Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Jumat, 06 Januari 2012

JURNAL: Estetika Kekerasan Dalam Cerpen Telinga dan Sepotong Bibir di Jalan Raya


ABSTRAK
Penlitian ini berjudul “Estetika Kekerasan Dalam Cerpen Telinga dan Sepotong Bibir di Jalan Raya”. Penelitian ini digunakan untuk mencari estetika kekerasan yang hadir dalam kedua cerpen tersebut, meliputi makna yang ingin disampaikan berikut kesan yang tercipta dari lahirnya kedua cerpen tersebut. Hasil dari penelitian ini yaitu menemukan kesan estetika kekerasan sebagai suatu hal yang dipakai oleh para pengarang kedua cerpen ini dengan makna pemakaian hal itu di kedua cerpen. Secara tidak langsung hal tersebut menimbulkan kesan yang menghubungkan dengan rezim Soeharto pada tahun 1992 yang penuh akan intrik kekejaman politik ala dikatator.
Kata Kunci : Estetika Kekerasan, Telinga, Sepotong Bibir di Jalan Raya, dan Soeharto.

I. PENDAHULUAN
1.1  Masalah Penelitian
Sastra bandingan lahir dari kesadaran bahwa sastra tidak tunggal, namun perbedaannya kesamaan terjadi karena masalah manusia, sebagaimana yang plural, dan bahkan semua sastra ada kesamaan-kesamaan dan perbedaan terekam dalam sastra, pada hakikatnya universal, dan perbedaan-perbedaan terjadi karena mau tidak mau sastra didominasi oleh situasi dan kondisi tempatan.
Biasanya masalah yang dihadapi oleh manusia yang tertuang dalam karya sastra diantaranya masalah kemiskinan, cinta, dan kesenjangan sosial. Kondisi sosial setiap orang itu berbeda-beda, perbedaan sikap manusia menghadapi masalah, kemiskinan dihadapi secara individu, masalah di sini adalah masalah universal. Setidaknya masalah-masalah yang dihadapi manusia di atas tentu hadir dalam cerpen Telinga karya Seno Gumira Adji dan Sepotong Bibir di Jalan Raya karya Agus Noor. Sebenarnya dua karya tersebut berlatar pada suasana kehidupan yang yang normal di kehidupan kota, metropolitan. Sehingga politik dan budaya ikut menjadi suatu problematika yang memasuki kehidupan tiap individu tersebut berikut pihak-pihak yang ahli dan berkuasa. Melihat tahun pembuatan kedua cerpen tersebut pada tahun 1992, maka peneliti akan menghubungkan isi cerpen-cerpen tersebut dengan peristiwa di tahun 1992.
Dalam kedua cerpen tersebut terdapat tahun pembuatan cerpen-cerpen itu, yaitu tahun 1992. Sehingga peneliti menghubungkan isi cerpen-cerpen dengan peristiwa terkait sekitar tahun 1992. Di tahun 1992, rezim Soeharto masih berdiri tegak dengan kediktatorannya bersama para pasukan militernya. Terlihat sangat terampil Soeharto dalam berestetika-kepemimpinannya, dengan tenang dia mampu menyelesaikan semua masalah dalam rakyatnya dengan bersih dan meyakinkan.
Bagai seorang pahlawan dia dianggap di banyak kalangan masyarakat. Namun jika terdapat salah satu oknum masyarakat yang tidak sesuai dengan pendiriannya, keputusaannya, atau berbeda sikap dan perilaku maka ia akan segera meminta para pasukan militernya untuk bertindak. Tindakan tersebut tidak tanggung-tanggung yaitu kematian yang dibungkus rapi. Sehingga banyak yang tidak akan mengira Soeharto sebagai dalang atas kematian orang-orang yang disebut Soeharto sebagai pembangkang. Tahun 1992 juga adanya pemilu, yang banyak kalangan mengatakan jika pemilu tersebut merupakan pemilu terakhir Soeharto. Setidaknya hal tersebut juga disampaikan melalui simbol-simbol dalam cerpen-cerpen tersebut. Sehingga “estetika kekerasan” hadir sebagai simbol penolakan atas tindakan Soeharto tersebut.
Sehingga jika dihubungkan dengan kajian komparasi literatur, masalah-masalah tersebut terlihat mempunyai kesamaan dalam kehadirannya di setiap karyanya. Hal itu paling banyak ditemui berupa kesamaan ideologi yang diperjelas lewat kejadian-kejadian yang melingkari tokoh-tokohnya. Hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar, karena tiap individu dalam membuat suatu karya tentu lewat pemikiran yang berupa mozaik-mozaik kutipan yang berasal dari memori pengarang itu sendiri. Entah berupa rekaman melihat suatu fenomena dalam kehidupan pengarangnya atau pengalaman membacanya.
Kesan kesamaan ideologi tersebut diidentifikasi secara jelas dalam karya-karya tersebut sehingga menjadi suatu analisis perbandingan. Maka, peneliti merumuskan judul untuk tulisan ini yaitu “Estetika Kekerasan Dalam Cerpen Telinga dan Sepotong Bibir di Jalan Raya”. Tema “Estetika Kekerasan” tersebut hadir dalam kedua cerita sebagai suatu hal yang menyebabkan timbulnya judul-judul cerpen tersebut. Sehingga perlu proses identifikasi lebih lanjut terhadap “Estetika Kekerasan” di setiap cerpen. Selanjutnya analisis ini perlu dilanjutkan ke arah penyikapan “Estetika Kekerasan” tersebut dalam masing-masing cerpen. Hal ini digunakan untuk menjelaskan seberapa penting kehadiran “Estetika Kekerasan” yang berjalan di setiap cerpen tersebut.
Kata “estetika” mempunyai arti menurut kamus besar yaitu kepekaan terhadap seni dan keindahan. Kata “kekerasan” mempunyai arti perbuatan seseorang atau kelompok orang yg menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Sehingga jika digabung, maka mempunyai arti yaitu kepekaan terhadap keindahan perilaku yang menyebabkan kerusakan. Tentu dalam hal ini bermakna simbolis.

2. ANALISIS PERBANDINGAN
2.1 Identifikasi “Estetika Kekerasan”
Proses pengidentifikasian “Estetika Kekerasan” ini dapat dilihat dari judul cerpen masing-masing yang merupakan sebuah bagian tubuh manusia. Tentu bagian tersebut menjadi judul cerpen-cerpen dengan membawa fungsi sebenarnya dari bagian tubuh terhadap tubuh secara total.
Judul yang pertama yaitu “Sepotong Bibir di Jalan Raya” terlihat jelas menyebut satu bagian tubuh manusia yaitu bibir. Bibir dalam susunan tubuh secara total berfungsi sebagai menyampaikan sesuatu yang ingin dibicarakan. Tentu sesuatu yang ingin dibicarakan tersebut merupakan hasil pemikiran dalam hati manusia. Judul yang kedua yaitu “Telinga”. Judul ini tentu menyebutkan bagian tubuh yaitu telinga dan berfungsi sebagai mendengarkan suara-suara yang sampai di tubuh secara total dan sesuai dengan kekuatan frekuensi suara tersebut sehingga sampai. Dari dua bagian tersebut tentu mempunyai alat kontrol dalam tubuh yaitu otak secara fisik dan hati manusia secara rohani. Sehingga mampu memfilter segala hal yang ingin dibicarakan dan didengarkan dengan baik atau sesuai dengan diri tubuh tersebut.
Pada cerita Sepotong Bibir di Jalan Raya, potongan bibir tersebut menjadi suatu hal yang sangat diagung-agungkan oleh penemunya yaitu tokoh Winarti. Padahal ia tahu jika potongan bibir tersebut merupakan sebuah hasil tindakan kekerasan oknum yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Meskipun untuk alasan kebenaran potongan bibir itupun seharusnya tidak boleh berada di pinggir jalan, tempat masyarakat beraktifitas. Namun Agus Noor lewat tokohnya Winarti menyikapi hal itu sebagai sebuah hal yang dibungkus oleh seni keindahan, seperti “Pelan-pelan, Winarti memungut bibir itu. Jari-jarinya yang lentik dan bersih merasakan kekanyalan yang membuatnya kian berdebar, seakan memungut sepotong impian.” Dalam logika, hal tersebut tentu bernada miris, karena seharusnya seseorang jika menemukan potongan bibir tersebut maka mendapati dirinya dalam kengerian kepada seseorang yang tega melakukannya.
Namun tidak bagi Winarti yang seperti mendapatkan sesuatu yang indah yaitu impian yang terwujudkan. Dengan indah, tokoh tersebut membersihkan potongan bibir tersebut dengan tisu dari debu, semut dan darah. Bahkan darah tersebut menetes hingga membasahi tangannya. Hal tersebut mengandung estetika di dalamnya, karena kata-kata yang mendeskripsikan peristiwa tersebut disusun dan disajikan dengan keindahan, meskipun mengandung kekejaman. Seolah kata-kata seperti sayatan, darah, dan luka tidak begitu diposisikan sebagai sebuah hal yang memberi efek kejam dalam cerpen tersebut.
Tokoh Winarti pun menyimpannya bagai perhiasan atau sesuatu yang berharga untuk dimilikinya. Bahkan tokoh tersebut ingin memakainya untuk menggantikan mulutnya sendiri yang dinilai kurang indah dan akan bernilai harga suatu saat. Kesan estetika kekerasan berperan pada bagian tersebut. Karena seindah-indahnya potongan bibir tersebut, tetap hal itu berasal dari sebuah kekerasan hingga potongan bibir tersebut terlepas dari tubuhnya.
Winarti pun melanjutkan kesan estetika kekerasan pada dirinya dengan menebak jika suatu saat pasti akan mempunyai harga. Jika dilogika, memang sepotong bibir akan mempunyai harga yang tinggi untuk penelitian kesehatan, namun dengan proses penghalalan mendapatkan potongan bibir tersebut. Dalam artian, potongan bibir tersebut didapatkan dengan ijin yang sah oleh negara dan didapatkan dari orang yang telah meninggal dunia namun tidak mempunyai identitas, bukan dari orang yang dengan paksa dipotong bibirnya.
Bahkan Winarti merasa sia-sia jika membiarkan potongan bibir itu di jalan karena bisa saja bibir tersebut tergilas kendaraan atau dibawa oleh hewan lain seperti kucing dan anjing. Kesan estetika kekerasan hadir saat Winarti merasa sia-sia jika membiarkan potongan bibir tersebut di jalan. Hewan seperti kucing dan anjing memang merupakan hewan jalanan yang selalu mencari makanan, namun jika mereka menemukan potongan bibir di jalan mereka akan memakannya juga, hal tersebut memeberikan efek kengerian sendiri. Karena bagaimanapun bibir merupakan bagian dari tubuh manusia yang jika dimakan oleh hewan-hewan tersebut merupakan suatu keliaran hidup yang teramat pedih jika dinalar.
Karenanya, Winarti pun menyimpan bibir itu, dalam kotak mungil tempat semula ia menyimpan beberapan perhiasannya. Dengan begitu ia tak terlalu rerpot bila ingin membawanya. Tinggal memasukkan kotak itu ke dalam tas, dan ia bisa sewaktu-waktu memamerkannya pada kawan-kawan dan kenalan. Siapa yang tak bangga punya koleksi bibir yang begitu indah?         
(Agus Noor: 18)
Dalam penggalan cerita tersebut di atas, tampak Winarti sangat mengagungkan potongan bibir tersebut. Mulai dari Winarti meletakkan potongan bibir tersebut di kotak perhiasan dan akan memperlihatkan ke teman-temannya dan bahkan mempunyai kesan akan memperlihatkan hal tersebut ke setiap orang yang akan ditemuinya. Sehingga Winarti sangat bangga dengan mempunyai potongan bibir tersebut. Seolah kepercayaan diri yang tinggi tengah melingkarinya. Winarti pun menganggap potongan bibir tersebut sebagai mutiara yang paling sempurna. Kesan estetika kekarasan muncul dalam hal tersebut, muncul saat bibir yang merupakan anugrah dari Tuhan menjadi suatu yang diperlakukan tidak sesuai / kurang etis ketika terpisah dari tubuh pemilik potongan bibir tersebut. Namun di perlakukan bagai perhiasan yang teramat bagus dan tidak ada yang mampu menyaingi keindahannya. Maka dari itu seharusnya potongan bibir tersebut di kubur dalam tanah, bukan di pamerkan.
Selanjutnya pada cerpen kedua yaitu “Telinga” karya Seno Gumira Adji ini mengandung “Estetika Kekerasan” seperti halnya cerita “Sepotong Bibir di Jalan Raya” dengan pengagungan bagian tubuh yang terpisah oleh tubuh secara total, bukan sebagai sesuatu yang bersifat miris jika dilihat. Sesuai dengan judul cerpen tersebut yaitu telinga. Sama seperti cerpen “Sepotong Bibir di Jalan Raya”, cerpen ini menggunakan objek yaitu telinga yang terpisah dari manusia dan menjadi polemik keistimewaan di dalam cerita tersebut.
Kesan estetika kekerasan tersebut mulai muncul dalam cerpen “Telinga” ini saat tokoh Dewi menerima kiriman amplop dari kekasihnya, seorang tentara yang bertugas di medan perang. Isi amplop tersebut yaitu sebuah telinga yang bagus, besar, dan belum mengering darahnya. Kata “bagus” seolah mengusir kata miris ataupun kaget sekali pun saat Dewi membuka amplop tersebut. Penerimaan amplop yang berisikan telinga tersebut seharusnya membuat miris Dewi, namun malah diformat mempunyai kata “bagus” sehingga menimbulkan kesan estetis dari potongan telinga tersebut.
Jika di dalam cerita “Sepotong Bibir di Jalan Raya” tidak ditemukan oknum yang melakukan pemotongan dan pemilik bibir tersebut tidak disebutkan, maka dalam cerita “Telinga” menceritakan oknum yang memotong telinga tersebut. Yaitu kekasih Dewi yang memotong telinga musuhnya dalam perang. Kesan estetika kekerasan ditimbulkan saat kekasihnya Dewi tersebut mengirim potongan telinga tersebut untuk menghilangkan rasa kangen dirinya kepada Dewi. Karena bagian yang sangat penting bagi manusia terpisah dari tubuhnya dan diceritakan sebagai bentuk rasa kangen terhadap seseorang maka potongan telinga tersebut dikirimkan ke kekasinya, terlihat sangat estetis.
Kesan estetika kekerasan yang timbul dalam cerpen ini juga hadir saat Dewi menjadikan potongan-potongan telinga tersebut sebagai suatu aksesoris, hiasan, gantungan kunci, dan anting-anting. Hal tersebut terkesan estetis karena potongan tubuh seharusnya dikubur menjadi hiasan-hiasan yang diletakkan di mana saja seolah match dengan keadaan tempat tersebut. Seolah kesan damai, indah, dan menawan mengusir rasa jijik, miris, dan kejam. Selanjutnya hal tersebut dinilai sebagai suatu hal yang membanggakan untuk kekasih Dewi, penilaian tersebut hadir dari setiap orang yang melihat potongan telinga tersebut. Karena Dewi juga menjelaskan kepada setiap orang yang melihat potongan telinga tersebut sebagai suatu hal yang harus dilakukan tentara kepada musuh negara.
Selanjutnya kesan estetika kekerasan dihadirkan pada surat terakhir dari kekasih Dewi yang menawarkan kepala-kepala yang dianggap musuh oleh dirinya dikirimkan ke Dewi. Hal tersebut bermuatan estetis, karena seorang yang kangen kepada kekasihnya jika ingin mengirimkan barang, tentu bukan sebuah kepala yang telah terpisah dari tubuh yang dikirimkan, namun sesuatu yang lebih indah. Kekasih Dewi seolah memberikan predikat sebagai kenang-kenangan terhadap kepala-kepala yang telah terpenggal, karena perdikat tersebut seharusnya milik barang-barang yang bukan merupakan hasil kekerasan atau kekejaman sekalipun.
2.2 Penyikapan “Estetika Kekerasan” dalam Kedua Cerpen
“Estetika Kekerasan” hadir di kedua cerpen tersebut sebagai metode penyampaian atau deskripsi mengenai kejadian-kejadian yang tertulis. Hal tersebut selanjutnya menjadi simbol dalam dua cerpen tersebut atas periode pemerintahan Soeharto. Hal itu dibungkus oleh keindahan pemformulasian kata-kata oleh kedua pengarang, sehingga kekejaman atau kekerasan tampak berestetika dalam kedua cerita tersebut.
Dalam cerita “Sepotong Bibir di Jalan Raya”, estetika kekerasan lewat bentuk representasinya berupa bibir hadir dalam cerita tersebut sebagai barang temuan di pinggir jalan seperti mainan anak kecil yang terjatuh karena kelalaian seorang anak kecil. Namun bibir tersebut mempunyai pengaruh magis bagi Winarti, sang penemu. Hal magis itu membentuk suatu sikap Winarti yang ingin sekali memilikinya, tentu karena keindahan dan keistimewaan bibir itu. Hal tersebut jika dikaitkan dengan tahun 1992, maka lebih mengarah ke rangkulan Soeharto pada rakyatnya. Rangkulan tersebut berisikan suatu keistimewaan hidup sejahtera untuk rakyat. Dengan muncul di pinggir jalan sebagai penanda jika Soeharto ikut merakyat sehingga mudah untuk ditebak pemikirannya yang ke arah kerakyatan yang makmur.
Untuk sebuah bibir yang tersayat dan ditemukan di pinggir jalan tersebut dapat mengindikasikan tentang kepribadian Soeharto yang sebenarnya telah rusak terkait pengangkatannya sebagai presiden menggantikan Soekarno melalui Supersemar yang penuh akan kontroversi. Tentu hal tersebut akan dianggap sebagai cacat seumur hidup dari Soeharto seperti darah dari bibir tersebut yang tidak pernah berhenti mengalir.
Winarti layaknya seorang rakyat yang butuh akan kemakmuran untuk kehidupannya, mencoba memiliki sepenuh hati atau mengganti bibirnya dengan bibir temuan tersebut. Hal ini mempunyai makna yang menyinggung ke pemerintahan Soeharto dengan kecakapan kepemimpinannya. Sehingga dia mencoba untuk membersihkan potongan bibir tersebut dari kotoran, layaknya rakyat jelata yang menghargai tinggi suatu metode Soeharto yang mengarah ke kemakmuran hidup masyarakat. Selanjutnya ketika Winarti terpesona saat melihat hamburan bunga-bunga menyimbolkan jika rakyat awam pada umumnya akan senang ketika hadir seseorang dengan janji-janji manis dan mengarah ke kebahagiaan atau terhindar dari kemiskinan.
Winarti sebenarnya ingin membuang potongan bibir tersebut karena selalu menghadirkan kecemasan dan bayangan seorang yang menakutkan, namun dia sepertinya telah terpedaya oleh keindahan potongan bibir tersebut. Apalagi bibir tersebut telah diberi tempat khusus yaitu sebuah kotak perhiasan. Setidaknya hal tersebut menjadi suatu indikasi jika rakyat pada era Soeharto telah diliputi oleh kekhawatiran terhadap kepemimpinan Soeharto yang tidak kunjung berganti sebagai seorang presiden, namun hal tersebut tersamarkan oleh adanya jasa-jasa Soeharto yang berulangkali mencoba mengangkat rakyatnya dari kemiskinan.
Potongan bibir tersebut masuk hingga dalam mimpi Winarti yang di dalamnya, dia dalam bahaya karena bertemu dengan pasukan bertopeng yang menodongkan senjata ke arahnya. Hal ini mengindikasikan jika rayuan-rayuan Soeharto telah sampai ke mimpi rakyatnya sebagai suatu hal yang bersifat menekan, karena sampai masuk ke mimpi tiap masyarakatnya.
Dikarenakan mengundang bahaya, maka Winarti mencoba untuk membuang potongan bibir itu jauh-jauh dari jendela apartemennya, namun bibir tersebut menjadi suatu hal yang mengerikan dengan menelan apapun yang ditemuinya. Winarti sendiri yang mencoba mencari perlindungan ke suaminya namun menemukan pasukan loreng bertopeng yang ia temukan dan menyuruh Winarti untuk masuk ke dalam bibir itu. Hal tersebut jika dihubungkan dengan tahun 1992 rezim Soeharto, maka hal tersebut mengacu pada rakyat yang telah sadar akan hidup yang dikuasai politik kotor sang Bapak Pembangunan. Rakyat tentu akan berusaha memberikan respon dengan berbagai cara untuk menghindari pengaruh Soeharto. Hal itu terasa berat karena pasukan militer milik Soeharto mengancam setiap masyarakat yang lepas dari pengaruh partai Golkar, tempat Soeharto. Ancaman tersebut berupa kematian atau kehilangan dari rakyat yang coba-coba untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan.
Dalam cerita “Telinga”, estetika kekerasan lewat bentuk representasinya berupa bagian tubuh yaitu telinga hadir dalam cerita tersebut sebagai barang kiriman seorang tentara di medan perang sebagai kenang-kenangan untuk kekasihnya, Dewi. Seperti hiasan yang khas daerah tempat tentara itu bertugas. Namun telinga kiriman tersebut dijadikan oleh Dewi sebagai suatu pernak-pernik layaknya hiasan yang digantung di berbagai tempat agar indah dipandang, meskipun darah dari telinga tersebut tetap menetes. Potongan telinga tersebut sebagai simbol dari kekejaman rezim Soeharto yang membumihanguskan tiap individu yang tidak sejalan dengan dirinya.
Jika dihubungkan dengan pemilu tahun 1992, cerpen ini menceritakan kepribadian Soeharto lewat seorang tentara yang beralasan kangen dengan kekasihnya yaitu Dewi. Dewi tersebut merupakan simbol dari nafsu kepemimpinan atau menguasai Soeharto untuk memimpin lagi di periode 1993-1998. Sehingga jika dihubungkan menjadi kepribadian Soeharto yang menyembahkan kekejaman, sebagai bentuk rasa rindunya terhadap kepemimpinan di Indonesia. Tentu hal tersebut untuk memuaskan nafsu kepemimpinannya yang sebenarnya penuh akan kekejaman, namun terbungkus rapi tidak terlihat pada tahun-tahun sebelumnya.
Secara tidak langsung, nafsu untuk berkepemimpinan yang diktator terus menstimulus Soeharto untuk melakukan kekejaman-kekejaman demi menghabiskan musuh-musuh politik Soeharto yang saat itu tengah mengikuti Pemilu 1992. Apalagi hal tersebut mendapat dukungan dari orang-orang terdekat Soeharto yang juga tengah menikmati hasil kerja keras Soeharto, seperti sanak keluarganya Soeharto atau para menteri kabinetnya. Hal tersebut tercermin pada tokoh Dewi yang mengirim surat ke kekasihnya tersebut dengan kata-kata yang berisikan respon bangga atas hadirnya telinga-telinga tersebut, apalagi setiap orang yang melihat telinga tersebut merasa senang dan ingin memilikinya. Sehingga hal tersebut membuat kekasih Dewi menjadi bersenang hati untuk tetap mengirim telinga-telinga dalam jumlah banyak.
Selanjutnya, Dewi mencoba untuk menjadikan potongan telinga tersebut sebagai hiasan yang dapat digantung di sembarang tempat, sebagai gantungan kunci, hiasan tas, bros, dan anting-anting. Hal ini mengindikasikan tentang nafsu Soeharto yang terus menghalalkan segala cara demi mewujudkan keinginan Soeharto. Salah satunya yaitu dengan membungkus kekejaman tersebut sebagai suatu tindakan kebenaran atas nama negara dan rakyat seperti telinga tersebut yang dijadikan sebagai perhiassan, sehingga banyak kalangan yang mendukung tindakan Soeharto. Kekejaman tersebut dinamakan kekejaman atas musuh pribadi Soeharto, bukan kekejaman atas musuh negara dan rakyat Indonesia pada umumnya. Setidaknya hal itu yang dijadikan sebagai propaganda atas rakyatnya sendiri.
Suatu hal yang terlihat miris yaitu kekasih Dewi membantai semua orang yang dianggap mencurigakan untuk menjadi pemberontak. Hal ini terlihat aneh, karena dapat disimpulkan jika orang-orang yang tidak mempunyai kesalahan atau tidak menimbulkan bahaya juga akan dibunuh asalkan sesuai pemikiran kekasih Dewi, subjektif. Sehingga orang netral pun yang tidak terlihat sejalan dengan pemikiran kekasih Dewi, akan dipenggal kepalanya. Orang yang cinta damai pun berarti akan ikut kehilangan kepalanya karena tidak memihak pada negara. Hal itu juga tercermin pada Soeharto yang tidak pandang bulu dalam menghabiskan musuh-musuh politiknya, asal terlihat salah sedikit atau tidak sesuai peraturannya, dia akan menghabiskan oknum tersebut. Tentu hal itu beralasan dan berdasarkan keamanan atas nama negara dan selalu terlihat bersih.

3. KESIMPULAN
Judul yang pertama yaitu “Sepotong Bibir di Jalan Raya” terlihat jelas menyebut satu bagian tubuh manusia yaitu bibir. Bibir dalam susunan tubuh secara total berfungsi sebagai menyampaikan sesuatu yang ingin dibicarakan. Tentu sesuatu yang ingin dibicarakan tersebut merupakan hasil pemikiran dalam hati manusia. Judul yang kedua yaitu “Telinga”. Judul ini tentu menyebutkan bagian tubuh yaitu telinga dan berfungsi sebagai mendengarkan suara-suara yang sampai di tubuh secara total dan sesuai dengan kekuatan frekuensi suara tersebut sehingga sampai. Dari dua bagian tersebut tentu mempunyai alat kontrol dalam tubuh yaitu otak secara fisik dan hati manusia secara rohani. Sehingga mampu memfilter segala hal yang ingin dibicarakan dan didengarkan dengan baik atau sesuai dengan diri tubuh tersebut.
Pada cerita Sepotong Bibir di Jalan Raya, potongan bibir tersebut menjadi suatu hal yang sangat diagung-agungkan oleh penemunya yaitu tokoh Winarti. Padahal ia tahu jika potongan bibir tersebut merupakan sebuah hasil tindakan kekerasan oknum yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Meskipun untuk alasan kebenaran potongan bibir itupun seharusnya tidak boleh berada di pinggir jalan, tempat masyarakat beraktifitas. Namun Agus Noor lewat tokohnya Winarti menyikapi hal itu sebagai sebuah hal yang dibungkus oleh seni keindahan, seperti “Pelan-pelan, Winarti memungut bibir itu. Jari-jarinya yang lentik dan bersih merasakan kekanyalan yang membuatnya kian berdebar, seakan memungut sepotong impian.” Dalam logika, hal tersebut tentu bernada miris, karena seharusnya seseorang jika menemukan potongan bibir tersebut maka mendapati dirinya dalam kengerian kepada seseorang yang tega melakukannya.
Kesan estetika kekerasan tersebut mulai muncul dalam cerpen “Telinga” ini saat tokoh Dewi menerima kiriman amplop dari kekasihnya, seorang tentara yang bertugas di medan perang. Isi amplop tersebut yaitu sebuah telinga yang bagus, besar, dan belum mengering darahnya. Kata “bagus” seolah mengusir kata miris ataupun kaget sekali pun saat Dewi membuka amplop tersebut. Penerimaan amplop yang berisikan telinga tersebut seharusnya membuat miris Dewi, namun malah diformat mempunyai kata “bagus” sehingga menimbulkan kesan estetis dari potongan telinga tersebut.
Dalam cerita “Sepotong Bibir di Jalan Raya”, estetika kekerasan lewat bentuk representasinya berupa bibir hadir dalam cerita tersebut sebagai barang temuan di pinggir jalan seperti mainan anak kecil yang terjatuh karena kelalaian seorang anak kecil. Namun bibir tersebut mempunyai pengaruh magis bagi Winarti, sang penemu. Hal magis itu membentuk suatu sikap Winarti yang ingin sekali memilikinya, tentu karena keindahan dan keistimewaan bibir itu. Hal tersebut jika dikaitkan dengan tahun 1992, maka lebih mengarah ke rangkulan Soeharto pada rakyatnya. Rangkulan tersebut berisikan suatu keistimewaan hidup sejahtera untuk rakyat. Dengan muncul di pinggir jalan sebagai penanda jika Soeharto ikut merakyat sehingga mudah untuk ditebak pemikirannya yang ke arah kerakyatan yang makmur.
Dalam cerita “Telinga”, estetika kekerasan lewat bentuk representasinya berupa bagian tubuh yaitu telinga hadir dalam cerita tersebut sebagai barang kiriman seorang tentara di medan perang sebagai kenang-kenangan untuk kekasihnya, Dewi. Seperti hiasan yang khas daerah tempat tentara itu bertugas. Namun telinga kiriman tersebut dijadikan oleh Dewi sebagai suatu pernak-pernik layaknya hiasan yang digantung di berbagai tempat agar indah dipandang, meskipun darah dari telinga tersebut tetap menetes. Potongan telinga tersebut sebagai simbol dari kekejaman rezim Soeharto yang membumihanguskan tiap individu yang tidak sejalan dengan dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. 1997. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Berbicara,.  Yogyakarta: Bentang.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitan Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
-------------------------------. 2009. Sastra Bandingan: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum Kompleks Dosen UI.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Teeuw, A. 1985. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Pustaka Jaya.

Daftar Rujukan Website
http://mahayana-mahadewa.com/2008/12/05/masalah-dalam-praktik-studi-sastra-bandingan/
http://nahrubdifan.blogspot.com/2011/01/bab-1-pendahuluan.html
http://umanrejoss.blogspot.com/2011/03/sastra-bandingan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar