Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Jumat, 06 Januari 2012

MAKNA-MAKNA DI SEKITAR AMIR DAN HASSAN DALAM NOVEL THE KITE RUNNER


Pendahuluan
Karya sastra Timur Tengah adalah sebuah karya sastra yang berisi tentang ke-Timur Tengah-an, mulai dari budaya, tradisi, setting, dan yang terpenting adalah latar belakang pengarang berasal dari Timur Tengah. Karya sastra Timur Tengah bersifat realis, tidak bersifat fantasi, seperti pada novel Snow, The Blind Owl, My Name is Red, My Father’s Notebook, serta novel yang akan saya analisa, yakni The Kite Runner.
Novel The Kite Runner karya Khalid Hosseini bercerita tentang dua anak laki-laki yang bisa dikatakan ber’sahabat’, tentang persaudaraan, kasih sayang, pengkhianatan, kesenangan, dan penderitaan. Mereka adalah Amir dan Hassan. Amir adalah seorang anak saudagar, sedangkan Hassan seorang anak pelayan dari saudagar itu. Walaupun mereka memiliki latar belakang keluarga yang berbeda, tetapi mereka tumbuh bersama, bahkan sesusuan. Tetapi, sang Baba, ayah Amir, tidak pernah memperlakukan Hassan dengan buruk, bahkan Baba sangat menyayangi Hassan, hal tersebutlah yang membuat Amir iri hati.
Saya sebagai penulis, berusaha mengungkapkan penindasan atau penjajahan batin pada tokoh dan simbol atau tanda dalam novel The Kite Runner. Usaha analisis ini menggunakan teori semiotik Charles Sanders Pierce. Peirce menganggap bahwa tanda adalah representatif dan juga interpretatif, yang tidak hanya mewakili sesuatu akan tetapi juga membuka peluang sebebasnya bagi penafsir untuk menafsirkannya sendiri. Penulis hanya akan menyampaikan tentang pemaknaan, terutama makna layang-layang, warna layang-layang, nama tokoh, serta korelasi antara makna nama tokoh dengan sifat-sifatnya. Karena membicarakan tentang sifat-sifat para tokoh, maka penelitian ini memerlukan adanya teori psikologi tokoh.

Makna di Balik Layang-layang dan Warnanya
Dalam novel ini, banyak sekali istilah atau perumpamaan layang-layang. Layang-layang berarti kebebasan, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas oleh sang pengendali. Layang-layang dapat pula berarti sebuah harapan, harapan yang sangat tinggi, tergantung pengendali menerbangkan layang-layang (harapan) setinggi apa. Seperti saat Amir dengan bantuan Hassan memangkan turnamen layang-layang. Sebelumnya, Amir sempat berbincang-bincang dengan Baba tentang sekolah dengan ajarannya untuk menjauhi dosa. Baba hanya meyakinkan jika Tuhan tidak ada. Namun Amir dalam perbincangan tersebut lebih memilih percaya kepada guru agamanya di sekolah. Hal itu berefek pada saat turnamen ketika Amir berharap menang dan mengakui Tuhan itu ada dan mengalahkan pemikiran Baba.
Penebusan. Kalau Baba salah dan Tuhan memang ada. Seperti yang mereka katakan padaku di sekolah, maka Dia akan memberikan kemenangan padaku. Aku tidak tahu yang membuat lawanku ingin menang. Mungkin hanya hak untuk menyombongkan diri. Tetapi inilah satu-satunya kesempatanku untuk dilihat, bukannya terlihat, didengar, bukannya terdengar. Jika Tuhan memang ada, Dia akan mengarahkan angin, membiarkannnya meniup layang-layangku. Hingga hanya dalam satu hentakan benang, aku akan memutuskan rasa sakitku, dambaanku. Aku telah melalui begitu banyak hal, telah berjalan begitu jauh.  Dan begitu saja, harapan menjadi nyata. Aku akan memenangkannya. Ini hanya masalah waktu. (Hosseini, 2009: 130)

Jika dalam analisis semiotika Pierce, layang-layang yang dilihat oleh penulis dalam teks menduduki bagian sebagai ground, karena selanjutnya hal tersebut yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menerjemahkannya ke bagian objek dan interpretant. Selanjutnya beralih ke bagian objek dari ground yang berupa layang-layang tersebut. Objek tersebut berupa gerakan layang-layang yang bebas melayang di udara, tanpa ada yang menghalanginya. Kecuali adanya tali yang mengikat dirinya dengan pengendalinya. Meskipun mempunyai tali pengikat, layang-layang akan tetap meliuk-liukan badannya diterpa oleh angin. Selanjutnya beralih ke bagian interpretant yaitu pemikiran penulis yang mengartikan objek layang-layang tersebut untuk dapat dimaknai secara tekstual dan sesuai hasil pembacaan bagian sebelumnya yaitu kebebasan Amir dari kungkungan penafsiran seorang ayah kepada anaknya yang tidak mampu berbuat apa-apa selain hanya membaca buku.
Dari kutipan di atas tersebut mencerminkan suatu kebebasan yang diraih oleh Amir dari kungkungan pemikiran Baba. Pemikiran Baba cenderung membatasi Amir untuk tidak mempercayai kebenaran agama yang diucapkan saat di sekolah. Apalagi jika merunut masalah ada atau tidaknya Tuhan, setidaknya telah dibuktikan oleh Amir sendiri ketika mengharapakan kemenangan pada turnamen tersebut. Selanjutnya, Amir berasumsi jika Tuhan yang membuat dirinya memenangkan turnamen tersebut dengan meniup angin ke layang-layang Amir dan dapat melayang deras memutuskan layang-layang lawan Amir. Apalagi Amir saat itu memang sangat haus akan perhatian dan kasih sayang seorang ayahnya, Baba. Sehingga hal tersebut membuat Amir menjadi agak takut jika Amir mengakui adanya Tuhan, maka dia tidak akan mendapatkan kasih sayang seorang Ayah yang menentang secara terang-terangan ajaran agama di sekolah anaknya.
Di Kota Kabul, salah satu kota di Afghanistan, turnamen layang-layang menjadi momen yang sangat penting bagi anak laki-laki seusia Amir dan Hassan. Setiap tim terdiri dari dua orang; satu orang menerbangkan dan mengendalikan, seorang lagi membawakan gulungan benang dan mengulurnya. Amir dan Hassan membentuk tim. Amir adalah pengendali layang-layang, sedangkan Hassan sebagai pembawa benang. Layang-layang menjadi refleksi dari kehidupan Amir dan Hassan.
Amir yang merasa berada dalam kekangan Baba, ayahnya. Baba menginginkan agar Amir menjadi lelaki yang tangguh dan dapat dibanggakan, bukan penulis atau pembaca puisi dan cerita serta harus mampu menjaga dirinya sendiri. Tentu hal tersebut bertentangan dengan Amir yang suka menulis. Hal itu terekam pada percakapan antara Baba dan Rahim yang tidak sengaja didengar oleh Amir dari balik pintu tempat Baba dan Rahim berbincang:
“Bersyukur karena dia sehat,” kata Rahim Khan.
“Aku tahu, aku tahu. Tapi dia selalu berada di tengah timbunan buku atau bergentayangan dalam rumah seperti sedang terhanyut dalam mimpi.”
“Dan?”
“Aku dulu tidak seperti itu.” Baba terdengar putus asa, hampir-hampir marah.
Rahim Khan tertawa. “Anak-anak bukanlah buku mewarnai. Kau tak bisa begitu saja mengisi mereka dengan warna-warna kesukaanmu.”
“Kuberi tahu kau,” kata Baba, “aku sama sekali tidak seperti itu, begitu juga anak-anak yang tumbuh bersamaku.” (Housseni, 2009: 50)

Dari percakapan tersebut dapat mewakili dan menerangkan jika Baba benar-benar tidak menyukai kebiasaan Amir sebagai “kutu buku” yang selalu memegang buku-buku. Baba menginginkan Amir menjadi seorang sepertinya yang mampu menjalankan bisnis dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Rahim Khan mencoba membantu Baba agar tetap selalu menyayangi anaknya, Amir. Rahim mencoba menerangkan jika Amir tidak harus sama dengan dirinya dalam masa pertumbuhannya. Tidak harus juga sifat dan perilaku sang ayah harus sama dengan sifat anaknya. Sehingga ketidaksukaan Baba kepada Amir dianggap Amir sebagai kungkungan yang membatasinya, namun kahirnya dia mampu membalikkan fakta dengan memenangkan turnamen layang-layang.
“Pembelaan diri tidak ada hubungannya dengan kekejaman. Kau tahu apa yang selalu terjadi kalau anak-anak tetangga menganggunya? Hasan mengambil alih dan melindunginya dari mereka. Aku pernah melihatnya dengan mataku sendiri. Dan saat mereka pulang, aku bertanya padanya, Bagaimana wajah Hassan bisa sampai terluka? Lalu dia bilang, ‘Dia jatuh.’ Aku memberitahumu Rahim, ada yang hilang dalam diri anak itu.”
“Sebaiknya kau biarkan saja dia menemukan jalannya sendiri,” ujar Rahim Khan.
“Jalan menuju ke mana?” kata Baba. “Seorang anak laki-laki yang tak mampu membela dirinya sendiri akan tumbuh menjadi pria yang tak mampu menghadapi masalah apa pun.” (Housseini, 2009:51)

Kutipan di atas merupakan lanjutan dari percakapan antara Baba dan Rahim mengenai Amir. Dalam kutipan tersebut terlihat Baba telah mengetahui perilaku anaknya yang sangat tidak disukainya sama sekali dan cenderung memberikan kungkungan berupa asumsi jika anaknya tidak mampu bersikap seperti lelaki pada umumnya. Hal itu terbukti ketika Amir berbohong atas Hassan yang terluka pada wajahnya akibat melindungi Amir, namun dikatakan pada Baba hanya jatuh saja.
            Layang-layang mewakili kebebasan yang diinginkan oleh Amir. Dia hanya ingin menikmati hidup seperti filosofi layang-layang. Pada turnamen layang-layang berikutnya, Amir ingin menang sekaligus ingin menunjukkan pada Baba bahwa dia masih bisa membanggakannya. Kemenangan pun berhasil diraih oleh Amir. Akhirnya kemenangan dalam turnamen layang-layang itu mampu menjembatani kebekuan yang selama ini terjadi antara dia dengan ayahnya. Sama seperti benang layang-layang yang tarik ulur. Terkadang longgar atau mungkin juga tarikannya yang terlalu keras sehingga memungkinkan layang-layang putus dan kemudian rebah di tanah. Amir pada saat itu mengalami proses yang sama. Layang-layang adalah lembaran setipis kertas yang bisa menyatukan kedua dimensi itu.
Terdapat dua layang-layang yang diceritakan, yang dikendalikan oleh Amir adalah layang-layang berwarna merah, sedangkan layang-layang yang dikejar Hassan adalah berwarna biru. Warna merah berarti perang, energi, bahaya, emosi, cinta, nafsu, keinginan besar, kekuatan. Warna merah, melambangkan karakter Amir yang berkeinginan tinggi, emosi, nafsu, berkekuatan (karena dia adalah pengendali), perang, maksudnya Amir lebih memilih perang batin daripada menyelesaikan masalahnya dengan Hassan. Warna biru sendiri memiliki makna kesetiaan, kesucian, perjuangan, perdamaian (ketentraman), kebenaran.
Jika dalam analisis semiotika Pierce, warna merah dan warna biru yang dilihat oleh penulis dalam teks menduduki bagian sebagai ground, karena selanjutnya hal tersebut yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menerjemahkannya ke bagian objek dan interpretant. Untuk kedua warna tersebut yang sebagai ground, maka objeknya berupa kedua warna tersebut pada layang-layang milik Amir dan Hassan. Untuk bagian interpretantnya, hal tersebut berupa pemaknaan penulis terhadap warna pada layang-layang tersebut sesuai teks. Seperti yang saya tulis pada paragraf sebelumnya mengenai makna warna dan korelasinya terhadap watak masing-masing tokoh. Warna merah berarti perang, energi, bahaya, emosi, cinta, nafsu, keinginan besar, kekuatan. Warna merah, melambangkan karakter Amir yang berkeinginan tinggi, emosi, nafsu, berkekuatan (karena dia adalah pengendali). Seperti pada kutipan ini:
Keesokan paginya, saat menyiapkan sarapanku, Hassan menenyakan adakah hal yang membuatku terganggu. Aku membentaknya, mengatakan padanya bahwa ini bukanlah urusannya.
Rahim Khan salah. Aku memiliki nafsu mengejami orang lain. (Housseini, 2009: 50)

Kutipan di atas merupakan kutipan yang menerangkan jika Amir mempunyai emosi yang tinggi dan pendendam. Pendendam karena pada saat itu dirinya merasa terganggu mendengar ayahnya dan Rahim Khan berdiskusi membicarakan dirinya yang tidak sesuai dengan pemikiran ayahnya, yaitu anak lelaki sesungguhnya. Pada saat itu dirinya juga bertemu dengan Hassan yang merasa bingung atas sikap Amir pada pagi hari, mencoba bertanya tentang air muka Amir yang tidak menyenangkan dan terasa bagi Hassan terdapat masalah. Kontan saja, Amir melampiaskan kemarahan dirinya dengan membentak kepada Hassan saat ditanya tentang muramnya muka Amir pada saat menjelang sarapan.
Kesetiaan, kesucian, perjuangan ditunjukkan oleh Hassan dengan mengejar layang-layang terakhir dan mempersembahkannya untuk Amir. Hassan mengalami pelecehan seksual, dan dia tetap dengan pendiriannya untuk tidak menyerahkan layang-layang itu. Amir mengetahui hal tersebut dan hanya melihat dan berdiam diri dari kejauhan karena dia tidak cukup memiliki keberanian untuk menghadapi mereka semua. Begitulah kesetiaan, kesucian, perjuangan yang ditunjukkan oleh Hassan kepada Amir. Sedangkan Amir tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya melihatnya dari kejauhan. Keduanya “mati” secara bersamaan pada hari mereka menang festival layang-layang di kota itu. Amir roboh secara psikologis setelah menyadari dirinya tak lebih dari seorang pengecut. Sedangkan Hassan luruh secara eksistensi hidupnya, tidak punya harga diri lagi. Semua terjadi saat umur mereka belum lagi 13 tahun. Seperti  pada kutipan ini:
Hassan mengusap wajahnya dengan lengan baju, menyeka ingus dan air matanya. Aku menunggunya mengucapkan sesuatu, namun kami hanya berdiri di sana tanpa berkata-kata, dalam remang cahaya senja. Aku bersyukur karena bayangan senja menyelimuti wajah Hassan dan menyembunyikan wajahku. Aku lega karena tak perlu membalas tatapannya. Tahukah dia bahwa aku tahu? Dan kalau dia tahu, apa yang akan kulihat jika aku melihat ke matanya? Tuduhan? Kemarahan? Atau, yang paling kutakuti, pengabdia tanpa pamrih? Lebih dari segalanya, itulah yang tidak mampu dilihat. (Housseini. 2009: 151).

Sebenarnya dalam kejadian pelecehan seksual di atas. Hassan seharusnya bisa membela Amir sebagai sahabatnya tanpa harus memberikan apa yang musuh inginkan. Hal tersebut merupakan suatu bentuk loyalitas tanpa pamrih dari Hassan kepada majikannya, Amir. Seperti yang diketahui, Amir yang memenangkan turnamen tersebut berhak mendapatkan layang-layang lawannya.. Dan hal itu yang dicoba olehnya untuk membuktikan bahwa dirinya bukan anak lelaki yang tidak mampu menyelesaikan masalah, seperti apa yang dibicarakan oleh Baba dan. Rahim. Namun dilain pihak, Amir juga merasa dirinya adalah seorang yang pengecut. Karena dirinya hanya melihat Hassan terbaring lemah tengah dikerjai oleh anak-anak itu. Padahal hanya dirinya yang dapat menolong Hassan.

Makna di Balik Nama Tokoh
Saya menganalisis bahwa, Hoseeini tidak sembarang memilih nama-nama tokohnya, seperti nama Amir dan Hassan, memiliki makna yang melambangkan karakter masing-masing tokoh. Nama Amir dan Hassan diambil dari bahasa Arab. Amir memiliki arti pemimpin, sedangkan Hassan memiliki arti baik’. Keduanya memiliki makna yang bagus dan sempurna dalam ajaran Islam. Akan tetapi, dalam kedua karakter tokoh tersebut didapati adanya ketidaksempurnaan. Contohnya, pada diri Amir yang memiliki rasa iri terhadap Hassan. Ia juga merupakan anak yang pengecut dan tidak berani untuk membela sahabatnya sendiri.
Aku membuka mulutku, nyaris mengatakan sesuatu. Nyaris. Sisa hidupku akan kujalani dengan berbeda jika aku melakukannya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya menonton. Terpaku. (Hosseini, 2009:105).

Seperti pada penjelasan sebelumnya, yang juga dikaitkan dengan layang-layang, Amir menjadi pengendali dan Hassan sebagai pembawa gulungan benang sekaligus pengejar layang-layang. Hassan seorang yang sangat penurut pada Amir, karena memang dia ditugaskan untuk menjadi pelayan di rumah Amir. Bahkan ketika Amir menyuruhnya untuk memakan tanah pun akan dia lakukan. Makna kata “pemimpin” disini bisa berarti sebagai ‘pengendali’, ‘pengatur’, ‘yang berkuasa atas sesuatu atau seseorang.’ Nama itu secara tidak langsung berpengaruh pada sifat yang dimiliki. Amir sebagai pengendali atau berkuasa atas Hassan pada saat itu. Hassan telah menunjukkan kebaikannya dengan kesetiaan yang ditunjukkannya sama seperti pada penjelasan sebelumnya. Seperti pada kutipan:
Hassan menjilati jarinya dan mengangkat tangannya ke atas untuk memastikan arah angin, lalu berlari ke arah itu di beberapa kesempatan yang jarang terjadi, saat kami menerbangkan layang-layang pada musim panas, Hassan menendang pasir untuk mengetahui arah angin bertiup. Gulungan benang berputar di tanganku hingga Hassan berhenti, sekitar 15 meter dariku. Dia mengangkat layang-layang itu ke atas kepalanya, seperti atlet Olimpiade yang memamerkan medali emas. Aku menghentakkan benang dua kali, tanda yang biasa kami gunakan, dan Hassan pun melontarkan layang-layang itu. (Houssein, 2009: 126)

Kutipan di atas membuktikan kesinambungan antara Amir dan Hassan sebagai sebuah tim yang mempu berkerja sama dengan baik dalam melakukan suatu hal yang bersifat menyenangkan bagi mereka berdua. Namun tentu tetap ada pihak yang dirugikan. Amir tetap menganggap dirinya sebagai pengendali layang-layang yang tugasnya hanya memenangkan perlombaan tanpa mempunyai rasa antusiasisme yang tinggi pada timnya. Sedangkan Hassan tetap menganggap perlombaan ini merupakan ajang pertunjukan loyalitas dirinya terhadap Amir dengan mengejar dan berusaha menangkap layang-layang biru hasil kemenangan Amir, tanpa memperdulikan keselamatan dirinya.
Kesetiaan yang diberikan Hassan sampai harus mendapatkan layang-layang biru ternyata membuktikan bahwa kebaikan dalam diri seseorang pasti akan muncul. Setelah merasa menjadi pengecut, Amir yakin bahwa ia dapat membalas kebaikan saudaranya dulu dengan berusaha kembali ke Afganistan dan menyelamatkan anak Hassan, yaitu Sohrab, itu pun berkat permintaan sahabat ayahnya, Rakhim Khan. Amir berusaha keras melewati rintangan apapun di kampung halamannya dulu demi anak itu. Setelah bertemu dengan Sohrab dan berusaha menyelamatkannya. Pada musim dingin seperti dulu, Amir dan Sohrab mengulur layang-layang kuning dan memutus layang-layang hijau. Dan Amir bahagia karena Sohrab bisa tersenyum walau sedikit. Dan dia berharap kebisuan dan kebekuan Sohrab karena trauma sedikit demi sedikit dapat mencair.
Dia juga mengendalikan layang-layang kuning dan memutus layang-layang hijau bersama Sohrab. Kuning memiliki arti perpindahan dari hal positif menuju ke negatif dan dapat juga berarti kehati-hatian, sedangkan hijau bermakna energi positif, harapan, dan jika di Islam merupakan simbol spiritual penting. Hal tersebut menunjukkan bahwa seorang manusia harus mengendalikan nafsunya dan membebaskan energi positif dari dirinya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia mempunyai kehendak berkuasa dari nafsu tetapi nafsu tersebut harus dikendalikan dengan membebaskan energi positif dari dirinya. Manusia akan dapat menemukan sedikit demi sedikit kebaikan kembali dari usahanya melawan nafsu buruknya. Seperti apa yang telah dilakukan Amir terhadap Sohrab, demi balas budinya terhadap Hassan. Amir berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukannya dahulu terhadap Hassan dengan jalan membahagiakan Sohrab. Itulah salah satu cara Amir untuk berdamai dengan dirinya.
Bila kedua arti nama Amir dan Sohrab disatukan, maka akan menjadi sesuatu hal yang sempurna dan menjadi sebuah karakter manusia (pemimpin) yang baik. Oleh karenanya, dibentuklah kedua karakter Amir dan Hassan yang saling melengkapi walaupun sempat terjadi pertentangan di antara keduanya. Karena manusia tidak akan luput dari kesalahan. Dibutuhkan sebuah pengorbanan dan perjuangan untuk mewujudkan ‘pemimpin yang baik’.

Penindasan Batin Tokoh
Berbicara tentang novel Timur Tengah, kita akan mengingat perang, penindasan, agama Islam, dan lain-lain. Dalam novel The Kite Runner, perang, penindasan, dan agama Islam memang sangat kental, dibicarakan berkali-kali dengan bahasa yang sederhana tetapi indah. Bukan hanya penindasan fisik, tetapi juga batin. Seorang anak laki-laki, seorang anak Afghan yang cerdas, yang lebih gemar menulis dari pada bermain sepak bola. Dia bernama Amir. Dia mengalami penindasan batin, karena dia tidak merasakan kasih sayang dari Babanya, karena Babanya lebih sayang terhadap anak pelayannya, yang bernama Hassan. Terbukti dalam dialog ini:
“Kau mau mengajak Hassan juga saat kita ke Jalalabad.
Mengapa baba harus memanjakannya seperti itu? “Dia mareez”, kataku. Tidak enak badan.
“Oh, ya?” baba berhenti menggoyang kursinya.
“kenapa dia?”
Aku mengangkat bahu dan menenggelamkan diri di sofa dekat perapian. “Mungkin dia masuk angin. Kata Ali, dia terus-terusan tidur.”
“Aku jarang melihat Hassan beberapa hari ini,” kata Baba. “Jadi, begitu ya, dia hanya masuk angin?” aku tidak bisa menahan rasa benci melihat cara Baba mengerutkan alis, menunjukkan kekhawatirannya.
“Cuma masuk angin. Jadi, kita akan pergi hari Jumat nanti, Baba?”
“Ya, ya,” kata Baba seraya mendorong kursinya menjauhi meja. “Sayang sekali Hassan sakit. Kupikir akan lebih menyenangkan buatmu kalau dia ikut.” (Hosseini, 2009:116)

Tingkah laku ayah Amirlah yang membuat Amir menjadi berkhianat kepada Hassan, untuk menarik rasa simpati ayahnya. Apapun akan dilakukan Amir, asalkan ayahnya merasa bangga kepada Amir, dan sayang kepada Amir bukan pada Hassan. Walaupun Hassan disodomi oleh Assef pun, Amir rela mengorbankan Hassan sebagai binatang qurban untuk mendapatkan kasih sayang Babanya. Dalam postkolonial terdapat istilah ambivalensi, yang artinya “kemenduaan”, yaitu tidak ingin dijajah tetapi menjajah orang lain. Seperti yang telah dilakukan oleh Amir, dia tertekan seperti banyak beban, hatinya merasa tertindas, hati dan pikirannya dijajah oleh Baba untuk menuruti segala keinginan Baba tentang anak laki-laki yang ideal. Amir tidak ingin dibenci ayahnya, tetapi dia membenci Hassan, berkhianat kepada Hassan.
Ada rahasia yang belum terbongkar ketika turnamen layang-layang. Hassan ingin mempersembahkan layang-layang yang berhasil dikalahkan oleh Amir dengan cara mematahkannya. “Untukmu keseribu kalinya”. Itulah kata-kata Hassan, si pengejar layang-layang kepada Amir sebelum dia berangkat mengejar layang-layang. Jika menerapkan teori Charles Sanders Pierce, “untukmu keseribu kalinya” menempati posisi sebagai objek dalam teori semiotika Pierce. Penggalan kalimat tersebut menempati objek karena hadir di dalam teks cerita tersebut. Sedangkan posisi groundnya ditempati oleh kalimat tersebut lepas dari teks ceritanya, sehingga dapat dengan mudah diinterpretasikan dan hasilnya disebut interpretant. Selanjutnya bagian interpretantnya yaitu berupa kalimat yang berisikan ketulusan dan keloyalitasan seorang bawahannya kepada tuannya.
Dari sisi psikologi tokoh sendiri, tokoh Amir tentu mempunyai sisi psikologis yang agak berbeda dengan sisi psikologis para pemimpin yang otoriter ataupun merakyat. Amir kadang berlaku seperti pemimpin yang bersifat otoriter terhadap bawahannya. Dalam artian dirinya tidak akan memikirkan Hassan yang tengah dalam kesulitan atau tidak akan bebas dari pengabdiannya kepada Amir. Karena bagaimanapun manusia berhak akan kebebasan dirinya dari apapun termasuk bentuk pengabdian kepada pemegang hak yang menguasai salah satu bagian kehidupannya manusia tersebut. Seperti pada kasus ini Amir merupakan putra dari Baba yang merupakan seorang pengusaha yang mempunyai bawahan. Bawahan tersebut mempunyai putra bernama Hassan.
“Pembelaan diri tidak ada hubungannya dengan kekejaman. Kau tahu apa yang selalu terjadi kalau anak-anak tetangga menganggunya? Hasan mengambil alih dan melindunginya dari mereka. Aku pernah melihatnya dengan mataku sendiri. Dan saat mereka pulang, aku bertanya padanya, Bagaimana wajah Hassan bisa sampai terluka? Lalu dia bilang, ‘Dia jatuh.’ Aku memberitahumu Rahim, ada yang hilang dalam diri anak itu.” (Housseini, 2009:51)

Kutipan di atas merupakan percakapan antara Baba dengan Rahim Khan tentang sisi penakutnya Amir. Amir dalam hal itu terlihat sifat penakutnya dan terlindungi oleh Hassan yang berdiri di depan Amir ketika banyak anak tetangga mengganggunya. Terlihat sekali Amir tidak melakukan hal apapun. Pada saat itu dia terlihat sebagai seorang pemimpin yang sangat otoriter dan membiarkan dirinya terlindungi oleh Hassan. Seharusnya tidak ada perbedaan di antara mereka pada usia yang masih kecil. Mereka berdua bersama dalam sebuah permainan di sekitar tempat tinggal mereka, termasuk jika menghadapi sebuah bahaya saat pulang ke rumah masing-masing. Karena meskipun Hassan anak dari seorang pesuruh Baba, dia tidak begitu saja dapat diperlakukan seperti ayahnya, kecuali ada perjanjian secara tertulis yang mengharuskan Hassan mengabdi kepada Amir. Dalam cerita tersebut jenjang pendidikan Hassan yang jauh di bawah Amir yang membuat Hassan berikap seperti ayahnya yang mengabdi kepada Baba. Selanjutnya Amir harus mampu menghormati Hassan sebagai teman bermainnya yang tidak patut untuk dijadikan pesuruhnya. Psikologis Amir belum jelas dan cenderung ingin enak sendiri entah terlindungi maupun dianggap sebagai raja besar.

Simpulan
Dalam novel The Kite Runner, banyak makna-makna yang tersimpan disetiap kata-kata, peristiwa dalam cerita, nama-nama tokoh, bahkan judul. Penindasan, perang batin, penganiayaan, perang juga sangat kental menghiasi cerita dalam novel ini. Hosseini menyajikan dan menyampaikan pesan moral yang sangat baik terhadap pembaca. Teori semiotik Charles Sanders Pierce, sekilas teori Psikologi tokoh, membantu saya sebagai penulis untuk mengungkap sebagian kecil apa saja yang terdapat dalam novel The Kite Runner.
Setiap manusia membutuhkan proses dan usaha keras untuk menemukan kembali kebaikan yang sesungguhnya ada pada dirinya setelah sebuah kemauan berkuasa tanpa kendali menyebabkan kerugian. Hal tersebut ditunjukkan dengan kegalauan Amir setelah dikabari oleh Rahim Khan dan usaha keras Amir untuk menyelamatkan Sohrab.

Daftar Pustaka
Aminuddin. 1988. Semantik. Pengantar tentang Studi Makna. Bandung: Sinar Baru.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Madpress.
Hardjana, Andre. 1994. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Konflik Keluarga Dalam Novel Of Bees And Mists, Peri Kecil Di Sungai Nipah, The God Of Small Thing, dan The House Of The Spirits


-          Analisis Perbandingan
Konflik dalam keluarga merupakan suatu hal yang lumrah terjadi pada setiap keluarga. Hal itu merupakan bagian penting dari kehidupan berumahtangga. Hal itu pun dapat dianggap sebagai stimulus untuk manjaga keharmonisan keluarga, namun hal itu pun dapat dianggap sebagai suatu bencana yang berakhir dengan perpecahan keluarga. Konflik tersebut dapat berasal dari subjek siapapun seperti, ayah dan ibu, kakak dan adik, ayah dan kakak, kakek dengan mertuanya, adik dengan pamannya, istri dengan adik iparnya, dan lain-lain. Termasuk dalam beberapa novel tersebut. Kesamaan dari ke empat novel tersebut yaitu hadirnya konflik yang berada dalam setiap keluarga tokoh utama pada setiap novel tersebut.
Konflik-konflik yang hadir pada setiap novel tersebut bersubjek pada tokoh-tokoh yang masih mempunyai hubungan darah maupun hanya hubungan kekerabatan saja. Tema konflik yang diambil oleh para pengarang novel-novel tersebut yaitu mengenai problematika cinta dan nafsu, seperti selingkuh. Hal itu dibungkus dengan cerita-cerita menarik. Selingkuh antara suami dengan wanita lain juga dibalas dengan hadirnya wanita yang ingin untuk berselingkuh dengan pria idaman lainnya. Hal tersebut pada umumnya sebuah hal yang lumrah pada kehidupan kota untuk selingkuh sampai kapanpun, ketidakpuasan ditengarai sebagai suatu hal yang berkelanjutan jika diteruskan dengan konflik keluarga.
Konflik keluarga disikapi dengan berbeda cara pada setiap cerita novel tersebut. Pada novel Of Bees And Mist, konflik keluarga tersebut bermula pada lahirnya seorang anak perempuan bernama Meridia. Gabriel dan Ravenna adalah orangtua dari Meridia. Sebelumnya pasangan tersebut hidup bahagia, namun semenjak lahirnya Meridia sering terjadi konflik antara Gabriel dan Ravenna. Hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak biasanya, karena jika hanya konflik keluarga biasa tentu akan bermuara pada kebahagiaan jika konflik terebut diakhiri. Konflik tersebut sepertinya tidak akan pernah bermuara pada kebahagiaan, hingga Meridia hanya merasa dekat dengan perawat atau pengasuhnya. Sedangkan orangtua tengah sibuk dalam aktifitas sehari-harinya.
Sang ayah, Gabriel tidak menyukai kehadiran Meridia dalam kehidupan ini, entah itu karena dengungan lebah yang mengatakan bahwa Meridia sebagai pembawa ketidakbahgiaan hidup Gabriel. Apalagi ketika Meridia memasuki ruang kerja dari Gabriel, Gabriel sangat murka melihat Meridia tengah berdiri di ruang penelitiannya. Dia memarahi Meridia dengan kata-kata yang tidak begitu mengenakan dan tidak seharusnya pada orangtua dan anaknya.
"Siapa yang memberi Anda izin untuk masuk?" Meridia berbalik dan menyusut. Senyum nya langsung meleleh dari wajahnya. "Bicaralah Jangan hanya berdiri di sana mengeluarkan air liur seperti kera.!"
Kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulut seorang ayah untuk anaknya yang tidak sengaja masuk ke ruang kerjanya. Seharusnya Gabriel mampu bersikap sebagai seorang ayah dengan kelembutanya agar tidak memasuki ruang kerjanya, karena hal tersebut akan berakibat buruk terhadap psikologis anak (Meridia). Atau jika memang ruangan tersebut dilarang dimasuki oleh orang lain tanpa ijin dari dirinya, sebaiknya dikunci saja meskipun hanya sebentar meninggalkan ruangan tersebut.
Berbeda dengan sang ibu, Ravenna. Ravenna sangat menyayangi anaknya tersebut, namun rasa sayang itu agak terganggu oleh sifat pelupa dari Ravenna. Kejadian yang paling disesalkan adalah ketika Ravenna lupa akan tanggal kelahiran Meridia, sehingga Meridia bingung untuk merayakan hari ulangtahunnya. Hal tersebut seharusnya tidak terjadi jika Ravenna bukan seorang pelupa dan akhirnya mempengaruhi psikologis sang anak, Meridia. Karena peristiwa ulangtahun merupakan hal yang sangat penting untuk anak berumur kurang dari 10 tahun.
Dua hal tersebut menjadi suatu konflik tersendiri bagi Meridia, suatu hal yang tidak patut ia terima saat umur kurang dari 10 tahun. Meridian seharusnya mendapat perhatian lebih dari orangtuanya, bukan seorang ayah yang tidak senang melihanya dan seorang ibu yang sering melupakannya. Konflik psikologis dan konflik batin menjadi tema utama dari Meridia. Dia hanya mampu menerima semua ini dengan tenang dan berbagi kepada pengasuhnya.
Selanjunya ketika dia menikah dengan Daniel, timbul konflik lagi dengan orangtua perempuan Daniel, Eva. Konflik tersebut tentu tidak dinginkan oleh Meridia sendiri. Bagaimanapun seseorang menginginkan hidupnya tenang dan berkomunikasi baik kepada siapa pun, termasuk kepada mertuanya. Namun Eva dengan perangainya yang buruk terus meneror Meridia sampai mempengaruhi anak Meridia dan Daniel, Noah.
Untuk cerita novel Peri Kecil di Sungai Nipah, konflik dalam keluarga lebih dari sekedar sebuah masalah suka atau tidak sukanya seseorang dalam keluarga dengan anggota keluarga lainnya. Namun lebih kepada hadirnya seseorang yang menganggu hubungan pasangan suami-istri dalam cerita tersebut. Hal itu yang disebut dengan perselingkuhan, apalagi perselingkuhan tersebut menghasilkan sebuah benih. Tokoh Karyo Petir dalam cerita tersebut memiliki peran yang sangat unggul untuk dijadikan sebuah kesalahan atas hancurnya hidup keluarganya. Saat dia telah mendapatkan seorang istri, Dalloh dengan kesuburannya dalam menghasilkan keturunan, Karyo berselingkuh dengan Wasti, seorang yang berasal dari desa sebelah tempat ia tinggal.
Perselingkuhan tersebut menghasilkan seorang anak bernama Kulung. Pada saat itu juga Karyo diberikan keturunan bernama Dagu dan Gora. Saat itu juga konflik pun mulai timbul dalam keluarga tersebut. Mulai dari depresinya Wasti sebagai seorang yang di cap perempuan nakal di desanya, karena melahirkan Kulung tanpa memberi tahu siapa ayah dari Kulung. Hingga pada akhirnya Wasti memlih untuk bunuh diri karena tidak tahan atas malu yang dideritanya. Selanjutnya, Kulung atas bantuan neneknya hendak menemui ayahnya, Karyo. Maka dia pun menyusul ke rumah Karyo dan ingin membalas dendam atas meninggalnya sang ibu.
Konflik tersebut berlanjut kepada usaha Kulung atas permbalasan dendamnya dengan mengaku telah meniduri Gora, anak Karyo. Hal tersebut dilakukan dengan motif untuk membuat hancur perasaan Karyo. Karena bagaimanapun seorang ayah akan merasa bingung melihat dua anaknya telah melakukan hal yang tidak benar. Sesuatu yang memang terlarang untuk dilakukan oleh dua orang anak dari seorang ayah, meskipun berbeda ibu.
Konflik selanjutnya berlangsung atas nama perselingkuhan yang dilakukan oleh istri Karyo, Dalloh. Dalloh berselingkuh dengan Mandor Jarot. Hal itu dilakukan untuk membalas dendam atas perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya kepada Wasti dan menghasilkan benih bernama Kulung. Sehingga Karyo mengalami penderitaan yang luar biasa dalam hidupnya. Selain memikirkan masalah anaknya yang ditiduri oleh anak hasil perselingkuhannya, dia juga memikirkan masalah istrinya yang berselingkuh dengan Mandor Jarot. Selain hal itu dia juga dipikirkan dengan masalah Dagu yang diculik dan disiksa atas kegiatan demo yang dilakukannya, hal itu pun terjadi karena ulah Kulung. Karena memang telah bertabuh gendering peperangan dalam diri Kulung untuk menghancurkan keluarga ayah kandungnya sendiri.
Seharusnya konflik tersebut tidak harus terjadi jika Karyo Petir memliki kesungguhan untuk menjaga keharmonisan keluarganya sendiri. Saat ada kebosanan dalam menghadapi istrinya, dia tidak perlu melakukan perslingkuhan dengan Wasti. Karena bagaimanapun kehancuran hidupnya berasal dari perselingkuhan tersebut. Hingga dia dibalas dengan kehancuran setelah melihat anak-anak beserta istrinya terlibat permasalahan yang krusial, apalagi ditengarai hal itu disebabkan oleh hadirnya Kulung.
Untuk cerita novel The God Of Small Thing, konflik dalam keluarga bermula pada kehidupan Ammu Ipe. Saat dia berada di Calcutta dan berkeluarga dengan seseorang yang mencoba melacurkan dirinya ke atasannya. Di Calcutta Ammu melahirkan anak kembar yaitu Estha dan Rahel, namun Ammu Ipe akhirnya pulang ke orangtuanya ke daerah Aymanam. Disana ia berkumpul dengan saudara-saudaranya yang justru memiliki permasalahan baru satu sama lainnya. Dia mempunyai saudara-saudara yang juga mempunyai permasalahan sendiri-sendiri yang pada akhirnya menjadi satu masalah puncak dengan Ammu beserta anak kembarnya.
Permasalahan yang dipunyai oleh saudara-saudara Ammu cenderung sama seperti permasalahan Ammu tentang retaknya suatu hubungan kisah-kasih dengan orang lain. Saudara lelakinya bernama Chako yang telah membina hubungan rumahtangga dengan Margareth di London. Namun Margareth bercerita jika dia dirinya telah berselingkuh dengan Joe, hal itu membuat Chako akhirnya pulang ke India untuk mengurus keluarganya saja. Sementara saudara perempuan Ammu yang bernama Kochama juga mengalami masalah yang sama dengan apa yang Ammu dan Chako alami. Sehingga diri Kochama menjadi sedih yang tak terhingga dan cenderung untuk melukai dan memprovokasi orang-orang lain termasuk saudara-saudaranya sendiri. Permasalahan yang dialami oleh Kochama yaitu cintanya yang terbalas oleh pastor muda yaitu bernama Mulligan yang datang ke daerah tempat Kochama tinggal. Perbedaan konflik di antara Ammu dengan saudara-saudaranya membuat mereka kembali ke rumah tinggal orangtuanya. Selain itu juga ada si kembar Rahel dan Estha, juga Margareth dan Sophie yang tak lain adalah anak dari Chako dan Margareth.
Konflik keluarga itu mulai memanas saat Ammu bertemu dengan Velutha yang tak lain adalah seorang yang telah berkerja di keluarga Ammu dan saudara-saudaranya. Hingga mereka berdua melakukan hubungan terlarang pada malam hari. Hubungan tersebut membuat Ammu benar-benar merasa jatuh cinta dengan Velutha, namun Kochama tidak senang melihat hal tersebut dan berusaha mengusir Velutha agar tiudak dapat melanjutkan hubungan dengan Ammu. Ammu yang mengetahuinya malah menuduh hal tersebut karena ulah si kembar. Si kembar yang merasa tidak menerima dengan hal tersebut mencoba kabur dari rumah karena kecewa dengan sikap ibunya, hal tersebut terlaksana dengan diikuti oleh  Sophie. Namun usaha melarikan diri itu malah membawa petaka dengan meninggalnya Sophie karena tenggelam saat mereka menyebrang sungai.
Konflik tersebut berlanjut hingga di rumah saat Margareth dan Chako menemukan anak mereka telah meninggal dunia. Sehingga hal tersebut membuat Margareth menampar Estha. Hal itu berlanjut dengan pelaporan Velutha oleh Kochama sebagai dalang atas meninggalnya Sophie kepada polisi. Ammu yang mendengar berita tersebut mencoba mengkalrifikasi ke kantor kepolisian tentang kebenaran yang terjadi dan mencoba membuktikan bahwa Velutha tidak bersalah. Seperti yang telah disebutkan di atas jika Ammu sangat mencintai Velutha. Sehingga akan berupaya sekeras mungkin untuk membela Velutha. Sebuah respon yang akan melahirkan konflik-konflik lanjutan yang tentu dimanfaatkan oleh Kochama.
Konflik lanjutannya yaitu berupa hasutan yang dilancarkan oleh Kochama karena melihat situasi yang keruh dalam keluarganya. Karena bagaimanapun terasa sebagai sebuah ladang emas untuk digarap agar semua merasakan kesedihan seperti yang Kochama alami, sejak saat ditolak oleh Pastor Mulligan. Hasutan tersebut berupa perkataan Kochama kepada Chako sehingga mengusir Ammu dan beserta anak-anaknya seperti Estha dan Rahel. Hingga pada akhirnya Ammu harus meninggal karena terusir dan tidak mempunyai penghasilan untuk bertahan hidup. Sementara Estha dan Rahel harus berpisah karena Rahel dipindah ke Amerika untuk kuliah.
Jika dirunut konflik memang terlalu pelik untuk diukir masalah awalnya, karena Ammu sebagai awal masalah mempunyai cinta yang seperti cinta manusia biasa. Selanjutnya Kochama sebagai tukang pemanas masalah justru semakin senang karena melihat masalah yang tengah terbuka di dalam keluarganya. Hingga permasalahan menjadi semakin runcing dan tidak mempunyai penyelesaian masalahnya.
Untuk konflik dalam cerita novel The House Of The Spirit, konflik bermula dari seorang kepala keluarga yang bernama Esteban Trueba. Sebelum berkeluarga dengan Clara, dia telah menghamili seorang petani yang berkerja di keluarga Tres Marias dan berbuah anak bernama Esteban Garcia. Hal itu menjadi konflik tersendiri karena bagaimana pun nanti Esteban Garcia akan bertanya-tanya mengenai tindakan yang tidak bertanggungjawab yang dilakukan oleh Esteban Trueba.
Selanjutnya konflik lainnya terjadi saat Esteban Trueba menikah dengan Clara dan kedatangan adik dari Esteban Trueba yaitu Ferula. Karena suatu hal yang dilakukan oleh Ferula membuat Esteban Trueba marah, akhirnya Ferula terusir dari rumah dan menyumpahi kakaknya akan meninggal menjadi anjing nanti. Suatu hal yang menyedihkan karena terjadi konflik di antara saudara tersendiri yang berakhir pengusiran Ferula dari rumah Trueba.
Pernikahan mereka menghasilkan tiga anak yaitu Blanca, Jaime, dan Nicolas. Blanca tumbuh menjadi dewasa dan bertemu dengan Pedro Torcero. Mereka manjadi sepasang kekasih hingga membuat ayah Blanca tidak suka kepadanya. Esteban Trueba secara terang-terangan tidak suka dengan hubungan mereka dan memarahi Blanca habis-habisan dan mengusir Pedro dari wilayahnya. Tidak hanya mengusir, namun juga memotong tiga jari Pedro. Clara yang melihat anaknya mendapat perlakuan seperti itu mencoba menenagkan suasana namun Esteban Trueba malah memukulnya. Konflik tersebut menjadi memanas karena telah terjadi tindakan main tangan oleh Esteban Trueba untuk memukul seorang wanita, istrinya. Clara memutuskan untuk tidak mau berbicara dengan Esteban Trueba lagi.
Esteban menjadi sangat bingung karena melihat Blanca tengah hamil anak Pedro, dan memutuskan agar Jean Stigny (seorang dari Perancis) mau menikahi Blanca. Hingga akhirnya Blanca melahirkan seorang anak bernama Alba. Hingga kahirnya Alba diramalkan oleh ibunya mendapatkan jodoh seseorang yang bernama Miguel.
Konflik mulai memuncak saat Esteban Trueba dengan gerakan politis sosialisnya ingin mengkudeta pemerintahan, namun rezim militer pemerintahan yang dipimpin oleh Esteban Garcia bertindak brutal dan memukul balik serangan Esteban Trueba. Esteban Garcia yang ingin membalas dendamnya ketika ia ditinggal oleh ayahnya, berhasil membunuh Jaime yang merupakan saudara tirinya. Memang resiko pertengkaran antara saudara tiri sangatlah mungkin, namun jika dapat dikendalikan oleh ayah mereka yang berperan sebagai pengadil di antara saudara tiri tersebut, maka semuanya akan baik-baik saja. Selanjutnya Esteban Garcia berhasil memperkosa Alba hingga Alba ingin mengakhiri hidupnya.
- Kesimpulan
Jika disimpulkan, maka konflik-konflik yang terjadi dan menyangkut hampir setiap anggota keluarga tersebut menjadi suatu hal yang tidak memberikan rasa senang terhadap sesama, selanjutnya saling menyakiti yang dapat ditemukan dan semakin hilangnya rasa persaudaraan sedarah mereka. Apalagi jika hadirnya anak tiri dan ingin membalaskan dendam akibat tidak dihiraukan saat anak tiri tersebut membutuhkan kasih sayang dan tuntunan oleh seorang ayah.