Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Kamis, 30 Juni 2011

Sedikit tentang Teori Resepsi

BAB I
PENDAHULUAN
Merumuskan seperangkat ciri-ciri teks yang disebut 'sastra' itu dengan berpijak pada asas kenisbian historis (Teks-teks bukan sastra berfungsi dalam komunikasi praktis, siap dipakai, dan dimanfaatkan. Teks-teks sastra tidak terutama memenuhi fungsi komunikatif melainkan fungsi estetik dalam suatu lingkup kebudayaan tertentu. Agar dapat memenuhi fungsi estetik itu, suatu teks harus disusun secara khas sesuai dengan model estetika yang berlaku dalam lingkungan kebudayaannya. Teks-teks sastra merupakan modul kebudayaan yang mengungkapkan nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan tersebut. Seperti kebudayaan dapat berubah demikian juga modul-modulnya berubah).
Menurut H.B Mangunwijaya, sastra berkaitan erat dengan spiritual oleh karena itu, pada awal mula, segala sastra adalah religius. Ekspresi pengalaman keindahan itu menenteramkan dan menggembirakan manusia, karena di dalamnya manusia mengenali hubungan yang akrab dan hangat antara dirinya dengan sumber atau asas segala sesuatu yang menarik, mengikat memikat, dan memanggil manusia kepada-Nya.
Secara umum, yang dimaksudkan dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya (difalsifikasi) pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut.
Sedangkan sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sederetan karya seni. Sedangkan teori sastra, kritik sastra dan sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang sastra. Sedangkan studi terhadap karya-karya konkret disebut kritik sastra dan sejarah sastra. Ketiga bidang ilmu ini saling memengaruhi dan berkaitan secara erat. "Tidak mungkin kita menyusun: teori sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra; kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra" (Wellek & Warren, 1993:39).
Dapat disimpulkan bahwa, Teori Sastra merumuskan kaidah-kaidah dan konvensi-konvensi kesusastraan umum. Kegunaan Ilmu Sastra adalah membantu kita untuk mengerti teks itu secara lebih baik sehingga kita lebih tertarik untuk membaca karya-karya sastra.
Teori-teori klasik menurut M.H Abrams terdapat 4 pendekatan yaitu pendekatan mimetik yang menggunakan karya sastra sebagai cerminan semesta, pendekatan ekspresif yang menelaah secara langsung dari segi pengarang, pendekatan pragmatik dari segi pembaca, dan strukturalis yang sebagai karya yang bebas dan berdiri sendiri. Dalam pendekatan-pendekatan itu, peran penulis sempat hidup-mati sebagai pemegang peran penting dalam suatu karya sastra. Hal itu merupakan cukup membuka mata kita tentang hakikat karya sastra itu sendiri.
Salah satu dari ke-empat pendekatan teori sastra itu adalah teori Resepsi. Teori yang merupakan salah satu aliran dalam penelitian sastra yang terutama dikembangkan oleh mazhab Konstanz tahun 1960-an di Jerman. Teori ini menggeser fokus penelitian dari struktur teks ke arah penerimaan (Latin: recipere, menerima) atau penikmatan pembaca.
Di dunia Barat penekanan fungsi sastra untuk mempengaruhi pembaca antara lain mengakibatkan perbaruan antara teori sastra dan retorik, yang berusaha untuk meneliti setepat, selengkap dan secermat mungkin sarana-sarana bahasa yang dapat atau harus dimanfaatkan oleh pemakai bahasa, baik sastrawan, maupun pengacara, pengkhotbah, negarawan, dan seterusnya, untuk mencapai efek yang maksimal terhadap pendengar atau pembaca yang hendak diyakininya. Ilmu sastra modern lebih berorientasi pada masalah : apa yang dilakukan oleh pembaca dengan karya sastra, dan apa yang dilakukan oleh karya sastra dengan pembacanya, apakah tugas dan batas kemungkinan pembaca sebagai pemberi makna. Bukan sarana bahasa yang pertama-tama menarik perhatian tetapi efeknya pada pembaca sebagai faktor dalam proses semiotik dan pertanyaan bagaimana tanggapan pembaca terhadap karya sastra.

BAB II
PEMBAHASAN
Posisi Teori Resepsi dalam konteks Teori lainnya
Aspek pragmatik dalam retorika barat berawal dari Horatius mengatakan tentang tugas atau fungsi penyair sebagai berikut : aut prodesse volunt aut delectre poetae, aut simul et iucunda et indonea dicere vitae (tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan). Horatius memakai kata utile dan dulce bersama-sama bagi tujuan penyair ataupun efek puisi yang mungkin atau harus dihasilkan : menggabungkan yang bemanfaat dan yang enak. Retorika berkembang menjadi semacam taksonomi, atau klasifikasi dan sistematis menyeluruh tentang segala macam sarana bahasa dan sastra yang sampai sekarang masih sampai istilah dan penggolongannya. Namun, walaupun benarlah dalam ilmu sastra modern aspek pragmatik mulai ditonjolkan lagi, pangkal pendekatan modern berlainan dengan retorik; dalam retorik terutama ditelusuri sarana-sarana mana mengakibatkan tanggapan tertentu pada pihak pembaca atau pendengar.
Pergeseran minat dari strukturalisme ke arah tanggapan pembaca yang kita sebut sebagai teori resepsi ini. Hal itu berawal dari teori Mukarovsky terhadap karya sastra berpangkal pada aliran formalis sebagai tanda untuk memahami karya sastra sebagai realisasi fungsi bahasa. Tahap awal yang Mukarovsky lakukan adalah mulai menekankan fungsi seni sebagai tanda fakta sosial supra-individual yang mengadakan komunikasi.
Mukarovsky memperlihatkan pula bahwa hubungan antara fungsi estetik dan fungsi lain bukanlah hubungan yang tetap dan langgeng, melainkan variable, berubah-ubah terus menerus. Selain itu Mukarovsky memperthankan pendirian, karya sastra dalam sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari konteks sosio-budaya serta kode-kode atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Perkembangan pikiran Mukarovsky ini cukup berat konsekuensinya. Pembaca sebagai subyek tak kurang pentingnya dalam fungsi semiotik karya sastra daripada strukturnya. Dalam pendekatan Mukarovsky ini pengalaman estetik justru ditentukan oleh tegangan antara struktur karya sastra sebagai tanda dan subyektivitas pembaca, yang bukan subyektivitas mutlak, tetapi subyektivitas yang tergantung pada lingkungan sosial dan kedudukan sejarah penanggap. Hubungan ini berkaitan dengan munculnya pencipta karya sastra yang sebelumnya sedikit sekali mendapat perhatian dalam strukturalisme Praha. Demikianlah Mukarovsky meletakkan pandangan untuk estetik sastra dalam model semiotik di mana ada pandangan dinamik dan tegangan yang terus-menerus antara empat faktor : pencipta, karya, pembaca, serta kenyataan yang semua itu disebut struktural dinamik.
Pemikiran Mukarovsky dikonkritkan oleh muridnya yaitu Felix Vodicka. Teori yang diusung Vodicka adalah mengenai konkretisasi karya seni. Pemikiran ini berawal dari pemikiran Roman Ingarden yang memaparkan bahwa karya sastra mempunyai struktur yang obyektif, yang tidak terikat pada tanggapan pembaca, dan yang nilai estetiknya tidak tergantung pada norma-norma estetik pembaca pada masanya. Sebetulnya kebebasan pembaca dalam mengartikulasikan karya sastra diserahkan sepenuhnya pada pembaca itu sendiri. Tetapi dalam visi Ingarden kebebasan pembaca terbatas, dibatasi oleh struktur karya seni yang mengikatnya secara obyektif dan yang juga menentikan kemungkinan dan batas penilaian estetik.
Vodicka berselisih paham dengan Ingarden. Bagi Vodicka, kebebasan pembaca jauh lebih besar, tidak hanya secara konkrit dan factual, tetapi pula secara prinsip. Vodicka berpangkal pada pertentangan karya seni sebgai artefak dan sebgai obyek estetik. Karya seni sebagai artefak baru menjelma menjadi obyek estetik oleh aktifitas pembaca, dan sebagai tanda makna dan nilai estetik karya seni baru dapat ditentukan berdasarkan konvensi kesastraan yang konkrit pada masa tertentu. Sehingga makna sesungguhnya karya sastra adalah sebuah proses konkretisasi yang diadakan terus menerus oleh (lingkungan) pembaca yang susul menyusul dalam waktu atau berbeda-beda menurut situasinya. Karya sastra tidak cukup diteliti secara otonom, tetapi juga harus meneliti konsteks pemberian makna oleh pembaca tertentu. Konteks kesusastraan yang pada pikirannya berkaitan dengan konteks sosial dalam arti yang luas. Konteks itulah yang menyediakan rangka untuk resepsi dan untuk produksi.

Tokoh-tokoh teori
Tokoh-tokoh teori ini yang saya temukan merupakan tokoh-tokoh yang berkompeten terhadap bidangnya sendiri. Berikut tokoh-tokoh itu berdasarkan pemikirannya :
Hans Robert Jauss: Horison Harapan. Fokus perhatiannya, sebagaimana teori tanggapan pembaca lainnya, adalah penerimaan sebuah teks. Minat utamanya bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan pada perubahan-perubahan tanggapan, interpretasi, dan evaluasi pembaca umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun waktu berbeda
Wolfgang Iser: Pembaca Implisit. Iser lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (Wirkungs Estetik, estetika pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual, melainkan Implied Reader (pembaca implisit). 'Pembaca implisit' merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu.
Simon Lesser: Psikoanalisis. Menurut Lesser, semua karya sastra mentransformasikan fantasi-fantasi tak sadar (menurut psikoanalisis) kepada makna-makna kesadaran yang dapat ditemukan dalam interpretasi konvensiaonal. Jadi makna psikoanalisis merupakan sumber bagi makna-makna lain. Makna psikoloanalisis haras dicari karena tingkatan makna lain hanyalah manifestasi historis atau sosial. Setiap karya sastra memiliki efek-efek superego, ego, dan id yang perlu direfleksikan oleh pembaca. Keterlibatan pembaca ke dalam komponen-komponen kejiwaan itu hanya dapat terpenuhi bila karya sastra mengandung aspek-aspek yang kontradiktif, ambigu, tumpang-tindih, dan samar.
Jonathan Culler : Konvensi Pembacaan. Keinginan Culler yang utama adalah menggeser fokus perhatian dari teks kepada pembaca. Culler menyatakan bahwa suatu teori pembacaan harus mengungkap norma dan prosedur yang menuntun pembaca kepada suatu penafsiran. Kita semua tahu bahwa setiap pembaca memiliki penafsiran yang berbeda-beda mengenai sebuah teks yang sama. Berbagai variasi penafsiran itu harus dapat dijelaskan oleh teori. Sekalipun penafsiran itu berbeda-beda tetapi mungkin saja mereka mengikuti satu konvensi penafsiran yang sama

Substansi Teori
Menurut Thomas Aquino, segala sesuatu yang diterima, diterima menurut cara si penerima. Hal itu yang menjadi dasar bahwa penerimaan tujuan dalam suatu karya sastra yang sebenarnya dibuat oleh penciptanya dan ditujukan ke arah penerimanya seharusnya diterima oleh penerima menurut caranya sendiri dalam mengartikulasikan karya sastra yang hadir di depannya.
Seorang dengan orang yang lain itu akan berbeda dalam menanggapi sebuah karya sastra. Begitu juga tiap periode itu berbeda dengan periode lain dalam menanggapi sebuah karya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Cakrawala harapan itu adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Seorang pembaca tentu mempunyai konsep atau pengertian tertentu mengenai sebuah karya sastra meliputi sajak, cerpen, maupun novel. Sehingga seorang pembaca itu mengharapkan bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian yang dimilikinya.
Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seorang dengan orang lain itu mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan periode lainnya. Perbedaaan itu disebut perbedaan cakrawala harapan. Cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi periode. Menurut Rian T. Segers, cakrawala harapan ditentukan oleh tiga criteria. Pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Di samping adanya perbedaan cakrawala harapan itu, meskipun pembaca itu menentukan makna karya sastra, tetapi tidak dapat diingkari bahwa dalam karya sastra itu ada tempat-tempat terbuka yang mengharuskan para pembaca untuk mengisinya. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra sendiri yang mengandung kemungkinan banyak tafsir. Karya sastra itu merupakan penjelmaan ekspresi yang padat, maka hal-hal yang kecil-kecil tak disebutkan, begitu juga hal-hal yang tak langsung berhubungan dengan cerita atau masalah. Dengan demikian, diharapkan setiap pembaca mengisi kekosongan tersebut.
Setidaknya menurut Hans R. Jauzz. Dalam buku Toward an Aesthetic of Reception (1982:20-45), Jauss mengungkapkan tujuh tesis pemikiran teoretisnya. Secara ringkas ketujuh tesis Jauss diuraikan di bawah ini.
1.      Karya sastra bukanlah monumen yang mengungkap makna yang satu dan sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat orkestra: selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa, dan menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini.
2.      Sistem horison harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen historis karya sastra, yang meliputi suatu prapemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari. Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, ia sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah hadir dari kekosongan.
3.      Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horison harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal, atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru.
4.      Rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan dan disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan menghasilkan berbagai varian resepsi sesuai dengan semangat jaman yang berbeda.
5.      Teori estetika penerimaan tidak hanya sekedar memahami makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis.
6.      Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis (jadi dengan analisis diakronis) tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau.
7.      Tugas sejarah sastra tidak menjadi lengkap hanya dengan menghadirkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis, melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum.

Di samping tradisi yang berpangkal pada Jauzz, kita dapati sebuah tradisi lain yang diilhami oleh Aristoteles yang berjudul Poetica terdapat dasar bagi teori catharsis. Sebuah pentas tragedi yang menimbulkan rasa belas kasihan dan ketakutan dapat membersihkan alam emosi kita.

Cara Kerja Teori Resepsi
Cara kerja teori ini saya terapkan pada beberapa sajak Chairil Anwar. Telah banyak diketahui bahwa orang yang pertama kali memberikan tanggapan positif terhadap sajak-sajak Chairil Anwar adalah H.B. Jassin. Padahal sebelumnya redaktur Panji Pustaka telah menolak sajak-sajak Chairil Anwar, karena redaktur Panji Pustaka merupakan wakil suara pemerintah Jepang yang tidak menghendaki sajak-sajak yang individualistis dan terlalu kebarat-baratan. Hal itu untuk menutupi pemerintah Jepang yang menyuarakan Jawatan Propaganda dan Sensor Jepang.
Menurut Jassin, sajak-sajak Chairil Anwar memberi udara baru yang segar bagi kesusastraan Indonesia. Individualitasnya merupakan pemberontakan terhadap kekuasaan satu negara yang tidak membiarkan kebebasan berpikirpun dalam seni dan budaya. Sajak-sajak Chairil berjiwa revolusioner seperti kelihatan dalam sajaknya “ Cerita buat Dien Tamaela”, dalam kedengaran suara menantang yang menyiratkan perjuangan revolusi Indonesia. Sajak-sajak Chairil mengakhiri zaman syair dan pantun yang tradisinya masih diteruskan oleh Pujangga Baru meskipun dengan jiwa kebangsaan baru. Akan tetapi, pekerjaan Pujangga Baru setengah-tengah, iramanya masih pantun dan syair meskipun para penyair Pujangga Baru bersemboyan mencontoh Angkatan 80 Belanda. Munculnya Chairil, maka mulailah tradisi baru.
Perbedaan dengan Pujangga Baru, dalam puisi Chairil Anwar kecuali kiasan-kiasan, kombinasi-kombinasi baru kata-kata yang menimbulkan berbagai asosiasi panca indra, dalamnya dimasukkan juga tanda-tanda aljabar dalam sajak, belum pernah ada sebelumnya, baik pantun maupun syair ataupun sajak Pujangga Baru menuliskan angka-angka jumlah (“kamar begini 3x4 m”), tergambar pula dalamnya kekesalan terhadap kekurangan-kekurangan sosial. Jadi, juga jiwa berontak terhadap keadaan masyarakat yang jelek; juga cenderung pada pembalikan nilai-nilai seperti “sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia”. Individualisme Chairil Anwar ternyata tampak dalam pandangan, penggunaan kiasan-kiasan, dan kombinasi-kombinasi yang asli-sendiri. “Bulan yang menyinar ke dalam mau lebih banyak tahu”. Chairil curiga terhadap alam dan malahan memusuhi alam.
Begitulah diantara resepsi H.B. Jassin yang penting terhadap sajak-sajak Chairil Anwar. Jassin menanggapi kebaruan, ekspresivitas, dan pandangan dunia dalam sajak-sajak Chairil Anwar yang merupakan inovasi dari perpuisian Indonesia modern. Jassin memberi tanggapan secara positif kepada sajak-sajak Chairil. Jassin tampak mempergunakan kriteria estetik dalam penilaiannya, yaitu menilai struktur estetik yang berupa penghargaan terhadap gaya ekspresi, kebaruan, dan pikiran serta pandangan yang terkandung dalam sajak-sajak Chairil. Begitu juga dengan rasa kebangsaan dan tendensi pembaruan, menunjukan keadaan masyarakat yang jelek serta anti-kemapanan.
Berbeda dengan resepsi H.B. Jassin, sastrawan sezaman yang meresepsi sajak-sajak Chairil Anwar adalah Aoh Karta Hadimaja. Meskipun sama bersifat positif seperti Jassin, Hadimaja lebih kepada arah orientasi ekspresif yang menekankan pada pengalaman penyairnya. Misalnya dikemukakan sajak “Diponegoro” merupakan jiwa Chairil Anwar sendiri.
Sajak “Sebuah Kamar”
                          SEBUAH KAMAR
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu Keramaian penjara sepi selalu, Bapakku sendiri berbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri! Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada di luar hitungan: Kamar begini,
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!
(dalam Pamusuk Eneste, 1986: 50)
Keadaan pada puisi itu sesungguhnya menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia yang padat berpenghuni, tetapi masih saja ingin bertambah lagi penduduknya. Padahal mereka hidup dalam kekurangan yang hanya bisa membuat penduduknya menangis serta meratapi nasibnya. Ditinjau secara estetis, sajak ini menunjukan mutu yang tinggi pula: padat, dengan kiasan-kiasan yang hidup, segar, dan baru. Gaya ironi sesuai dengan isi yang ironis, seperti tampak pada bait ke-3, bait ke-2, dan pertama pun bergaya ironis, menyatakan sesuatu secara kebalikan, biasanya untuk menyindir. Di sini untuk menyindir keadaan.
Jadi secara estetis dan ekstra estetis bernilai, sajak “Sebuah Kamar” ini memenuhi kriteria dulce et utile sebagai fungsi karya sastra yang dikemukakan Horace, meskipun ada yang memberi tanggapan secara negatif. Hal ini didasarkan pada ideologi yang dianut oleh para penanggap, lebih tepat lagi didasarkan pada horizon harapan masing-masing penanggap atau persepsi.

BAB III
PENUTUP
Dari hal di atas, saya dapat simpulkan beberapa hal yaitu : pergeseran minat dari strukturalisme ke arah tanggapan pembaca yang kita sebut sebagai teori resepsi ini. Hal itu berawal dari teori Mukarovsky terhadap karya sastra berpangkal pada aliran formalis sebagai tanda untuk memahami karya sastra sebagai realisasi fungsi bahasa. Tahap awal yang Mukarovsky lakukan adalah mulai menekankan fungsi seni sebagai tanda fakta sosial supra-individual yang mengadakan komunikasi. Tokoh-tokoh pendukung teori ini adalah Hans Robert Jauss: Horison Harapan. Wolfgang Iser: Pembaca Implisit. Simon Lesser: Psikoanalisis. Jonathan Culler : Konvensi Pembacaan.
Mengenai substansi teori ini saya perankan pada seorang dengan orang yang lain itu akan berbeda dalam menanggapi sebuah karya sastra. Begitu juga tiap periode itu berbeda dengan periode lain dalam menanggapi sebuah karya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Cakrawala harapan itu adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Seorang pembaca tentu mempunyai konsep atau pengertian tertentu mengenai sebuah karya sastra meliputi sajak, cerpen, maupun novel. Sehingga seorang pembaca itu mengharapkan bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA
Luxemburg, Jan Van., Mieke Bal., dan Willem G. Weststeijn. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar