Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Kamis, 30 Juni 2011

Penulis Dalam Model Semiotik

PENDAHULUAN
Fungsi sastra, menurut sejumlah teoretikus adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi yang diakibatkan oleh berbagai permasalahan dan proses penyesuaian terhadap kehidupan. Bagi pembaca pada umumnya, membaca atau mendengarkan suatu karya sastra merupakan kegiatan yang dapat menghilangkan kejenuhan terhadap kehidupan tempat pembaca berbudaya. Sedangkan untuk penulis, dapat menyalurkan aspirasinya pada karya sastra yang diciptakannya, termasuk kejenuhan penulis.
Teori sastra merupakan studi prinsip, kategori, dan criteria dari karya sastra itu sendiri. Berbeda dengan kritik sastra dan sejarah sastra yang menganalisis karya-karya kongkretnya serta dilihat sebagai deretan karya yang sejajar, atau yang tersusun secara kronologis. Teori sastra mewakili ketiga bagian di atas, sebagai alat analisir terhadap karya sastra itu sendiri. Banyak teori yang mulai eksis terhadap menjalani kehidupan, mulai dari teori yang berasal dari zaman klasik, zaman romantic, dan modern saat ini.
Teori-teori klasik menurut M.H Abrams terdapat 4 pendekatan yaitu pendekatan mimetic yang menggunakan karya sastra sebagai cerminan semesta, pendekatan ekspresif yang menelaah secara langsung dari segi pengarang, pendekatan pragmatic dari segi pembaca, dan strukturalis yang sebagai karya yang bebas dan berdiri sendiri. Dalam pendekatan-pendekatan itu, peran penulis sempat hidup-mati sebagai pemegang peran penting dalam suatu karya sastra. Hal itu merupakan cukup membuka mata kita tentang hakikat karya sastra itu sendiri.
PEMBAHASAN
A.    Kemunculan penulis dalam karya sastra.
Pada zaman Yunani telah muncul karya-karya sastra. Pengarang klasik seperti Aristoteles dan Horatius sangat terkenal dan karyannya tidak hilang sepanjang masa. Karya sastra dianggap hasil dari gejala yang bersifat mental.  Semua gejala yang bersifat mental tertutup oleh alam kesadaran. Dengan adanya ketidak seimbangan antara kesadaran dan ketidak sadaran, maka ketidaksadaran menimbulkan dorongan-dorongan yang memerlukan kenikmatan yang disebut libido. Proses kreatif merupakan kenikmatan dan memerlukan pemuasan, maka proses tersebut dianggap sejajar dengan libido. Tetapi dorongan-dorongan primitif yang harus dipuaskan tersebut dikontrol oleh ego dan kata hati, sehingga muncullah karya sastra yang bersifat ekspresif. Hal tersebut merupakan bukti bahwa aspek ekspresif telah muncul di zaman klasik kebudayaan barat.
Pemahaman tentang manusia sebagai pencipta baru lahir secara berangsur-angsur. Baru ada pemahaman bahwa penciptaan manusia adalah penciptaan kembali dari hal yang telah diciptakan sebelumnya.pada masa kalsik tersebut karya sastra dianggap sebagai kemahiran yang tertinggi. Namun dalam perkembangannya ketika karya sastra tersebut dipahami sebagai imitasi dari penciptaan Tuhan sebelumnya yaitu alam, kemahiran tersebut tak mempunyai makna yng berharga lagi. Karena terasimilasi oleh kebudayaan dan agama masehi tersebut, tulisan yang secara jelas menonjolkan ekspresifitas dan kreatifitas penyair selama masa yang cukup panjang hilang dari khasanah sastra barat dan tidak diketahui lagi.
Menurut Jausz terdapat pertentangan pendapat antara dua tokoh. Agustinus yang seorang uskup Roma terkemuka meletakkan dasar system filsafat Kristen  untuk abad-abad yang akan datang. Dia berpendapat bahwa manusia dalam menuliskan riwayat hidupnya ia tidak dapat menggambarkan dirunya sendiri tanpa campur tangan Tuhan yang menciptakannya. Sedangkan Rosseau yang seoranng tokoh romantic berpendapat bahwa manusia maha tahu, dapat membenarkan dirinya sendiri, dengan menulis riwayat hidupnya ia dapat memecahkan masalah keselamatannya.

B.     Pasang Surut Penulis dalam Karya Sastra
Karya sastra merupakan tiruan dari alam semesta yang indah. Namun makin banyak dan jelas manusia mengarahkan diri ke tujuan otonominya makin banyak pula pengalaman estetik yang merebut predikat identitas Tuhan dan menciptakannya kembali sebagai tolok ukur pengalaman dirinya yang tercipta dalam karya. Tanpa tujuan otonominya, manusia tidak mungkin dapat menghasilkan karya sastra. Hal tersebut menyebabkan aliran ekspresif semakin menguat dalam karya-karya sastra. 
Aliran ekspresif terlihat dominan pada zaman Romantik abad ke-19. Pengarang digambarkan sebagai sebuah pelita yang memancarkan sinar. Puisi lirik adalah karya sastra yang representative pada masa ini karena menonjolkan individualitas sang penyair. Bahan dari puisi lirik pun tidak semata-mata diambil dari kenyataan tetapi terambil dari jiwa sang pengarang. Di Belanda dikenal melalui Angkatan 80-an. Masuk ke Indonesia dibawa oleh kelompok Tachtinger (delapan puluhan) dari Nederland, sehingga muncullah Pujangga Baru.penyair Pujangga Baru yang diantaranya JE.Tatengkeng, Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Pujangga Baru menitik beratkan pada sikap penyair yang menjadikan pengalaman jiwanya sebagai rangkaian kata-kata indah dan pada akhirnya akan mencapai kenikmatan.
Dalam aliran ekspresif ,karya sastra dipandang sebagai ekspresi dunia batin pengarang. Karya sastra diasumsikan sebagai curahan gagasan, pikiran, kehendak dan pengalaman batin pengarang. Pengalaman tersebut lebih individual dan bersifat imajinatif. Pengarang adalah orang yang cerdas bermain estetika, seorang yang mampu menjelaskan pemikiran secara jelas. Dia mampu menerjemahkan kehidupan menjadi sebuah karya sastra yang unik. Selain itu pengarang adalah seorang yang ahli meracik kata-kata sehingga mampu memikat para pembaca. Ia  mampu menghidupkan kata-kata mati menjadi kata  yang memiliki ruh yang mempengaruhi pembaca.  
Didalam karya sastra orang tidak dapat menemukan pengarang melainkan suasana suatu periode atau tipe masyarakat tertentu yang memiliki masalah-masalah tertentu. Oleh karena itu karya sastra bukan hanya gambaran hidup pengarang tetapi juga dunia lain ciptaan sang pengarang. Pengarang memiliki kepekaan terhadap persoalan kehidupan masyarakat di dunianya ataupun di dunia yang lain. Hal tersebut akan melahirkan wawasan kemanusiaan yang luar biasa dari seorang pengarang ekspresif.
Di Rusia, aliran puisi Futuris menekankan bahasa sebagai alat, bukan penyair lagi, dan disini aliran sastra lain menggantikan ekspresionis. Penulis tidak hanya cenderung untuk menghilang dan menghilangkan dirinya dari teks, ilmu sastra pun makin berusaha untuk meniadakan si penulis sebagai faktor dalam proses semiotik. Sekalipun sebuah karya sastra terwujud berkat adanya niat penulisnya namun niat itu tidak dapat dijadikan norma untuk menilai arti sebuah teks. Pembaca adalah hal penting dalam pemaknaan karya sastra.
Penitikberatan masalah point of view, penting sebagai gejala yang menggarisbawahi usaha untuk melepaskan pengarang dari karyanya dan menentukan serta mempertahankan otonomi roman terhadap diri penulis. Menurut pandangan ini tidak perlu kita mengidentifikasi arti aatu amanat sebuah karya seni dengan niat si pengarang.
Tesis dasar Gadamer mengatakan bahwa maksud sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarangnya. Tesis ini dikaitkan dengan pandangan bahwa teks tertulis adalah pemakaian bahasa dengan ciri khas teks tertulis. Demi ketertulisannya, mempunyai kehidupan sendiri, lepas dari segi pembaca dan penulis. Interpretasi teks itu oleh pembaca tak dapat tidak berarti pemberian makna sesuai dengan situasi pembaca. Teks itu sungguh bersifat otonom.
Kritik mutakhir terhadap penghilangan penulis oleh Juhl dalam bukunya yang berjudul An essay un the Philosopy of literary Criticism. Terdapat tiga dalil atau tuntutan dalam buku ini yaitu :
1.      Ada perkaitan logika tidak kebetulan; sebab bagi Juhl terutama pentinglah logika sebuah penalaran antara pernyataan mengenai arti sebuah karya dan pernyataan mengenai niat penulisnya.
2.      Penulis yang nyata terlibat dalam dan bertanggung jawab atas proposisi yang diajukan dalam karyanya jadi karya sastra tidak otonom, ada perkaitan yang erat antara sastra dan hidup.
3.      Karya sastra mempunyai satu, dan hanya satu saja arti yaitu niat. Niat juga bukanlah sesuatu yang dipikirkan sebelum penciptaan atau penulisan karya sastra, niat justru terwujud dalam proses perumusan kalimat-kalimat yang dipakai dalam karya.

C.  Posisi Penulis dalam Semiotik
Semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia dipenuhi oleh tanda, dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi lebih efisien. Dengan perantaraan tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Tanda tersebut tersemat dalam bahasa yang digunakan oleh manusia. Menurut Lotmann (1977: 15) konotasi dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya, merupakan sistem komunikasi yang penuh dengan pesan kebudayaan. Maka dari itu bahasa sastra merupakan kebudayaan itu sendiri. Manusia dalam karya sastra adalah pengarang sebagai ciri komunikasi dan pembaca dengan ciri nilai-nilai dalam tanda, sedangkan karya sebagai dunia nyata.
Dalam sastra, sistem simbol yang terpenting adalah bahasa. Bahasa metaforis konotatif dan kreatifitas imajinatif merupakan faktor yang membuat karya sastra penuh dengan sistem tanda. Menurut Saussure teks sastra memiliki ciri qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah dunia kemungkinan dalam pikiran yang akan menjadi nyata apabila dimasukkan ke dalam sinsigns. Sinsign adalah tampilan tanda dalam kenyataan yang belum terlembagakan. Setiap teks adalah sinsigns atau semacam hakikat individual. Sedangkan legisigns adalah tanda yang telah terlembagakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar