Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Kamis, 30 Juni 2011

Permainan Rakyat "Tiban"

·         Pendahuluan
Permainan rakyat sebagai Wahana Proses Sosialisasi Kebudayaan berfungsi untuk mengukuhkan dan melestarikan nilai-nilai luhur, yang dalam wujud lahiriyahnya berupa perlambang yang dinyatakan dengan gerakan, ucapan, dan pantangan. Dengan melalui permainan, terkandung maksud untuk menanamkan kepatuhan, pengendalian diri, rasa setia kawan, kebersamaan serta meningkatkan prestasi.
Permainan rakyat termasuk salah satu bentuk kesenian yang harus dijaga kesakralannya. Karena merupakan proses pewarisan budaya dari nenek moyang kita yang harus benar-benar dijaga dan dilestarikan. Meskipun sekarang telah banyak terjadi dinamika budaya dengan modernisasi, tetapi permainan rakyat banyak yang tidak mengalami perubahan struktur aslinya bahkan hanya sedikit perubahan esensi dari permainan itu. Hal itu dilakukan karena masyarakat pelaku dan pendukungnya ingin tetap menjaga kemurnian dari permainan ini, sebagai bentuk pewarisan budaya.

·         Pembahasan
A.    Nama Permainan.
Istilah “Tiban” berasal dari kata dasar “tiba” yang dalam bahasa Jawa yang berarti jatuh. Tiban mengandung arti timbulnya sesuatu yang tidak diduga semula, tidak diketahui bagaimana, tahu-tahu ada begitu saja, seolah-olah jatuh dari langit. Dalam konteksnya, tiban di sini menunjuk kepada hujan yang jatuh dengan sesungguhnya yang dalam percakapan sehari-hari disebut “udan tiban”.

B.     Latar Belakang Sejarah Sosial Budaya.
Permainan ini berasal dari suatu peristiwa yang menyangkut kehidupan manusia sebagai makhluk dengan segala kelemahannya. Rasa tamak dan keegoisan merupakan sifat asli manusia terhadap sesuatu yang benar-benar menguntungkan manusia itu sendiri. Sehingga benar-benar terjadi perang dingin antar manusia itu sendiri.
Di suatu desa antara gunung Kelud dan Wilis, terdapat lahan pertanian yang benar-benar dapat mengantarkan petaninya menjadi orang yang kaya. Tumbuh-tumbuhan tumbuh subur dan mendatangkan kekayaan yang melimpah ruah di antara penduduknya masing-masing. Justru karena itulah, timbul rasa iri hati dan ingin menguasai tiap lahannya. Sehingga memunculkan prasangka buruk antar warga dan menimbulkan hilangnya rasa kerukunan dan kesatuan. Sampai pada datangnya musibah menimpa desa itu. Tidak turunnya hujan, keringnya lahan untuk ditanami, gagalnya panen, dan berakhir pada matinya penduduk karena penyakit serta kelaparan.
Kepala desa Purwokerto (daerah kecamatan Ngadiluwih, Kediri) yang tidak sampai hati melihat penduduknya menderita seperti itu. Maka ia melakukan ritual menjemurkan dirinya di bawah terik panas matahari. Hal itu dilakukan karena ingin meminta ampun kepada Tuhan atas dosa penduduknya tersebut. Hingga akhirnya kepala desa itu mendengar suatu bisikan agar manusia menebus dosanya dengan meneteskan darah ke tanah bumi. Maka kepala desa itu meminta agar warganya mau mengorbankan darahnya sedikit saja ke bumi agar terampuni. Yaitu dengan menyiksa dirinya seperti mencambukkan “sada aren” ke punggung dan dada manusia, dalam hal ini hanya lelaki saja. Hingga turunlah hujan karena ritual cambuk-mencambuk itu dengan udara yang segar, dan menyudahi ritual itu.
Waktu itu bertepatan dengan tibanya bulan Suro. Dengan peristiwa mengesankan tersebut, penduduk desa Purwokerto pada tiap bulan Suro atau musim kemarau yang panjang mengadakan upacara Tiban.

C.     Latar Belakang Sejarah Perkembangannya.
Permainan ini berada di daerah yang etnografisnya bertipe jawa tengahan, merupakan daerah yang mempunyai kemiripan budaya dengan budaya keraton Yogyakarta. Yaitu sekitar daerah Kediri selatan, Tulungagung, Trenggalek, serta daerah Blitar.
Setelah Tiban menjadi tradisi dari tahun ke tahun, maka lambat laun mengalami perkembangan dan perubahan dalam pelaksanaannya. Hal itu terjadi dikarenakan kebudayaan pada sebetulnya tidak bersifat statis. Selalu mengalami dinamika yang mengikuti zaman, tetapi tidak sampai pada berubahnya struktur keaslian permainan ini. Seperti halnya dilakukan pembentukan peraturan permainan demi keamanan dan kejuuran bagi masyarakat pelaku dan pendukungnya. Sehingga pelaksanaanya tidak dilakukan secara sembarangan saja, melainkan harus mengikuti ketentuan-ketentuan obyektif yang sudah dimufakati bersama.
Karena Tiban menjadi suatu upacara ritual, maka untuk lebih memantapkan sifat-sifat kesakralannya, orang lalu menambahkan hal-hal yang dipandang sebagai suatu kelengkapan sesuatu upacara yaitu sesajen. Sesajen disini merupakan budaya keraton Yogyakarta yang diambil untuk lebih menyakralkan upacara ritual ini. Selain itu juga terdapat air cendol yang digunakan untuk disiramkan sebagai lambang turunnya hujan. Sehingga pada akhirnya, upacara Tiban merupakan upacara permintaan hujan.

D.    Struktural Permainan.
Jumlah pemain ini tidak dibatasi kuotanya, intinya jumlah pemain harus genap karena permainan ini dilakukan secara berpasangan. Lalu adanya wasit yang memimpin permainan ini yang dibantu dengan dua orang pelanda. Jadi ketiganya merupakan dedengkot tiban yang benar-benar menguasai seluk-beluk permainan ini, sehingga tetap terjaga kewibawaan permainan ini.
Pesertanya kebanyakan dari masyarakat petani, karena ini merupakan upacara minta hujan yang ditujukan untuk pertanian. Masyarakat petani di sini merupakan masyarakat yang segala tradisi kepercayaan dan struktur kehidupan masyarakat komunal. Maka karakter yang menonjol pada permainan ini adalah sifat loyal, guyub, rukun, toleran, dan sportif.
Tempat untuk permainan ini dilakukan di sebuah arena terbuka yang berupa tanah lapangan atau halaman. Dilakukan di tempat yang terbuka agar banyak penonton yang menyaksikannya. Alat permainan ini yang terutama adalah cambuk atau pecut yang terbuat dari sada aren, karenanya daerah ini banyak akan pohon aren. Untuk busana tidak ada ketentuan yang telah ditentukan. Tetapi sesuai yang telah ada sekarang, banyak pemain yang hanya menggunakan bawahan panjang dan telanjang dada, serta ikat kepala (udheng).
Untuk iringan atau tetabuhan, terdapat empat orang yang masing-masing menggunakan sebuah gambang, sebuah kendhang besar, dan dua buah thongthongan (besar dan kecil). Peranan gambang yaitu untuk membawakan sebaris lagu yang pendek, yang selalu diulang-ulang, dengan tehnik pukulan yang improvisatoris. Peranan gendhang memberikan jiwa pada gerakan-gerakan tertentu yang dibawakan oleh tiap pemain. Ketiga jenis alat musik tradisional dimainkan secara sayup-sayup agar perhatian penonton terpusat pada permainan ini, tidak pada musiknya. Tentunya ketiga instrumen ini melatarbelakangi permainan tiban demikian itu ternyata menimbulkan bermacam perasaan yang menyatu : sendu, gembira, ngeri, sekaligus menarik.
Meskipun terlihat sadistis dengan cambuk-cambukan di badan, permainan ini tetap tidak menimbulkan rasa dendam para pemainnya. Semuanya menampakan wajah yang cerah dan senyuman. Serta selalu berjoged jika terdapat lagu pengiring yang enak didengar. Semua itu dilakukan karena sifat dari permainan ini bukan merupakan perlombaan yang sekedar merebutkan hadiah, tetapi lebih ke arah upacara ritual. Landasannya adalah rasa kebanggaan karena menjadi seorang martir demi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat bersama.

·         Penutup dan Kesimpulan.
Zaman semakin maju dan banyak mengubah struktur kehidupan di segala bidang. Selera manusia berubah. Kebutuhan manusia pun dengan sendirinya ikut berubah. Ilmu pengetahuan mendesak dan menyingkirkan kepercayaan yang dianggap tak bernalar. Namun demikian upacara Tiban meminta hujan tetap dipelihara kaum petani di pedesaan di daerah Tulungagung, Trenggalek, Kediri, dan Blitar.
Hanya untuk tidak ketinggalan jaman, kelompok-kelompok tiban sekarang sering bermain untuk mengisi acara-acara tertentu, misalnya untuk syukuran tamu Negara, pariwisata, peringatan hari-hari nasional dan upacara tradisional. Jelasnya, disamping peranannya yang lama sebagai sarana hiburan, dalam hal ini Tiban benar-benar berfungsi sebagai permainan yang sesungguhnya dalam arti kata yang murni. Hal itu terkait dengan dinamika budaya yang pada dasarnya kebudayaan itu bersifat tidak statis. Ada inovasi dalam permainan ini pada kegunaannya dan penerapannya di masyarakat. Sedikit orang yang mengetahui permainan ini juga mempengaruhi faktor berkembangnya permainan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar