogyakarta : UP Karyono
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta

Postkolonialis cerpen Sinai

Postkolonialis pada cerpen Sinai (modernitas dan hak kuasa).
Dalam cerpen ini, postkolonialisme terlihat berdasarkan modernitas yang ada dan menjadi simbol serta ciri khas cerpen ini. Pengaruh budaya yang diberikan oleh negara penyebar budaya ini teraplikasi dalam kehidupan modern yang tampak dalam arus cerita ini. Tentu hal ini menjadi tepat pada saatnya, karena modernitas benar-benar merupakan alat yang tepat untuk melangsungkan panjajahan pikiran serta budaya sosial masyarakat. Karena juga memang tidak terlihat nyata bentuk penjajahan era modern serta terlepas dari kolonilaisme.
Kehidupan Sinai merupakan contoh konkret dari penerapan modernitas yang bersumbu pada postkolonialisme. Kehidupan modern ala Sinai menjadi suatu daya tarik tersendiri karena modernitas yang dianut benar-benar merupakan kehidupan mewah dunia barat serta kegemerlapan malam yang menghibur. Ciri orang dan kehidupan yang modern mungkin identik dengan individualis, pergaulan bebas, dan sarat akan industrialisasi yang tentu merupakan produk barat. Maka pergaulan bebas menjadi pijakan atas awal penceritaan cerpen ini. Pergi ke diskotek merupakan kegiatan yang tentu merupakan tidak berfaedah dalam kehidupan sosial serta budaya masyarakat, tetapi hal itu tentu ditentang oleh pihak barat. Karena pihak barat memang menginginkan kehidupan bebas tanpa ada peraturan yang mengikat seperti norma-norma yang ada dalam kehidupan timur.
Gaya hidup hedonis merupakan akibat dari modernitas yang berkembang di lapisan masyarakat. Masyarakat yang tertinggal akan semakin tertinggal dengan adanya modernitas ini, dan masyarakat yang maju tentu akan semakin maju. Adanya alat musik seperti DJ pada cerpen itu, cukup mengidentifikasikan bahwa teknologi modern berada satu paket dalam modernisme dengan gejalanya yaitu industrialisasi serta globalisasi. Tempat diskotek itu dulu merupakan bangunan gereja tua yang seharusnya tetap menjadi tempat suci bagi umat kristiani dan dijaga kesakralannya. Tidak seperti cerita itu yang malah dijadikan diskotek sebagai tempat dosa-dosa yang bertemu dan bertukar pikiran.
Sinai merupakan nama suatu gunung yang disucikan atau dikuduskan menurut kitab Injil. Dalam cerita itu diceritakan bahwa ayah Sinai memberi nama Sinai kepadanya agar selalu terlihat suci dan tidak sembarangan disentuh oleh banyak orang seperti gunung Sinai yang memang dilarang untuk dinaiki siapapun terkecuali jika pada hari kiamat telah tiba. Maka dari itu, Sinai seharusnya tetap suci dan tetap menghormati nama yang diberikan oleh ayahnya. Tetapi tidak, dia melanggar itu semua setelah ayahya meninggal serta memilih malam sebagai kehidupannya.
‘Hak kuasa atas’ terlihat dalam cerpen ini, sehingga bergeneralisasi pada hak kuasa atas perempuan oleh laki-laki. Tentu hal ini berkaitan erat dengan budaya patriarkhi dimana laki-laki memegang hak kuasa atas perempuan termasuk hidup-matinya. Hal ini gampang terlihat ketika sosok tukang cerita “aku” ini merupakan berjenis kelamin laki-laki dan tengah menceritakan kepada kita tentang kehidupan perempuan yang bernama Sinai.
‘Hak kuasa atas’ ini mulai terlihat ketika “aku” ini mendeskripsikan tentang pakaian dan aksesoris yang digunakan serta menebak kemana akan pergi Sinai pada hari jumat malam. Hal ini menandakan berarti “aku” seolah-olah mengetahui segalanya tentang Sinai dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya dalam cerita itu, ketika Sinai dengan lelaki di diskotek sedang melakukan hal dosa. Diawali dengan “Yang kini bergerak hanya kedua tangan lelaki itu yang menjelajahi tubuh Sinai”. Tentu hal ini juga menandakan bahwa kaum laki-laki memegang hak kuasa atas tubuh perempuan.
Selanjutnya, ketika ayahnya tidak mengabulkan permintaan Sinai untuk berganti nama dan memberi Sinai batasan jam malam serta mengharuskan Sinai membaca Injil setiap jam 6 sore. Hal itu juga merupakan pertanda bahwa sosok ayah yang merupakan laki-laki berhak penuh atas hidup Sinai yang berkelamin perempuan. Sang ayah menentukan hidup Sinai, seharusnya sang ayah tidak seperti itu dan membiarkan Sinai memilih jalan hidupnya toh pada akhirnya Sinai memang melanggar semua apa yang dilarang dan diperintahkan ayahnya. Melompat pada akhir cerita itu ketika Sinai dibunuh oleh “aku”. Hal ini lagi-lagi mengidentikan bahwa laki-laki memegang peranan penting atas hidup-mati seorang perempuan seperti halnya budaya patriarkhi ketika “aku” membunuh Sinai dengan alasan mengkuduskan kembali Sinai.

Sejarah Sastra

SEJARAH SASTRA
A.       Pengertian
Sejarah sastra sebagai ilmu yang menyelidiki perkembangan cipta sastra sejak awal pertumbuhan hingga perkembangannya sekarang. Ilmu ini juga mengkaji sastra dengan menggunakan hal-hal yang berasal dari luar sastra. Contoh: Peristiwa kehidupan politik atau sosial budaya dan mempunyai pengaruh terhadap karya sastra. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai upaya menyusun periodesasi sejarah sastra sebagai salah satu kegiatan dalam pengkajian sejarah sastra. Ilmu ini juga mengadakan kajian terhadap genre sastra, lahirnya terhadap suatu gerakan sastra, perkembangan suatu aliran dan pengaruh sastra lama dan sastra asing terhadap sastra modern dan kajian tentang gaya bahasa.
Terkait dengan periodesasi sastra, sejarah sastra mempunyai rincian antara lain periodesasi sastra itu untuk perbaikan waktu dalam perkembangan sastra dan perkembangan-perkembangan seperti timbul dan tenggelamnya suatu genre sastra, lalu terdapat sejarah perkembangan roman, novel, cerpen, puisi, dan drama. Selanjutnya terdapat proses lahirnya suatu gerakan atau angkatan dalam sastra, ada juga perkembangan aliran-aliran yang ada pada suatu periode untuk suatu angkatan. Hingga terdapat perkembangan sastra lama dan sastra asing terhadap sastra modern (sastra nasional) pertumbuhan dan perkembangan gaya bahasa.

B.       Hubungan sejarah sastra dan teori sastra
Perkembangan sejarah sastra banyak memerlukan bahan pengetahuan tentang teori sastra. Pembicaraan tentang angkatan, misalnya tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang gaya bahasa, aliran, genre sastra, latarbelakang cerita, tema, dan sebagainya. Hal-hal yang disebutkan terakhir ini mirip unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra dan dibicarakan dalam teori sastra.
Sebalikanya teori sastra pun memerlukan bahan hasil pengkajian sejarah sastra tentang gaya bahasa atau aliran-aliran, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sastra secara keseluruhan. Hal yang lain juga dibahas adalah suatu pengertian, konsep, prinsip, kategori serta kriteria dalam kritik sastra besar yang berkemungkinan mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam sejarah sastra. Contoh : Definisi puisi yang lama ternyata banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan puisi yang sekarang, hal itu terjadi karena sejarah sastra telah membuktikan bahwa puisi atau karya sastra pada umumnya terus mengalami perubahan dan perkembangan.

C.      Hubungan Sejarah sastra dan kritik sastra
Dalam kerjanya, pengkajian sejarah sastra tidak dapat dilepaskan dari pengkajian kritik sastra. Dalam kenyataannya sejarah sastra tidak terhitung berpa jumlah karya sastra yang pernah dipublikasikan. Pengkajian sejarah sastra tidak mungkin memuat semua karya sastra yang pernah terbit, tapi dibatasi pada karya-karya tertentu saja. Untuk memilih dan menetukan karya sastra yang akan dijadikan objek kajian, diperlukan pengkajian kritik sastra. Tugas kritik sastra adalah menilai bobot kesasusastraan suatu cipta sastra, dan selanjutnya karya tersebut ditempatkan dalam kerangka sejarah sastra. Sebalikanya kritik sastra pun memerlukan hasil pengkajian sejarah sastra, dengan bantuan sejarah sastra, maka kritik atau suatu cipta sastra tidak munkin dari konteks sejarah terciptanya suatu karya sastra tertentu.

D.      Hubungan kritik dan teori sastra
Sangat jelas usaha kritik sastra tidak akan berhasil tanpa dilandasi oleh dasar-dasar pengetahuan tentang teori sastra. Jika seseorang akan mengadakan suatu telaah terhadap novel, maka ia harus memiliki dasar pengetahuan tentang apa yang disebut novel dan unsur – unsur yang terkandung di dalamnya. Seperti tema, latar, perwatakan, dan lain-lain. Dapat dikatakan bahwa teori sastra merupakan modal pelaksanaan kritik sastra.
Sebaliknya teori sastra pun memerlukan bantuan kritik sastra. Bahkan sebenarnya kritik sastra merupakan pangkal teori sastra. Teori harus disusun berdasarkan karya sastra konkret. Teori tanpa data merupakan teori yang kosong.

Sejarah Kajian Lingusitik

SEJARAH KAJIAN LINGUISTIK
Istilah Linguistics baru muncul sekitar awal abad 19.
Kajian berkenaan dengan masalah seluk beluk bahasa pada awalnya dikenal dengan istilah:
Rhetoric à Grammar à Comparative Philology à Linguistics
Ferdinand de Saussure membagi tiga tahap perkembangan kajian linguistik:
1. Tahap Grama
Yaitu periode kajian yang dilakukan oleh filosof-filosof Yunani yang kemudian dilanjutkan oleh ahli-ahli Perancis. Kajian yang dilakukan lebih bersifat Preskriptif.
2. Tahap Filologi
 Yaitu mencakup kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang Alexandria. Tokoh utamanya Friedrich August Wolf. Kegiatan yang dilakukan seperti membuat penafsiran pada teks-teks dan naskah yang ada. Fokus studi pada persoalan sastra dan adat-budaya.
3. Tahap Perbandingan (Comparative philology)
Kegiatan yang dilakukan lebih banyak memperbandingkan bahasa satu dengan bahasa lain, terutama untuk mencari aspek perbedaan maupun persamaan, bahkan kekerabatan atau keserumpunan.


MASA INDIA
Kajian bahasa di India menurut Buchler telah ada sejak abad ke-5 SM. Brahmana ketika itu telah berhasil menciptakan abjad terdiri dari 46 huruf yang kemudian oleh Panini (± 400 SM) digunakan sebagai dasar dalam menyusun tata bahasa Sansekerta. Panini, sarjana Hindu itu telah membuat ± 4.000 pemerian (statement) tentang struktur bahasa Sansekerta dengan prinsip dan gagasan yang diantaranya masih dipakai dalam kajian linguistik modern.
Leonard Bloomfield (1887-1949), menyebut Panini sebagai One of the greatest monuments of human intelligence. Tata bahasa karangannya tersebut merupakan yang pertama kali diciptakan manusia (khususnya dalam bahasa Sanskerta).
Kajian bahasa di India lebih ditujukan untuk kepentingan Agama Hindu. Bunyi-bunyi bahasa dipelajari dengan detail dan seksama, terutama untuk menjaga hikmah yang terdapat dalam kitab Veda.

MASA YUNANI
Sejarah kajian bahasa bermula dari kegiatan pemikir Yunani seperti: Gorgias, Socrates, Plato, Aristoteles.

Plato (429-347 SM) dikenal sebagai tatabahasawan pertama. Plato sudah menganalisis bahasa dengan menguraikannya atas actor (pelaku) dan action (tindakan). Mengenai hubungan antara lambang dan acuannya, menurut Plato, antara keduanya terdapat hubungan yang logis. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Socrates yang berpendapat bahwa lambang harus sesuai dengan acuan.
Plato dianggap sebagai yang pertama menemukan potensi tata bahasa. Gagasannya tentang logos (ujaran) yang pada pokoknya terdiri atas katagori kata benda dan kata kerja, yaitu: onoma (nomen) dan rhema (verbum), yang bisa ditentukan secara logis (unsur yang diberi predikat dan predikatnya). Analisis dikotomis ini telah menjadi perintis dari segala analisis tata bahasa.

Aristoteles (384-322 SM), murid Plato, secara lebih rinci telah membagi ujaran menjadi beberapa unsur, serta telah melakukan penggolongan kata (parts of speech) lebih kompleks. Kelas kata menurut versi Aristoteles: Onoma, rhema, dan syndesmoy (kt sambung). Katagori penggolongannya yang lain adalah: subject, predicate, gender, number, case, person, tense, mood. Aristoteles juga menekuni masalah Retorika dan fonologi.

Mengenai hubungan antara bentuk bahasa dan maknanya, Aristoteles tampaknya tidak sependapat dengan sang guru. Aristoteles lebih berkeyakinan jika makna dari bentuk bahasa merupakan persoalan konvensi  dan persetujuan antara para pemakainya.

Pemikiran Aristoteles mendapatkan penyempurnaan pada masa-masa sesudahnya. Sekitar 100 tahun kemudian, Kaum Stoa (Stoik) berusaha memisahkan issue grammar dengan persoalan filsafat. Mereka juga mulai memperkenalkan kajian baru yang disebut etymology (etyma= roots = akar), yaitu ilmu yang mempelajari asal-usul dan sejarah perkembangan kata. Mereka juga memberikan  penambahan katagori kata yang sebelumnya hanya 3 (Onoma, rhema, dan syndesmoi) menjadi 4 (Onoma, rhema,  syndesmoy, dan arthron (kt sandang).
Kaum Alexandrian, lewat tokohnya Dionysius Thrax (100 SM), memperluas pembagiannya menjadi 8 katagori:
1. onoma, kata benda
2. rhema, kata kerja
3. metosche, partisiple
4. arthron, kata sandang
5. antonymia, kata ganti
6. prothesis, kata depan
7. epirrhema, kata keterangan
8. syndesmoi, kata sambung

Karya fenomenal Dionysius Thrax yang berpengaruh di dunia kajian linguistik adalah “Grammar”. Thrax secara fonologis telah melakukan pemerian vokal dan konsonan. Batasannya tentang kalimat yang hingga kini masih berpengaruh berbunyi: “A sentence is a combination of words .... making complete sence”.  Istilah-istilah seperti: noun, verb, participle, article, pronoun, preposition, adverb, conjunction, merupakan hasil adopsi pemikirannya.

Sifat kajian pada masa itu umumnya masih  Linguistic Chauvinism, yaitu merasa bahwa bahasa lain  lebih rendah dari bahasa Greek. Sehingga kajian bahasa hanya sebatas pada kajian bahasa Greek saja, dan belum merambah pada bahasa-bahasa asing sekitar. Mereka mengira kalau bahasa Greek dapat mewakili seluruh bahasa manusia di dunia. Terminologi yang digunakan dalam observasi bahasa masih menggunakan istilah-istilah filsafat yang abstrak.
Namun, banyak gagasan mereka yang menjadi inspirasi kajian linguistik modern. Bahkan pemikiran  meraka tentang katagori kata, subjek-predikat, katagori infleksi seperti gender, number, case, person, tense, dan mood, masih disetujui dan dipakai dalam kajian linguistik modern.




MASA ROMAWI
Pada masa Romawi berkembang pula kebudayaan Yunani yang dianggap sebagai budaya agung. Trend ini disebut Hellinisme.
Kajian bahasa masa Romawi pada dasarnya merupakan penerapan hasil pemikiran masa Yunani yang kemudian dimodifikasi dan diterapkan pada bahasa Latin. Dalam katagori kata, selain ke-8 katagori Thrax, muncul satu katagori lagi yaitu numeralia (kata bilangan).

Tokoh Romawi yang membahas linguistik bahasa latin adalah Varro (116-27 SM). Varro menulis buku berjudul De Lingua latina (25 jilid), yang di dalamnya telah mengupas persoalan etimologi, morfologi, dan sintaksis.
Tokoh lainnya adalah Priscia,  yang kemudian dikenal sebagai peletak dasar tata bahasa Priscia, menghasilkan karya Grammatical Catagoris. Karya ini berisi  analisis kutipan-kutipan yang dikumpulkan dari pidato para orator ternama.
Issue yang dibahas dalam tata bahasa meliputi: fonologi, morfologi, dan sintaksis. Pada bidang katagori kata dibagi menjadi: nomen, verbum, participium, pronomen, adverbiu, praepositio, interjectio, dan conjuntio. 
Setelah kekaisaran Romawi jatuh, bahasa Latin selama berabad-abad masih dipakai sebagai bahasa akademis di Eropa. Pendekatan kajian kebahasaannya pun akhirnya  menjadi kiblat perkembangan linguistik dunia barat.

 MASA PERTENGAHAN
Pada era ini sistem pendidikan Latin masih mendominasi ranah  keilmuan, termasuk bidang kajian bahasa. Bahasa Latin dianggap sebagai bahasa yang bernilai tinggi. Digunakan sebagai bahasa di kalangan akademik, untuk diplomasi, dan bahasa gereja.
Muncul era Skolastik, yaitu cara belajar ilmu di lingkungan biara, ahli agama, di sekolah-sekolah lingkungan istana.
Perhatian lebih banyak ditujukan pada bahasa Latin klasik, walaupun realitasnya bahasa tersebut sudah lama tidak dipakai sebagai sarana komunikasi.
Dua hal menonjol di bidang linguistik adalah: munculnya kaum modistae dan tata bahasa spekulatif.
Kaum Modistae lebih mengedepankan kajian makna bahasa. Menurut mereka, setiap benda mempunyai beberapa ciri berbeda yang disebut dengan modi essendi. Pikiran manusia dapat menangkap pengertian secara aktif yang disebut modi itellegendi activi, maupun secara pasif yang disebut modi intellegendi passivi.
Dalam bidang kajian bahasa, mereka juga membuat katagori-katagori  yang disebut modi significandi, misalnya bentuk kata mereka sebut dengan (dictionis), bagian ujaran (partes orationis). Menurut kaum Modistae, modi significandi itulah yang dijadikan sebagai kunci analisis bahasa.
Tata bahasa Spekulativa lebih banyak membicarakan persoalan kata dalam hubungannya dengan referensi dan konsepsi pikiran manusia.
Menurut tata bahasa Spekulativa, kata tidak secara langsung mewakili reference. Kata hanya mewakili hal adanya benda dalam berbagai cara, inodus, substansi, aksi, kualita. Mereka juga berpendapat jika secara substansial semua bahasa pada dasarnya sama. Setiap bahasa akan memiliki konsep yang sama tentang kata-kata  dan memiliki katagori-katagori gramatika dan jenis kata yang sama.
Tokoh terkenal di era ini adalah Petrus Hispanus yang menulis buku berjudul Sumemulae Logicales.

MASA RENAISSANCE    
Renaissance dari kata renaitre ‘lahir kembali’, yaitu era menghidupkan kembali usaha mempelajari seni, budaya,  maupun keilmuan di masa Yunani dan Romawi.
Momen-Momen Masa Renaisance:
1. Munculnya penolakan terhadap hasil tradisi Skolastik dan muncul gerakan humanisme (kemanusiaan). Di Florence berdiri Platonic Academy yang mengkaji dan memperkenalkan kembali bahasa Grik dan Latin Klasik.
2. Johan Gutenberg pada pertengahan abad XV menemukan mesin cetak, sehingga buku-buku mulai banyak dicetak.
3. Colombus menemukan benua baru. Di sisi lain mobilitas perdagangan yang semakin luas mendorong orang untuk belajar bahasa bangsa lain.
4. Timbul hasrat mempelajari bahasa daerah, terutama untuk kepentingan menterjemahkan Injil yang ketika itu hanya ditulis dalam bahasa Yunani dan Ibrani.

Kekerabatan bahasa mulai menjadi issue dalam kajian bahasa. Josephus tercatat sebagai sarjana terkenal yang membicarakan kekerabatan bahasa.
Sarjana lain, Sealiger (1540-1609) juga tertarik mengkaji kekerabatan bahasa. Dia berpendapat jika di Eropa terdapat 11 bahasa induk, 4 di antaranya merupakan bahasa besar, yaitu: Yunani, Jerman, Romawi, dan Slavia.
Keberadaan bahasa di luar benua Eropa juga mulai menjadi perhatian. Misionaris-misionaris Eropa memberikan laporan mengenai keberadaan bahasa wilayah Asia, yaitu: China, Jepang, India, dan Melayu.
Linguistic Chaufinism juga masih mewarnai kajian bahasa era ini. Ada kecenderungan memandang bahwa bahasa sendiri lebih baik dibandingkan bahasa lainnya.
Ahli filologi Swedia, Kemke menyatakan jika Tuhan berbicara bahasa Swedia, Adam berbahasa Denmark, dan Naga (ular naga) berbahasa Perancis. Seorang Belanda Goropius Becanus dengan berani berteori jika bahasa di Surga adalah bahasa Belanda. Raja Psammetichus dari Mesir (abad XVII) berkesimpulan jika bahasa manusia pertama adalah bahasa Mesir Kuno.

 PERIODE PERKEMBANGAN
Era Renaisance hingga  abad ke-17 ditandai dengan mulai ditinggalkannya Eropasentris dalam kajian bahasa. Kegiatan tersebut semakin berlanjut pada masa-masa sesudahnya. Di era ini dilakukan pengumpulan bahasa dari seluruh dunia secara besar-besaran, baik oleh para misionaris Eropa maupun para sarjana pengkaji bahasa. P.S. Pallas dengan bantuan Ratu Rusia, Katharina II berhasil mengumpulkan kata-kata dari 272 bahasa di Eropa, Asia, dan Amerika.
Lorenzo Hervasy Panduro membuat ikhtisar tata bahasa dari 300 bahasa, 40 di antaranya adalah bahasa Indian Amerika.
G.W. Liebnitz (1646-1716) menguraikan hubungan kekeluargaan bahasa-bahasa yang  terdapat di Eropa dan Asia.
Lambert ten Kate (1674-1731) menyatakan “Segala hukum bahasa tidak boleh ditetapkan secara apriori, tetapi harus berdasarkan pada penyelidikan berdasarkan data-data atau kenyataan empiris”.
Abad ke-18 dikenal dengan era Age of Reason, atau era mengedepankan rasio pikiran. Era ini dianggap sebagai era kemenangan akal terhadap kepercayaan. Linguistik mulai menjadi kajian ilmu baru. 
Sir William Jones (1746-1794) dari East India Company, seorang pegawai perpustakaan bangsa Inggris di India (1786) mengemukakan hasil kajiannya terhadap bahasa India kuno. Di forum The Royal Asiatic Society di Kalkuta, Jones memaparkan hubungan antara bahasa Sanskerta, Yunani, Latin, dan bahasa Indo-Jerman lainnya.
Paparan Jones tersebut memicu semakin maraknya kajian perbandingan bahasa di Eropa.

Pandangan para sarjana terkait dengan teori asal-usul bahasa.

E.B. Condillac (1746) berpendapat bahwa asal mula bahasa berpangkal pada bunyi-bunyi alamiah berupa teriakan-teriakan karena adanya emosi yang kuat. Teriakan-teriakan tersebut dihubungkan dengan perasaan sederhana yang menyertainya, diulang-ulang, akhirnya menjadi bunyi-bunyi bermakna. Seiring dengan semakin banyaknya perasaan yang ingin diungkapkan pembicara, maka bunyi-bunyi bahasa itu akhirnya menjadi semakin banyak.

Johann Gotfried Herder (1744-1804) menyatakan: “Bahasa tidak mungkin dari Tuhan, sebab bahasa terlalu tidak sempurna dan tidak sesuai dengan logika. Bahasa timbul semata-mata karena dorongan kesadaran dan kecerdasan yang dimiliki manusia. Berkat kesadaran dan kecerdasan tersebut manusia akhirnya mampu meniru berbagai bunyi untuk menyertai kesan, gerak, dan emosi. Mereka secara langsung atau tidak langsung akan menirukan bunyi-bunyi yang ada di sekitarnya sehingga menjadi bahasa. Menurutnya manusia adalah ensorium commure, yaitu dipenuhi dengan kesan-kesan, analogi perasaan dan kesadaran. Misalnya, akibat berjalan, berburu, akhirnya merasa sakit. Dari analogi tersebut timbullah kata-kata capek, sakit, dll. Sehingga menurutnya, kata-kata kerjalah yang lebih dulu muncul. 

Friedrich von Schlegel (1772-1829) dan A.W. Schlegel (1767-1845).
F. von Schlegel sejak tahun 1803 mempelajari bahasa Sanskerta berkat bantuan orang Inggris bernama Hamilton. Tahun 1808 menulis buku Ueber die Sprache und Weisheit der Indier, berisi tentang perbandingan infleksi dan derivasi bahasa Sanskerta, Yunani, Latin, dan bahasa-bahasa Indo-Eropa. Dia menyimpulkan jika persamaan yang ada bukan karena peminjaman, melainkan karena persamaan asal. Bahasa Sanskerta adalah bahasa yang tertua dibandingkan dengan bahasa lainnya.
Menurutnya bahasa dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
  1. Bahasa fleksi, yaitu bahasa yang salah satu proses morfologis pembentukan katanya dilakukan dengan cara perubahan root (akarnya).
  2. Bahasa afiks, yaitu   bahasa yang salah satu proses morfologis pembentukan katanya dilakukan dengan cara afiksasi.
  3. Bahasa yang partikelnya berfungsi menentukan makna, misalnya bahasa Tionghoa.
Perkembangan bahasa dimulai dari bahasa seperti bahasa Tionghoa, menjadi bahasa afiks, baru kemudian menjadi bahasa fleksi.
Sedangkan A.W.  Schlegel membuat klasifikasi bahasa sebagai berikut.
  1. Bahasa tanpa struktur tata bahasa.
  2. Bahasa yang menggunakan afiks.
  3. Bahasa yang berfleksi.

Wilhelm von Humboldt (1767-1835)
Ahli tata negara, filologi klasik, filsafat, belletri (sastra indah). Pandangannya ttg bahasa terdapat dalam karangannya berjudul: “Ueber die Kawisprache auf der insel Java”.
Pandangannya bersifat historis dan filosofis. Menurutnya bahasa berawal dari keinginan-keinginan batin manusia yang dihubungkan dengan bunyi-bunyi tertentu. Lebih lanjut dikatakan: “Tiap perbuatan-perbuatan menimbulkan kesan-kesan. Tiap kesan-kesan akan menjadi pemikiran-pemikiran. Tiap objek pemikiran akan menjadi objek pernyataan. Presentasi dari pernyataan-pernyataan tersebut adalah simbol-simbol bahasa. Akhirnya bahasa tersebut akan kembali ke alam pikiran”.
Bahasa berwujud dua, yaitu bentuk (form/aussere lautform/artikulierte laut) dan makna (meaning/innere form ‘bentuk batin’). Dan setiap bahasa mempunyai sistemnya sendiri, sehingga tidak ada bahasa yang primitif ataupun yang istimewa.
Humboldt juga membuat pemisahan antara “kemampuan bahasa” dengan “aspek kreatif berbahasa”, yang kelak diperkenalkan Chomsky sebagai konsep Competence dan Performance.
Pembagian empat jenis bahasa menurut klasifikasi Humbolt:
  1. Bahasa monosilabel, yaitu  bahasa yang hanya terdiri dari root dan tak mengalami perubahan bentuk.
  2. Bahasa Aglutinasi (agglutinate ‘melekatkan, merekatkan menjadi satu’, gluten= perekat) bahasa tempel-menempel. Perubahan bentuk dilakukan dengan cara melekatkan afiks.
  3. Bahasa Fleksi, yaitu bahasa yang mengenal konjugasi.
  4. Bahasa Inkorporasi (in corporate ‘memasukkan ke dalam’), yaitu ciri bahasa ini patient dimasukkan ke dalam bentukan kata kerja.


R.K. RASK (1787-1832)
Rask adalah sarjana yang pertama kali menggambarkan sistematika  bahasa-bahasa  Indo Jerman. Ia merupakan pengagum bahasa Nur Kuno (Islandia). Pada tahun 1818 terbit bukunya yang merupakan hasil kajian tentang asal mula bahasa Nur Kuno. Rask menganggap bahasa Nur Kuno sebagai bahasa yang sangat baik, karena sistem fleksinya dianggap sangat sempurna dengan kosa kata yang sangat murni.
Menurut Rask, jika ada persamaan antara dua bahasa, maka berarti terdapat hubungan kekerabatan antara dua bahasa tersebut. Variasi bunyi lebih disebabkan karena organ-organ alat bicara dan cara menghasilkan bunyi.
Kajian Rask yang sangat penting adalah tentang pergeseran bunyi pada bahasa-bahasa Indo Jerman, yang kemudian kajian ini dilanjutkan oleh Jacob Grimm.
Karena kurangnya penguasaan terhadap bahasa Sanskerta, analisnya tentang hubungan kekerabatan bahasa banyak terdapat kekeliruan.
Kesalahan utama yang dibuat adalah anggapannya jika bahasa Islandia Kuno sebagai asal mula dari semua bahasa Indo Jerman.         

Jocob Grimm (1785-1863)
Sarjana Jerman yang dianggap sebagai peletak dasar kajian Linguistik Historis Komparatif.
Profesi Grimm pada awalnya adalah pengkaji hukum secara historis. Karena banyak membaca naskah-naskah Jerman kuno, akhirnya tertarik pada filologi dan perbandingan bahasa. Bukunya yang berhubungan dengan linguistik berjudul “Deutsche  grammatik”.
Pandangannya yang terkenal adalah apa yang dikenal dengan Hukum Grimm (banyak orang menyebut hukum Rask), yaitu tentang hukum perubahan bunyi yang teratur dalam bahasa-bahasa Indo Jerman.
Korespondensi Bunyi:
Gotis               f p b                 th t d               h k g
Latin                p b f                 t d t                 c g h
Yunani                        p b f                 t d th               k g ch
Sanskerta         p b bh              t d dh              s j h
Jerman             b(v) f p                        d z t                 g ch k

Periode pertumbuhan bahasa menurut Grimm
Periode pertama: berupa penciptaan dan pertumbuhan akar kata dan kata-kata.
Periode kedua: berupa kejayaan fleksi.
Periode ketiga: berupa makin lenyapnya fleksi.
Pertumbuhan bahasa itu pada tingkat pertama hanya mempunyai tiga bunyi vokal /a,i,u/ dan sejumlah kecil konsonan. Tiap kata bersifat monosilabel dan peristiwa-peristiwa abstrak tidak ada.
Catatan:
Carl Verner, sarjana Denmark mengapresiasi Hukum Grimm. Menurutnya, jika ingin berbicara tentang perubahan bunyi harus pula memperhatikan pengaruh individu dan aksen. Misalnya:
Sanskerta                     bhrāthar           pitar
Gotis                           brŌther            fadar
Latin                            frāter               pater




Franz Bopp (1779-1967)
Merupakan tokoh ahli bahasa Sanskerta dan salah satu tokoh dalam ilmu perbandingan bahasa-bahasa Indo Jerman.
Bopp membagi klasifikasi bahasa atas tiga jenis:
a.      Bahasa-bahasa tanpa akar dan tanpa tata bentukan atau tidak memiliki organisme tata bahasa, misalnya bahasa Tionghoa.
b.      Bahasa-bahasa dengan akar kata yang terdiri dari satu suku kata dan memiliki organisme tata bahasa.
c.       Bahasa-bahasa dengan akar kata yang terdiri dari dua suku kata dan tiga konsonan mutlak.
Terkait dengan analisis kalimat, Bopp menggunakan trias theori yang menyatakan jika tiap kalimat sebenarnya terdiri dari tiga bagian, yaitu subjek, predikat, dan kopula.
Mengikuti jejak Grimm, Bopp juga sependapat jika bahasa primitif hanya memiliki 3 bunyi, yaitu /a, i, dan u/.


SCHLEICHER (1821-1868)
Selain ahli bahasa, Schleicher adalah seorang filosof dan ahli botani. Menurutnya, pertumbuhan bahasa bersifat historis, tetapi pertumbuhan itu lebih sebagai proses alam dalam bentuk yang murni. 
Pemikiran penting Schleicher di bidang perkembangan kajian bahasa adalah:
1.        Memulai rekonstruksi bentukan asli bahasa Indo-Jerman dengan jalan membanding-bandingkan dengan bahasa lain yang dikenalnya.
2.        Menentukan bentuk asal dari bahasa-bahasa Indo-Jerman. Menurutnya asal dari bahasa-bahasa Indo-Jerman adalah sebuah bahasa dari bangsa yang ada di Asia Tengah.
3.        Stammbaum theorie ‘Teori Pohon’, yaitu teori pertumbuhan/perkembangan bahasa yang digambarkan dalam bentuk skema pohon kekerabatan. Grandsprache merupakan bahasa induk yang diturunkan oleh Ursprache ‘bahasa purba’.

Klasifikasi bahasa menurut Schleicher:
Bahasa Isolasi (sejenis bahasa Tionghoa)
Bahasa aglutinasi inklusif
Bahasa fleksi      

JOHANNES SCHMIDT 1872
Memunculkan teori baru “Wave Theory atau Wallen Theory” yang menggugurkan teori Schleicher “Stammbaumtheory”.
Menurut Schmidt, wilayah bahasa dapat ditentukan garis batasnya yang disebut isoglosse. Wilayah isoglos tersebut meluas dapat diibaratkan seperti jalannya gelombang, yaitu bersimpang-siur dan tidak bersifat monolitik. Berbagai variasi dari perkembangan bahasa mungkin saja didapati di berbagai wilayah sebagai efek ombak dari dinamika perkembangan bahasa tersebut. 
Schmidt memandang jika seluruh bahasa Indo-Jerman sebagai kesatuan yang tak terpisahkan seperti rangkaian gelang besi.

KAUM NEOGRAMMATICI  ATAU YOUNGGRAMMATIKER (1870-1880)
Tokoh-tokohnya antara lain: Karl Brugmann, H. Osthoff, H. Leskien, Delbruck, Herman Paul, dan Wilhelm Scheren.
Issue tentang asal mula bahasa mulai ditinggalkan. Perhatian lebih ditujukan pada persoalan tatabahasa  dari bahasa-bahasa yang sedang dikaji.
Brugmann dan Delbruck mempublikasikan karya mereka berjudul “Grundriss der Vergleichenden Grammatik der Indogermanischen Sprachen”  sebanyak 5 jilid, berisi tentang sistem tata bahasa hingga pada tataran sintaksis.
Garis besar fokus kajian linguistik masa itu adalah:
1.      perbandingan bahasa
2.      ilmu bunyi
3.      aksen dan tekanan
4.      penyusunan tata bahasa tiap bahasa yang dikaji
5.      perhatian terhadap bidang sintaksis