Pendahuluan
Kesan dan kesadaran kita tentang drama sangat khusus. Drama adalah perasaan manusia yang beraksi di depan mata kita. Itu berarti bahwa aksi dari suatu perasaan mendasari keseluruhan drama. Drama dapat saja ditulis menggunakan bahasa yang imajinatif atau analitik. Drama mempunyai dialog yang berperan untuk menjelaskan watak dan perasaan tokoh dalam drama itu. Dengan adanya dialog maka tergambar bagaimana watak, atau sikap serta perasaan tokoh.
Drama ini merupakan hasil persenyawaan antara tradisi teater modern barat pasca realisme dengan teater tradisional kita. Dengan menggunakan peralatan simbolisme ini, Arifin C. Noer mengekspresikannya ke dalam lakonnya ini. Sehingga kita akan peroleh peristiwa yang bersuasana kontemplatif tentang konflik kejiwaaan tokoh utamanya, Jumena Martawangsa. Seorang yang terpenjara dalam konflik mengenai persoalan iman dan eksistensi diri. Eksistensi diri yang dimaksud itu adalah keberadaan tentang dirnya sendiri.
Drama tersebut merupakan drama yang cukup menggugah emosional kita sebagai pembaca awam, namun dirasa ada suatu wacana yang harus dilakukan demi memperoleh kesan tematik. Pengkritikan terhadap drama di atas akan berguna buat para khalayak pembaca yang ingin menelaah drama tersebut, lebih-lebih karena aspek kejiwaan/psikologis benar-benar tertanam dalam teks. Bagaimanapun drama tesebut merupakan karya yang memerlukan penilaian halus atas apa yang ingin disampaikan.
Pembahasan
a. Aspek Historis.
Menurut Andre Hardjana, aspek historis mempunyai tugas khusus yaitu untuk mencari dan menentukan hakekat dan ketajaman pengungkapan karya itu di dalam jalinan historisnya. Karena hal itu, aspek historisnya dapat mengambil biografi pengarangnya serta karya-karya yang berkembang pada saat itu maupun karya lainnya dari pengarangnya.
Karya drama ini dibuat oleh pengarangnya yang bernama Arifin C. Noer saat masih menempuh kuliah. Setelah SMA, Arifin melanjutkan studinya di Universitas Cokroaminato Solo. Di tempat itu ia bergabung dengan Teater Muslim pimpinan Mohammad Diponegoro. Pada periode ini lahir karya-karyanya seperti Sumur Tanpa Dasar, Ia Telah Datang Ia Telah Pergi, dan Mega-Mega. Selanjutnya karya-karya yang lain mulai muncul dari dirinya seperti Kapai-kapai, Kisah Cinta Dll, AA II UU. Pada tahun 1967 salah satu karyanya, Mega-Mega mendapatkan hadiah sebagai lakon sandiwara terbaik dari Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (BPTNI).
Ada dua kata kunci yang digeluti oleh Arifin C. Noer sebagai manusia dan penulis naskah dalam setiap karyanya. Pertama, hidup manusia sepanjang perjalanannya adalah proses upacara menjadi manusia. Kedua, semua kerja, juga kegiatan apa pun yang dilakukan oleh manusia sejatinya adalah merupakan perjalanan sembahyang kepada tuhannya atau dalam bahasa popular Islam disebut dengan ibadah. Dua konsep tersebut juga hadir dalam teks drama Sumur Tanpa Dasar. Konsep yang pertama dan kedua terlihat pada tokoh Jumena. Dia sejatinya belum menjadi manusia yang ideal, dalam arti mampu berfikir jernih dan bersikap tenang dalam mengahadapi situasi-situasi yang mengkhawatirkan. Kenyataannya dia tidak mampu mengendalikan dan membawa pikirannya dalam kesadaran mutlak duniawi. Selanjutnya, Jumena juga tidak begitu memprioritaskan Tuhan sebagai penciptanya dalam setiap kegiatan atau tindak perilakunya.
Arifin C. Noer merupakan sastrawan yang termasuk dalam periodesasi tahun 66-70an. Jadi Arifin sesuai dengan tema kebanyakan yang hadir pada saat periode tersebut yaitu tema beraliran surrealisme dan membahas hal-hal mengenai kesadaran jiwa serta absurditas. Hal ini terlihat jelas pada karya Arifin berjudul Sumur Tanpa Dasar ini. Tampak pada tokoh utamanya, Jumena Martawangsa.
Tema di atas terjadi karena berbagai hal. Salah satunya yaitu masalah politik PKI yang tidak jauh jarakya dari periode ini. Seperti yang diketahui, PKI berhasil membelah bangsa ini dengan ideologinya termasuk pandangan bersastra oleh para sastrawan. Pada saat itu, PKI lewat LEKRA membuat karya-karya sastra beraliran realis-sosialis. Maka dari itu, kawan-kawan sastrawan pada beberapa waktu setelahnya mencoba membuat sejenis karya-karya tandingan yang bertema surrealis. Tema kesadaran jiwa dipilih sebagai bentuk perlawanan agar mampu menyadarkan jiwa yang telah terpengaruh oleh paham realis-sosialis.
Teman-teman seperiode dengan Arifin seperti Putu Wijaya dan Danarto juga membawa aliran seperti itu dalam tiap karyanya (Telegram dan Godlob). Jadi tidak heran kalau periode ini merupakan periode pelopor ke arah meodernitas. Karena karya-karya mereka dianggap merupakan karya penggugah semangat untuk memajukan tradisi kesusastraan Indonesia. Tema Surrealis yang diusung oleh ketiga tokoh ini dalam karyanya mampu membuat gairah masyarakat akan bersastra mengalami peningkatan. Karena juga ide-ide cerita seperti itu masih ada dalam kehidupan masyarakat.
Putu Wijaya lewat karyanya sebuah novel bernama Telegram membawa sisi psikologis tokohnya dalam ide cerita. Problem-problem psikologis ini bagi banyak orang sering kemudian disebut ‘absurd’. Absurditas karya-karya sastra Putu Wijaya ini mengemuka manakala kita membaca beberapa karyanya. Dalam banyak prosanya itu, Putu Wijaya biasanya banyak memberikan pergulatan pikiran sang tokoh utama. Dalam novel Telegram, misalnya. Sang tokoh utama, Daku, mengalami berbagai pergulatan pikiran ketika ia menerima telegram dari Bali yang memintanya segera pulang. Begitu juga pada karya-karya Danarto yang beraliran seperti karya-karya di atas. Godlob merupakan salah satu contoh karyanya yang merupakan kumpulan cerpen dan bernada surealisme dan bernafaskan absurdistas.
Pikiran-pikiran itu berbagai macamnya, mulai dari pikirannya tentang Bali, semacam kenangan biasa hingga persoalan-persoalan yang ia rasakan sebagai orang Bali. Dalam pikiran itu pun, juga muncul hal-hal lain, seperti hubungannya dengan para perempuan pelacur yang menjadi teman seksualnya, pemikirannya tentang pekerjaannya sebagai wartawan, maupun kebosanannya akan hidup yang ia jalani. Seluruh pemikiran itu silang-sengkarut, berkait-kelindan, simpang-siur, kadang berhubungan antara satu dengan yang lain, kadang sama sekali tidak berhubungan.
b. Aspek Rekreatif.
Menurut Hardjana, aspek ini mempunyai tugas yaitu menemukan apa yang telkah diungkapkan oleh pengarang dengan benar-benar berhasil di dalam satu bentuk karya. Tentu aspek ini menuntut sikap dengan daya angan-angannya lewat jawaban artistik yang telah dihasilkan oleh kehalusan hatinnya. Terkait dengan hal itu, apa yang diungkapkan oleh pengarang dalam cerita ini yaitu berupa hal psikologis, terutama pada tokoh utamanya yaitu Jumena Martawangsa. Hal itu merupakan hal yang utama karena mempunyai dampak pada tokoh-tokoh lainnya.
Segi psikologis drama ini sangat terlihat. Tidak hanya yang berada dalam drama ini dan para tokohnya. Tetapi juga ditujukan pada para penonton, pembaca, dan pendengar. Terlihat dari judulnya juga yang merupakan simbol atau suatu judul yang menpunyai makna tersirat dan berkaitan dengan segi psikologis.
Sumur tanpa dasar. Suatu judul yang bermakna tersirat untuk mencerminkan kehidupan Jumena sebagai tokoh utamanya. Seolah-olah Jumena berada dalam sumur yang tidak berdasar, sehingga jatuh dan tenggelam untuk selama-lamanya. Seperti halnya pikiran buruknya yang selalu menenggelamkan dirinya pada asumsi serta penilaian buruk terhadap semua orang di sekitarnya. Sehingga kemungkinan dia muncul di permukaan sumur itu berpersentase nol persen. Dia tenggelam dalam pikiran buruknya sampai akhir hayatnya.
Prolog 1, 2, dan 3 pada bagian pertama merupakan suatu simbol yang bertujuan agar para pendengar dan penonton drama ini bertanya-tanya serta mengartikan secara eksplisit dan implisit makna simbol ini. Hal itu berkaitan dengan segi psikologis para penonton untuk menentukan makna apa yang tersirat dalam drama ini. Memang suatu prolog digambarkan sebagai pembuka atas kejadian yang selanjutnya atau sepanjang cerita ini. Suara lonceng, lolongan anjing, dan pigura tanpa gambar/foto merupakan suatu petanda yang harus ditentukan oleh para penonton selanjutnya. Petanda-petanda tersebut merupakan aspek yang menunjukan bahwa karya ini karya yang bertemakan psikologis.
Seperti kalimat-kalimat Jumena pada adegan 5 bagian 1. “Kalau saya bisa percaya, saya tenang. Kalau saya bisa tidak percaya, saya tenang. Kalau saya percaya dan bisa tidak percaya, saya tenang. Tapi saya tidak bisa percaya dan tidak bisa tidak percaya, jadi saya tidak tenang”. Suatu ucapan yang sebenarnya mengetes kepekaan jiwa para penonton lewat permainan kata-kata. Hal itu merupakan suatu aspek yang menandakan Jumena sebagai seorang yang kehilangan eksistensi psikologisnya.
Awal pikiran buruk Jumena terjadi ketika Marjuki tiba-tiba muncul saat Jumena dan Euis sedang memadu kasih. Lalu Euis beralih langsung pada Marjuki dan memeluknya. Padahal itu hanya pikiran khayalan yang tidak mendasar pada kebenaran.
Sebelumnya, Jumena tidak terima dengan datangnya pikiran buruk semacam ini. Hal ini terlihat saat dia mencoba menghilangkan pikiran buruknya terhadap istrinya dengan mengeluh pada Tuhan karena hal ini bisa terjadi pada dirinya. Akibat dari pikiran ini, Jumena tidak mampu melawannya hingga akhirnya mencampuradukkan pikiran buruknya dengan kenyataan. Secara tidak langsung hal ini berakibat pada tidak bisanya dia istirahat tenang untuk menyembuhkan penyakitnya.
Kemunculan pikiran buruk tidak hanya terjadi pada istri dan adik angkatnya yang berselingkuh, tetapi terjadi pada para pegawainya yang mencuri hartanya serta para penjahat seperti tokoh Markaba dan Lodod. Pikiran buruk itu berakibat terhadap kehidupan nyatanya. Jumena menolak rencana penaikan gaji para pekerja pabriknya ketika para wakil pekerjanya hadir untuk membicarakan masalah pemogokan kerja pekerjanya. Dia terlihat egois dalam bersikap terhadap permintaan pekerjanya, bahkan siap menurunkan gaji jika tidak mau menerima keputusan ini.
Ketidak-wajaran Jumena bertambah ketika si Kamil yang telah lama tidak waras pikirannya menghasut dan membenarkan pikiran buruk Jumena mengenai perselingkuhan istrinya dan adik angkatnya. Padahal Jumena mengetahui bahwa si Kamil telah lama tidak waras, tetapi Jumena tetap terhasut oleh si Kamil. Hal ini ikut menambahkan pikiran buruk Jumena yang dijuluki sebagai orang yang tidak pernah merasa bahagia dan itu menujukan segi psikologis Jumena.
Jumena Martawangsa merupakan tokoh yang sombong pula, terlihat saat Sabar datang untuk meminta bantuan dana pembangunan masjid di lingkungan tempat tinggal Jumena. Dengan berbagai alasan Jumena mencoba tidak memberikan sepersenpun hartanya terhadap Sabar. Karena Sabar-pun mencoba beradu argumentasi dengan Jumena perihal kemanusiaan dan keagamaan.
Pikiran kematian Jumena datang terus-menerus yang disimbolkan dengan datangnya tokoh Pemburu. Tokoh Pemburu ini dimaksudkan yaitu malaikat pencabut nyawa yang sering datang pada pikiran Jumena untuk menenangkannya dari pikiran-pikiran buruknya. Tokoh Pemburu ini juga sering datang pada pikiran Jumena untuk menanyakan kesiapan menghadapi kematiannya. Hingga penjemput ajal Jumena ini adalah peran dari tokoh Pemburu ini. Segi psikologis terlihat dalam hal ini yaitu datangnya kematian sudah diduga oleh Jumena, tetapi dia malah bersikap aneh yaitu melindungi semua harta yang ditakutkan hilang ketika sepeninggal dirinya nanti.
Hingga sampai pada akhirnya, ketika semua bayangan tokoh-tokoh di sekitar Jumena saling bertemu dan beradu pikiran dalam pikirannya. Jumena menangis karena tidak tahan terhadap serangan pikiran buruk ini yang seolah-olah merupakan suatu kenyataan. Sampai menyebut nama Tuhan dan berharap ini hanya pikiran semu yang tidak terjadi. Tetapi tidak mampu menyelesaikan permasalahan ini.
c. Aspek Penghakiman.
Hal yang menarik dalam drama ini yaitu narrative-place yang berpusat atau bersentral pada pikiran Jumena. Jadi pikiran Jumena itu divisualisasikan dan Jumena ikut hadir, tetapi kehadirannya tidak dianggap dan berperan sebagai komentator atas hal yang terjadi pada keadaan pikirannya tersebut. Pemvisualisasian isi pikiran Jumena menjadi suatu hal yang menarik karena isi pikiran itu tidak sesuai dengan kenyataan kehidupannya.
Hal yang aneh untuk dicerna, ketika Jumena lebih mempercayai kehidupan pikirannya yang belum tentu benar ketimbang kehidupan nyatanya. Padahal kehidupan nyatanya lebih baik jika ditelusuri lebih mendalam. Seperti hadirnya istri yang jauh lebih muda ketimbang umurnya dan masih cantik jelita. Bahkan istrinya sedang mengandung anaknya yang selama ini sangat dinantikan oleh Jumena sebelum ajal menjemputnya. Jumena tetap mempertahankan pikiran yang sangat diagungkan selama ini ketimbang kenyataannya. Jadi, buaian istrinya bahkan kabar hamilnya istrinya tak berarti apa-apa baginya. Hal itu hanya disikapi dingin dan rasa ketidak-percayaan.
Pemvisualisasian isi pikiran Jumena yang buruk sangat mempengaruhi psikologis Jumena. Hal itu berakibat pada timbulnya rasa ketidak-percayaan terhadap semua orang di sekitarnya. Psikologis Jumena seharusnya mampu ia gunakan sebaik-baiknya dalam rangka persiapan menghadapi kematiannya. Karena pada saat itu juga dia sedang sakit parah. Bukan ia gunakan untuk selalu berperangsaka buruk terhadap hal yang tidak terjadi dianggap terjadi. Hal itu secara tidak langsung membuat psikologis istrinya menjadi lemah dan sedih terus menerus.
Hal yang menarik lainnya yaitu adanya simbol-simbol dalam drama ini yang mengartikan suatu problema kehidupan. Problema kehidupan itu melingkupi kejadian-kejadian serta akibat dari kejadian itu. Simbol-simbol itu sangat berguna untuk drama ini agar lebih terlihat segi psikologisnya.
Drama psikologis ini benar-benar memberikan efek yang baik serta cerita yang baik pada pembaca/penontonnya. Aspek piskologis menjadi menu utama dalam drama ini. Bahkan hingga kematian menjemput Jumena, tokoh utama tersebut masih mempertanyakan apakah dirinya telah mati atau tidak. Amanat yang akan disampaikan berupa perilaku yang meninggalkan perilaku Jumena.
Kesimpulan
Sumur tanpa dasar. Suatu judul yang bermakna tersirat untuk mencerminkan kehidupan Jumena sebagai tokoh utamanya. Seolah-olah Jumena berada dalam sumur yang tidak berdasar, sehingga jatuh dan tenggelam untuk selama-lamanya. Seperti halnya pikiran buruknya yang selalu menenggelamkan dirinya pada asumsi serta penilaian buruk terhadap semua orang di sekitarnya.
Aspek historis dalam drama ini yaitu Arifin (pengarang) sesuai dengan tema kebanyakan yang hadir pada saat periode 66-70-an yaitu tema beraliran surrealisme dan membahas hal-hal mengenai kesadaran jiwa serta absurditas. Problem-problem psikologis ini bagi banyak orang sering kemudian disebut ‘absurd’. Tokoh-tokoh tersebut banyak memberikan pergulatan pikiran sang tokoh utama.
Aspek rekreatif dalam drama ini yaitu tema berupa ketidakmampuan sisi kehidupan psikologis menghadapi suatu realitas. Sisi psikologis itu tak berdaya melawan suatu keadaan yang tak bersahabat dan begitu berat untuk dijalani. Suatu keadaan yang tidak bisa berdamai, karena egois dan emosi telah sampai pada titik nadir.
Aspek penghakiman dalam drama ini yaitu bernilai baik untuk para khalayak pembaca. Drama ini menunjukan lemahnya manusia ketika menghadapi ajal yang mendekatinya. Bagaimana seharusnya manusia yang telah tua lebih ke arah Tuhan untuk memohon ampun, namun Jumena malah masih berkutat pada pikiran buruknya mengenai keluarganya dan hartanya.
Daftar Pustaka
Hardjana, Andre. 1982. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia
Semi, Atar. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa
Jatman, Darmanto. 1985. Sastra, Psikologi dan Masyarakat. Bandung: Alumni.
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Williem G. Weststeijn. 1989. Pengantar Ilmu Sastra, terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar