Drama dapat saja menggunakan bahasa yang imajinatif atau analitik; karena itu drama dapat ditulis dalam bentuk prosa atau puisi, tetapi tanpa aksi atau perilaku gerak drama tidak ada. Bahkan drama dapat dikatakan bisa terjadi tanpa adanya bahasa sedikitpun, namun tidak mungkin tanpa adanya gerak laku. Drama tidaklah menekankan pada pembicaraan tentang sesuatu, tetapi yang paling penting adalah memperlihatkan sesuatu melalui gerakan tiruan.
Sekelumit pendahuluan di atas merupakan sekilas tentang esensi drama pada umumnya. Termasuk pada drama berjudul “Sri”. Drama karya Gunawan Maryanto tersebut merupakan drama yang menimbulkan gejala psikologis pada tokoh-tokohnya, pembaca, terlepas dari pengarangnya. Hal itu terlihat jelas dialog maupun monolog para tokoh utamanya. Bahkan drama ini bisa saya sebut sebagai drama ekspresionisme yang berakhir dengan tragedi. Drama dengan berbagai ekspresi seperti senang, sedih, marah, dan sebagainya, namun berakhir dengan kematian. Selanjutnya saya sebagai sutradara, ingin membawa drama ini bergerak sedikit ke luar jalan cerita pada teks yang asli, namun tetap mempertahankan esensi dari drama ini dalam bentuk sinopsis.
Saya akan menuliskan cerita drama ini sesuai alur pada drama. Dimulai pada bagian introduksi atau perkenalan para tokoh-tokohnya. Sri merupakan tokoh utama dengan ciri fisik wanita berumur sekitar 26-28 tahun. Watak dari Sri ini seorang yang sabar pada awalnya, setia pada suaminya, namun mendambakan lelaki lain dan mengalami konflik batin sehingga menjadi berwatak keras dan pendendam. Bondan merupakan suami dari Sri dengan umur sekitar 29-31. Watak dari tokoh ini yaitu berwatak tabah dan rajin dalam menggeluti dunia karirnya sebagai guru, mencintai istrinya, namun di tengah cerita berwatak keras. Adegan pertama terjadi di ruang tamu rumah mereka pada pagi hari dengan setting suasana tidak terlalu harmonis. Ketika Bondan ingin pamit kepada istrinya, istrinya menawarkan untuk sarapan, namun Bondan mengatakan telah terlambat untuk sarapan hingga membahas persoalan anak yang belum hadir pada keluarga mereka. Adegan itu terjadi dengan ekspresi yang masih datar-datar saja.
Berlanjut pada adegan kedua saat tokoh Wening masuk dalam rumah Sri yang telah ditinggal suaminya kerja. Tokoh Wening merupakan kerabat Sri yang telah menikah beberapa tahun sesudah Sri menikah. Namun Wening telah mempunyai anak dan tengah hamil anak kedua. Umur dari Wening sekitar 22-24 tahun. Wataknya baik dan sangat menghormati Sri yang lebih tua darinya namun belum mempunyai anak. Adegan ini dimulai saat Wening datang untuk meminta tolong Sri agar dijahitkan popok bayi dari kain dan benang yang telah ia beli. Dimulai dengan Sri yang senang dengan hadirnya anak kedua dari Wening. Lalu Wening menanyakan apa yang harus ia lakukan menghadapi lahirnya anak Wening hingga bertanya tentang belum kehadiran anak dari Sri yang telah berumur produktif. Adegan ini terjadi dengan ekspresi senang dan sedih yang tidak terlalu.
Berlanjut pada adegan saat Damar datang ke rumah Sri untuk mencari Bondan. Damar merupakan tokoh yang menjadi kerabat dari Bondan dan Sri, namun Sri dan Damar merupakan teman bermain saat kecil dahulu. Damar kira-kira berumur 28-30 tahun dengan perwatakan penampilan gagah dan menarik lawan jenis termasuk Sri, belum menikah. Selanjutnya pada adegan itu Damar mengetahui bahwa Sri tengah menjahit popok bayi dan mengiranya jika Sri tengah hamil. Namun Sri cepat-cepat menolak anggapan bahwa dia tengah hamil. Adegan ini terjadi dengan ekspresi santai.
Berlanjut pada adegan saat Sri ketemu tokoh Perempuan Tua. Perempuan Tua ini merupakan kerabat dari ibu Sri. Tokoh ini berumur sekitar 63-67 tahun dengan watak apa adanya seperti wanita berumur segitu dan keras ketika dia tersinggung. Pertemuan mereka dimulai dengan pertanyaan Perempuan Tua tentang anak yang belum lahir dari Sri, lalu berlanjut pada Sri yang menanyakan dirinya yang belum hamil dan harus berbuat apa selanjutnya kepada Perempuan Tua. Hal itu terjadi karena Perempuan Tua dianggap kaya akan pengalaman hidup termasuk soal anak. Pertanyaan-pertanyaan itu direspon oleh Perempuan Tua dengan menanyakan tentang soal gairah dan perasaan mencintai pada suaminya. Sri menjawab hal itu bahwa dia lebih bergairah dengan Damar daripada suaminya sendiri. Namun di akhir percakapan mereka sedikit mengalami perbedaan pemikiran tentang sebab Sri yang tidak punya anak dikarenakan tidak punya perasaan yang kuat pada suaminya. Hal ini berbeda dengan yang dirasakan oleh Perempuan Tua ketika muda. Hingga akhirnya Perempuan Tua pergi meninggalkan Sri karena dia merasa tersinggung atas jawaban dan respon Sri yang tak sejalan dengan pemikirannya. Adegan ini terjadi dengan ekspresi menegang di antara kedua tokoh ini. Hal ini yang disebut sebagai bagian datangnya konflik (rising conflict).
Adegan selanjutnya yaitu ketika Bondan mengantarkan Damar pergi ke ujung desa untuk pergi ke kota, Sri secara diam-diam pergi ke Nyi Ladrang (seorang dukun) untuk meminta petunjuk agar diberi kemudahan dalam menghasilkan anak. Tokoh Nyi Ladrang merupakan tokoh wanita berusia 58-62 tahun. Wataknya yaitu mengetahui segala hal dan keras jika ada yang menganggunya. Saat itu juga Bondan datang untuk mencari Sri pergi kemana pagi-pagi buta. Hingga akhirnya Bondan menemukan Sri di rumah Nyi Ladrang. Hal itu membuat marah Bondan karena telah mengetahui istrinya menggunakan ilmu hitam untuk mendapatkan anak. Hingga pada akhirnya Bondan menyeret Sri untuk pulang meskipun Nyi Ladrang telah marah-marah karena Bondan telah berteriak-teriak di rumahnya. Adegan ini berekspresi marah-menegang dari para tokohnya.
Adegan selanjutnya ketika dalam perjalanan pulang dengan Bondan, Sri didatangi oleh Perempuan Tua. Ketika itu Bondan tidak tahu. Perempuan Tua mengajak Sri untuk menikah saja dengan anak Perempuan Tua. Namun Sri tidak mau karena dia masih mencintai suaminya, Bondan. Sri menegaskan bahwa dia tidak mencari kenikmatan ranjang, tapi dia mencari cinta agar mendapatkan anak. Dalam adegan itu sempat terjadi suasana memanas ketika Perempuan Tua mengumpat pada Sri dengan kata MANDUL.
Adegan selanjutnya yaitu bagian komplikasi. Bondan mendatangi Sri yang telah marah karena sehabis bertengkar dengan Perempuan Tua. Bondan mendengar semua pembicaraan antara mereka. Selanjutnya Bondan meminta maaf selama ini karena telah tidak memberi benih kepada Sri. Hingga akhirnya Sri secara tidak langsung membunuh Bondan. Hal itu didasari oleh Bondan yang telah mandul. Selanjutnya seseorang datang dengan berlari-lari dan membuang bayi ke arah Sri yang telah membunuh Bondan. Sri menjadi kaget dan terlalu terkesima melihat bayi tersebut. Hingga tidak sadar Sri jatuh ke jurang dan meninggal. Adegan terakhir ini berekspresi panas dan menegang hingga mematikan kedua suami dan istrinya. Adegan ini merupakan bagian penyelesaian (ending).
Tema : Kehidupan rumah tangga yang telah lama tanpa seorang anak.
Amanat : Kita diharapkan mampu berpikir positif terhadap apa yang terjadi di rumah tangga kita, termasuk masalah kehadiran anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar