Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Sabtu, 02 Juli 2011

Pascakolonialisme pada sajak “Meneer Trans, Mevrou Trans, Matur Nuwun, Dank U Well, Terima Kasih, Thank You”.

Karya milik Darmanto Jatman ini menyerupai cerpen dan penuh akan unsur postkolonialis. Sajak ini dibuat dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-50 tahun. Sajak ini diceritakan sebagai sebuah ‘laporan’ oleh seorang bernama Bilung kepada Ratu Belanda untuk memamerkan hasil pembangunan Indonesia sebagai mantan negara jajahannya sekaligus meminta bantuan dana kepada Belanda yang sudah tidak bernafsu lagi unutk menjajah. Dari judulnya saja, meskipun tidak mendominasi, tetapi sudah menjadi penanda bahwa teks ini terdapat unsur kolonialnya dan masa sesudahnya yang erat berhubungan. Terlihat di sini unsur bahasa menjadi media penghubung untuk dapat menetukan pendekatan seperti apa yang harus dilalukan terhadap teks ini.
Empat bahasa dari judulnya saja dapat kita lihat jelas dengan adanya perpaduan etnis budaya yang berhubungan. Yaitu adanya bahasa Inggris sebagai penghubung antara masa kolonial dan masa setelah kolonialnya.bahasa internasional dapat dikatakan sebagai tanda arus globalisasi yang sudah masuk ke setiap jengkal budaya masyarakat Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris juga dapat dikatakan sebagai tanda persetujuan untuk hadirnya kolonialisasi baru yang tidak disadari masyarakat telah hadir dalam hidup mereka. Selanjutnya bahasa Belanda yang terdapat disini menandakan adanya historiskal kolonialisme antara Indonesia dengan Belanda yang telah tiga seperempat abad hadir lamanya dan mencoba memberikan pengaruh terhadap Indonesia baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sehingga berdampak masih terdapat sedikit banyak bahasa Belanda yang telah dipakai di Indonesia. Bahasa Indonesia yang terdapat dalam sajak ini menyimbolkan bahasa kaum yang tunduk pada kolonialisasi Belanda dan bersifat melemah serta menyembah Belanda. Bahasa daerah Jawa sendiri merupakan bahasa yang dimiliki oleh bangsa kita sendiri. Dalam bahasa tersebut juga masih ada sekat-sekat tebal yang membatasinya, yaitu bahasa Jawa dianggap bahasa yang kuno, ketinggalan zaman dan bahasanya orang-orang pedesaan. Ironisnya, bahasa Jawa di sajak ini digunakan sebagai bentuk kolonialisasi yang baru dalam bangsa Indonesia ini. Karena bahasa Jawa merupakan bahasa orang-orang yang menguasai berbagai daerah di Indonesia dewasa ini. Hak kuasa besar terdapat pada bahasa Jawa yang menyimbolkan etnis Jawa atas daerah-daerah lainnya di Indonesia. Namun bahasa kaum Jawa ini juga bersifat terjajah pada saat kolonialisasi Belanda sehingga terdiri dari dua sifat yaitu menguasai dan yang dikuasai. Selain empat bahasa tersebut juga masih ada bahas-bahasa orang Jakarta modern misalnya “elu-elu, gua-gua”,. Hal ini disebabkan karena pergeseran budaya dan untuk memberi sekat antara yang modern (budaya Jakarta modern serta Jawa) dan yang kuno (daerah lainnya).
Beralih ke sisi sosial masyarakatnya. Darmanto Jatman menyajikan suatu keadaan masyarakat Indonesia yang masih melaksanakan progam transmigrasi yang dicanangkan oleh kolonial. Hal itu tentu menandakan gejala kolonial yang masih terasa. Globalisasi yang berkembang pada zaman itu, adat dan budaya Indonesia pun dinilai makin luntur. Globalisasi dalam sajak ini dapat dilihat dengan pemakaian bahasa Inggris serta masuknya barang-barang elektronik dan transportasi yang lebih canggih seperi parabola dan Honda. Serta banyaknya tanah-tanah subur milik dan atas nama rakyat seharusnya berupa sawah maupun kebun rempah-rempah yang mulai dijadikan area industrialisasi. Tanah-tanah subur tersebut dikelola menjadi Country Clubs, Golf Courses, Celeng Hunting Grounds, Agrobisnis, termasuk bisnis property alias kondominium. Hal ini tentu suatu kritik pengarang yang ditujukan langsung kepada para feodalis yang ada pada saat itu. Karena telah mengambil hak milik rakyat yang kemungkinan bisa digunakan untuk menyejahterakan rakyat.
Sisi bahasa yang digunakan sebagai media penceritaan dan sisi sosial yang menyimbolkan atmosfer kehidupan cukup untuk menyimpulkan atau menginterpretasi teks sajak ini sebagai kritik sosial kepada pemerintah. Hal ini tentu terjadi karena pemerintah Indonesia masih saja berkutat pada dominasi kolonial yang tentu tidak saja memiskinkan masyarakatnya, melainkan memutuskan untuk acuh terhadap rakyatnya sekaligus melegalkan kolonial menguasai tiap infrastruktur kehidupan. Maka teks ini adalah ucapan terimakasih yang bernada ironis atas sejarah kolonial yang telah dilanjutkan oleh kader-kader modernisasi dalam memasuki era globalisasi.

Aliran Formalisme dan New Criticsm

Aliran Formalisme.
Formalisme merupakan salah satu aliran yang menempatkan karya sastra dalam pusat perhatian. Aliran ini lebih menekankan sarana-sarana dan metode dalam bersastra. Bentuk karya sastra secara formal merupakan hal yang dipentingkan dalam formalis ini. Tidak peduli terhadap unsur makna yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri, seperti aspek sosio-historis dari karya itu, aspek sosio-kultul, bahkan aspek kemanusiaan termasuk biografis pengarangnya. Formalisme Rusia tidak menilai bagaimana suatu karya dapat berpengaruh bagi penikmatnya melainkan hanya menyuguhkan suatu karya yang benar-benar sastra. Tidak menitik beratkan pada apa yang ingin disampaikan oleh suatu karya, atau nilai-nilai kemanusiaan apa yang ada dalam suatu karya bahkan apakah suatu karya itu memiliki nilai estetika atau tidak. Formalisme Rusia hanyalah menilai suatu karya melalui sarana-sarananya. Misalnya sarana bahasa yang disuguhkan dalam suatu karya. Apakah itu merupakan bahasa sastra atau bahasa seadanya.
Formalisme yang timbul di Rusia untuk sebagian dapat kita pandang sebagai suatu reaksi terhadap aliran positivisme pada abad ke-19 yang memperhatikan keterangan biografis (Van Luxemburg dkk, 1986: 32). Penganut paham ini merupakan teoretisi sastra serta linguis seperti Viktor Sjklovski, Tynjanov, dan Roman Jakobson. Kaum ini menolak kebiasaan di Rusia yang meneliti suatu karya sebagai suatu pandangan di masyarakat pendukungnya. Kaum formalis sangat memperhatikan pada apa yang dianggap khas sastra dalam teks yang bersangkutan.
Sumbangan kaum formalis terhadap bagi ilmu sastra yang tak dapat dihapuskan ialah bahwa secara prinsip kita mengarahkan perhatian pada unsur kesusastraan dan fungsi puitik, pengertian-pengertian seperti penyulapan dan pengasingan, istilah dalam menerangkan teknik bercerita serta teori evolusi sastra (Van Luxemburg dkk, 1986: 36). Selanjutnya dalam paham ini dikenal juga istilah yang termasuk menganalisa suatu teks cerita/naratif, seperti istilah motif yang diartikan sebgai kesatuan terkecil dalam analisa teks cerita, lalu istilah fabula yaitu rangkaian motif dalam urutan kronologis, dan istilah suzjet sebagai penyusunan artisitik motif-motif tersebut karena penyulapan atau pengolahan terhadap fabula secara estetik.

New Criticism
Paham ini merupakan suatu metode pendekatan terhadap karya sastra yang sering digunakan oleh para mahasiswa sastra pada umumnya. Karena hal ini pada dasarnya telah diperkenalkan kepada mahasiswa ketika sekolah menengah. Tetapi para mahasiswa tidak mengetahui esensi dasar dari pola pendekatan ini. Hal yang diketahui oleh para mahasiswa hanya menelaah suatu karya sastra dari unsur instrinsiknya dan ekstrinsiknya saja. Memang benar suatu karya sastra pada umumnya ditelaah menurut unsur instrinsik dan ekstinsiknya, tetapi pendekatan ini hanya menelaah dari segi instrinsiknya.
Kritik Sastra Baru muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1920-an dan terus berkembang sampai dengan tahun 1960-an. Robert Penn Warren, Alan Tate, Cleanth Brooks, W.K. Wimsatt, Jhon Crowe Ransom, dan Monroe Breadsley adalah sedikit nama dari banyak nama yang merupakan tokoh-tokoh dari teori kritik sastra ini. Paham ini muncul karena adanya suatu kritik yang berlatar tradisional menelaah karya sastra dengan mementingkan sejarah terbentuknya karya sastra itu dan sejenis riwayat hidup si pengarang. Tentu ditambahkan pula jika unsur atau organisasi di dalam karya sastra itu tidak dipentingkan untuk diteliti. New Criticism membalikan konsep tersebut dengan memandang bahwa organisasi atas unsur-unsur di dalam karya tersebut yang harus diperhitungkan tanpa memandang unsur luar dari karya itu termasuk kepengarangannya serta reaksi pembaca.
Sastra, dalam pandangan New Criticism, adalah sesuatu yang otonom, mandiri dan berdiri sendiri, serta tidak tergantung pada unsur-unsur lain di luar sastra itu sendiri. Oleh karena itu, sastra menurut New Criticism harus menjadi objek dalam dirinya sendiri, dan memisahkan diri dari pengarang maupun pembaca. Berhubungan dengan hal itu, New Criticism bersifat ergosentris. Sifat ergosentris merupakan sifat yang memandang karya sastra itu langsung terhadap dirinya sendiri. Terlepas dari niat atau maksud pengarang pada karya sastra itu, biografi pengarangnya, dan emosi serta sikap pembaca dalam membaca karya sastra ini. Sastra merupakan satu kesatuan organik yang kompleks dan unik di mana makna harus dicari dalam sintaksis dan semantiknya dengan sarana dan bekal pengetahuan kebahasaan dan kesastraan serta pengalaman penelaahnya yang bias dipertanggungjawabkan.
Menurut New Criticism, makna karya sastra adalah makna konotasi, karena bahasa sastra berbeda dengan bahasa pada umumnya. Bahasa ini bersifat mengandaikan. Pengandaian ini membuat makna karya sastra menjadi sangat luas dan bebas. Maka, makna karya sastra adalah makna yang ambigu. Ambiguitas makna ini membuat karya sastra berada pada suatu situasi yang menciptakan sifat paradoks dalam karya sastra. Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada dan menghadirkan gambaran kompleksitas sikap dari karya sastra, juga melahirkan ironi. New Criticism menganggap bahwa dalam karya sastra antara bentuk dan isi merupakan satu kesatuan yang bulat. Dan setiap bentuk yang ada pada karya sastra senantiasa tunduk pada makna.

Strukturalisme
Pandangan strukturalis terhadap karya sastra. Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Sebuah karya sastra memiliki sifat keotonomian, sehingga pembicaraan terhadapnya juga tidak perlu dikaitkan dengan hal-hal lain di luar karya sastra. Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Di satu pihak struktur karya sastra dapat diartikan sebagi susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Di pihak lain struktur karya sastra juga menyarankan pada pengertian hubungan antara unsur (intrinsic) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama mambentuk satu kesatuan yang utuh.
Di pihak lain struktur karya sastra juga menyarankan pada pengertian hubungan antara unsur (intrinsic) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama mambentuk satu kesatuan yang utuh. Selain itu istilah struktural di atas, dunia kesastraan (juga: linguistik) mengenal istilah strukturalisme. Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antaraunsur pembangun karya yang bersangkutan. Strukturalisme (disamakan dengan pendekatan objektif) dapat dipertentangkan dengan pendekatan yang lain, seperti pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatik.
Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di dalamnya. Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antaraunsur instrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lainnya. Hubungan antarunsur dapat secara bersama membentuk sebuah totalitas-kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya, kaitannya dengan pemplotan yang tak selau kronologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya. Yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antaraunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai.

Strikturalis ala Leonard Bloomfield

Strukturalis Amerika oleh Leonard Bloomfield
Aliran strukturalis Amerika selalu dikaitkan dengan Leonard Bloomfield. Hal itu terjadi karena Leonard Bloomfield serta teman-temannya yang mengembangkan aliran ini lewat bukunya yang berjudul Language. Seperti pada umumnya, strukturalis dapat dikenakan pada semua aliran linguistik. Karena sebenaranya segala aliran linguistik pasti berusaha menjelaskan seluk-beluk bahasa berdasarkan strukturnya. Aliran ini dikembangkan sekitar tahun tiga puluhan sampai tahun lima puluhan akhir. Hal itu terjadi karena beberapa hal yaitu:
Alasan pertama. Banyak sekali bahasa Indian di Amerika yang belum diperikan. Hal itu yang dihadapi oleh para linguis di Amerika. Maka dari itu, mereka ingin memerikan bahasa-bahasa Indian itu dengan metode baru yaitu metode sinkronik. Pentingnya mencari metode baru karena cara lama yang dipakai yaitu secara historis dan diakronik sangat kurang bermanfaat. Hal itu juga ditambah dengan sangat diragukan keberhasilannya karena sejarah bahasa-bahasa Indian itu sedikit sekali diketahui. Bahkan banyak sama sekali hampir tidak diketahui.
Alasan kedua. Bloomfield menolak mentalistik sejalan dengan iklim filsafat yang berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat behaviorisme. Maka dari itu dalam memerikan bahasa, aliran strukturalisme ini selalu mendasarkan diri pada fakta-fakta objektif yang dapat dicocokan dengan kenyataan-kenyataan yang dapat diamati. Sehingga tidak mengherankan jika masalah makna maupun arti kurang mendapat perhatian. Seperti Z. S. Harris dengan buku Structural Linguistics. Dia merupakan salah satu contoh dari linguis Amerika yang terpengaruh oleh Bloomfield dan bertindak lebih jauh lagi dengan meninggalkan makna. Mereka beranggapan bahwa hal itu dikarenakan pada cara kerja makna yang sangat bersandar pada data empirik.
Untuk alasan ketiga, karena adanya redaksi majalah Language yang diterbitkan oleh The Linguistic Society of America. Redaksi ini dijadikan sebagai wadah tempat melaporkan hasil kerja mereka.
Ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja mereka yang sangat menekankan pentingnya data yang objektif untuk memerikan suatu bahasa. Data dikumpulkan secara cermat sedikit demi sedikit. Bentuk-bentuk satuan bahasa diklasifikasikan berdasarkan distribusinya.
Ciri-ciri kajian bahasa sesudah era Bloomfield (post Bloomfieldian):
1. Menitikberatkan pada deskripsi bahasa
2. Mengerjakan inventarisasi dan klasifikasi bunyi-bunyi bahasa, morfem dan realisasinya dalam satuan yang lebih besar. Kegiatan ini disebut era distributionalism puncaknya adalah kegiatan Z. S. Harris atau menurut Chomsky disebut taxonomics.
3. Kurang memperhatikan makna, karena makna dianggap tidak dapat diinderakan. Pandangan ini terkenal dengan sebutan behaviorism atau antimentalism.
Aliran sesudah Bloomfield dengan para pengikutnya juga sering disebut dengan aliran taksonomi, karena aliran ini menganalisis dan mengklsifikasikan unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan hierarkhinya. Misalnya dalam menganalisis kalimat, digunakan metode Immedidiate Constituents Analysis untuk melihat unsur-unsur langsung yang membangun kalimat tersebut. Seperti kalimat pada diagram dibawah ini. 
Kalimat andi makan nasi goreng disajikan dalam bentuk diagram di atas dengan tata urut. Dimulai dengan kata nasi dan kata goreng, kata nasi dan kata goreng digabung sehingga menjadi frase nasi goreng. Selanjutnya kata makan mengikuti frase tersebut sehingga menjadi klausa tidak lengkap. Hingga terakhir ditambahkan dengan kata andi sebagai subjek dalam klausa andi makan nasi goreng.

Resepsi Cala Ibi

BAB I
PENDAHULUAN
Pergeseran minat dari strukturalisme ke arah tanggapan pembaca yang kita sebut sebagai teori resepsi berawal dari teori Mukarovsky terhadap karya sastra berpangkal pada aliran formalis sebagai tanda untuk memahami karya sastra sebagai realisasi fungsi bahasa. Tahap awal yang Mukarovsky lakukan adalah mulai menekankan fungsi seni sebagai tanda fakta sosial supra-individual yang mengadakan komunikasi.
Perkembangan pikiran Mukarovsky ini cukup berat konsekuensinya. Pembaca sebagai subyek tak kurang pentingnya dalam fungsi semiotik karya sastra daripada strukturnya. Dalam pendekatan Mukarovsky ini pengalaman estetik justru ditentukan oleh tegangan antara struktur karya sastra sebagai tanda dan subyektivitas pembaca, yang bukan subyektivitas mutlak, tetapi subyektivitas yang tergantung pada lingkungan sosial dan kedudukan sejarah penanggap. Hubungan ini berkaitan dengan munculnya pencipta karya sastra yang sebelumnya sedikit sekali mendapat perhatian dalam strukturalisme Praha. Demikianlah Mukarovsky meletakkan pandangan untuk estetik sastra dalam model semiotik di mana ada pandangan dinamik dan tegangan yang terus-menerus antara empat faktor : pencipta, karya, pembaca, serta kenyataan yang semua itu disebut struktural dinamik.
Pemikiran Mukarovsky dikonkritkan oleh muridnya yaitu Felix Vodicka. Teori yang diusung Vodicka adalah mengenai konkretisasi karya seni. Pemikiran ini berawal dari pemikiran Roman Ingarden yang memaparkan bahwa karya sastra mempunyai struktur yang obyektif, yang tidak terikat pada tanggapan pembaca, dan yang nilai estetiknya tidak tergantung pada norma-norma estetik pembaca pada masanya. Sebetulnya kebebasan pembaca dalam mengartikulasikan karya sastra diserahkan sepenuhnya pada pembaca itu sendiri. Tetapi dalam visi Ingarden kebebasan pembaca terbatas, dibatasi oleh struktur karya seni yang mengikatnya secara obyektif dan yang juga menentikan kemungkinan dan batas penilaian estetik.
Menurut Thomas Aquino, segala sesuatu yang diterima, diterima menurut cara si penerima. Hal itu yang menjadi dasar bahwa penerimaan tujuan dalam suatu karya sastra yang sebenarnya dibuat oleh penciptanya dan ditujukan ke arah penerimanya seharusnya diterima oleh penerima menurut caranya sendiri dalam mengartikulasikan karya sastra yang hadir di depannya.
Seorang dengan orang yang lain itu akan berbeda dalam menanggapi sebuah karya sastra. Begitu juga tiap periode itu berbeda dengan periode lain dalam menanggapi sebuah karya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Cakrawala harapan itu adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Seorang pembaca tentu mempunyai konsep atau pengertian tertentu mengenai sebuah karya sastra meliputi sajak, cerpen, maupun novel. Sehingga seorang pembaca itu mengharapkan bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian yang dimilikinya.
Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seorang dengan orang lain itu mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan periode lainnya. Perbedaaan itu disebut perbedaan cakrawala harapan. Cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi periode. Menurut Rian T. Segers, cakrawala harapan ditentukan oleh tiga kriteria. Pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Di samping adanya perbedaan cakrawala harapan itu, meskipun pembaca itu menentukan makna karya sastra, tetapi tidak dapat diingkari bahwa dalam karya sastra itu ada tempat-tempat terbuka yang mengharuskan para pembaca untuk mengisinya. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra sendiri yang mengandung kemungkinan banyak tafsir. Karya sastra itu merupakan penjelmaan ekspresi yang padat, maka hal-hal yang kecil-kecil tak disebutkan, begitu juga hal-hal yang tak langsung berhubungan dengan cerita atau masalah. Dengan demikian, diharapkan setiap pembaca mengisi kekosongan tersebut.
Maka dari pengertian di atas kami mengambil cerita tentang novel Cala’ ibi, karya Nukila Amal ini yang diciptakan pada tahun 2004 menceritakan tentang wanita yang tak lepas dari kodratnya pastilah membutuhkan seorang lelaki untuk mendampingi hidupnya dan menjadi pemimpin dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Cala Ibi adalah yang menggabungkan ketiga fase feminin, feminis, dan female dalam proses memaknai diri dari tokoh utamanya, Maya Amanita. Hal itu tentu banyak mengundang resepsi-resepsi dari pihak akademisi sastra/nonsastra maupun para sastrawan.
BAB II
PEMBAHASAN
Seni tidak memberikan sesuatu pengetahuan dalam pengertian yang terbatas kepada kita. Karenanya, seni tidak menggantikan pengetahuan, namun apa yang diberikan seni adalah terpeliharanya hubungan khusus tertentu dengan pengetahuan. Hubungan ini bukan sejenis identitas melainkan sejenis perbedaan. Keistimewaan seni adalah membuat kita melihat (nous donner a voir), membuat kita mencerapi, dan membuat kita merasakan suatu hal yang bersinggungan dengan realitas.
Cala Ibi adalah sebuah pembacaan postruktural. Narasi postruktual adalah narasi yang memiliki nilai seni yang bersifat kreatif dan selalu lahir kembali sehingga melampaui ruang dan waktu pembuatannya.
Novel Cala Ibi merupakan terobosan baru yang mutlak harus dicatat dalam khazanah sastra Indonesia. Tokoh naga bernama Cala Ibi, Maia yang berkelana dalam dunia surealis, perempuan bernama Tepi, serta laki-laki berseragam bernama Ujung layaknya titik perhentian karena gerak masa lalu dan masa depan, membaca kisah tersebut mengajak pembaca masuk pada titik yang mengandung dua gerak: diferensialitas dan referensialitas. Esensi manusia bertempat dalam menyatunya narasi dan waktu, dengan demikian akan sekaligus memperhitungkan diferensialitas serta referensialitas.
Ada yang beranggapan Cala Ibi adalah sebuah pembacaan dimana eksistensi manusia adalah sekaligus teks dan waktu. Manusia sebagai entitas yang menarasi, dan melalui narasi tersebut sekaligus membangun eksistensi. Derrida mengatakan tak ada apa-apa di luar teks, untuk itu disimpulkan tak ada manusia yang ada di luar narasi. Pertaruhan manusia adalah antara menjadikan narasinya sekedar karya picisan yang memiliki keindahan karya seni yang melampaui ada dan waktu.
Membaca teks tidak sama dengan membaca buku, koran, dan sebagainya. Membaca teks merupakan interpretasi terhadap apa saja karena apa saja yang dapat diinterpretasikan dapat dibaca dan apapun yang dapat dibaca adalah teks.
Absurditas perjalanan hidup manusia yang diisyaratkan dalam Cala Ibi mengandung narasi yang menarik yang akan ditemukan jika pembaca melakukan pembacaan mendalam, dimana narasi tersebut mengajak pembaca untuk melampaui absurditas sehingga novel tersebut memiliki nilai lebih dari sekedar silang-sengkarut fantasi yang dibalut surealisme dalam Cala Ibi.
Kisah yang ditulis dalam bentuk novel Cala Ibi tersebut dapat membantu pembaca untuk merenungkan siapa dirinya yang kemudian mencoba menemukan energi minimalnya. Suatu peran hidup yang sejalan dengan dikaiosyne dan arête yang dimilikinya, tentu saja ini bisa terjadi ketika ada suatu pembacaan yang mendalam terhadap kisah tersebut dan memang kisah itu mempunyai suatu kedalaman makna yang bisa diraih oleh pembacanya.
Karya tersebut merupakan contoh bagaimana seorang penulis mengangkat suatu proposisi teoritis ke dalam tulisan fiksinya melalui tokoh Maia sebagai gendered subject. Tak lepas dari tanggapan orang-orang ternama yang meresepsi teks tersebut, berikut akan dipaparkan agar khalayak mengetahui tentang resepsi para tokoh terhadap novel Cala Ibi.
Beberapa komentar atas novel ini yaitu :
Menurut Bambang Sugiharto. Sebuah novel yang memperkarakan hakikat nama, peristiwa, dan cerita, maya dan nyata, diri dan ilusi, tapi juga memperkarakan kodrat kata dan bahasa itu sendiri. Bahasa, setelah dieksplorasi dan dirayakan. Ujung-ujungnya ia kembalikan pada ketidakterbentukan kenyataan, pada kesunyian, pada kekaguman: mistisisme linguistik. Novel ini adalah salah satu puncak sastra Indonesia Mutakhir.
Menurut Goenawan Mohamad. Apa yang pernah saya katakan beberapa belas tahun yang lalu tak berlaku lagi: sastra Indonesia kini terbangun dari bahasa yang bergairah menjelajah ke dalam alam benda kongkrit, dunia yang jauh maupun intim. Kita berjumpa dengan prosa yang menebarkan metafor yang tak disangka-sangka. Kita memasuki avontur yang penuh arti. Cala Ibi adalah salah satu puncak tren ini.
Menurut Nirwan Dewanto. “Cala Ibi adalah pelaksanaan semacam gagasan matematis, misalnya saja pencerminan dan penggandaan, ke dalam bentuk sastra, dan hanya dalam bentuk inilah gagasan itu kita hayati. Rupanya, hanya pembaca yang mau memperbaharui cara bacanya yang bisa menikmati permainan Nukila.”
Menurut Budi Darma. “Sebuah novel dengan ramuan berbagai gaya penulisan. Mimpi dipuja, realitas ditabrak, realisme digempur, dan sebagai konsekuensinya – filsafat eksistensialisme pun harus diusung masuk”.
Menurut Manneke Budiman. “Cala ibi aktif secara terus menerus melakukan invalidasi atas apapun yang mungkin dikatakan tentang dirinya. Kata-katanya bertutur tentang dirinya sendiri, tentang sastra atau lebih tepatnya, bagaimana sebuah karya mesti dibaca”.
Menurut Melani Budianto. “Teks novel yang meta-narasi di dalamnya ada penulisan, pembacaan, sekaligus proses narasi atau penceritaan. Diperlukan generasi yang berbeda dari generasi saya untuk menulis karakter seperti ini. Sebuah generasi yang banyak pilihan, tapi tidak kehilangan cantolan pada kenyataan generasi yang sangat rileks, kadang bisa serius, tapi juga bermain-main.”
Menurut Sapardi Djoko Damano. “Untuk orang-orang yang menikmati cara pengungkapan. Itulah kekuatan novel ini. Kalau ditanya ceritanya apa, saya akan kelabakan.”
Menurut St Sunardi. “Dari lingkungan filsafat bahasa, sumbangan Cala Ibi tidak bisa diragukan lagi. Dari lingkungan sastra, teks ini bisa menjadi kontroversial di mana tradisi realisme begitu kuat. Terlepas apakah orang akan menerima teks semacam ini atau tidak, saya melihat munculnya teks ini bisa menjadi pemacu munculnya novel des idee di Indonesia.”
Dari kedelapan komentar tersebut dapat ditarik garis tengah yaitu bahasa memegang peranan penting dalam novel ini. Peran bahasa sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca sangat berpengaruh, sehingga pembaca harus mampu menelanjangi teks ini berdasarkan pengalaman pribadi pembaca yang tentu saja pernah merasakan mimpi dan membedakan antara mimpi dan kenyataan. Semua itu dibungkus oleh tataran linguistik yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Sehingga karya ini mempunyai kecendrungan untuk berfilosofis dalam bersastra.

Jumat, 01 Juli 2011

Romantisme-Feminisme Layar Terkembang

Perselisihan, Romantisme-Feminisme pada Layar Terkembang

Cerita ini merupakan cerita kehidupan yang biasa dan bisa saja terjadi di lingkungan kita. Menarik untuk disimak dan di apresiasi sebagai suatu karya yang mampu memberikan suasana perselisihan dan keromantisan dalam cerita ini. Saya tidak kaget dengan cerita ini, karena cerita ini didesain oleh seorang ahli dalam dunia kesusastraan sekelas Sutan Takdir Alisyahbana. Seorang tokoh yang menjadi layak dijadikan panutan pada era Balai Pustaka-Pujangga Baru. Beliau mendesain cerita ini berlatar kehidupan pada umumnya dengan membandingkan perselisihan dengan keromantisan antar tokohnya.
Romantisme layak dikedepankan dalam cerita ini, karena romantisme merupakan hal yang tak asing dalam kehidupan seperti dalam cerita tersebut. Pada era Balai Pustaka-Pujangga Baru juga terdapat tema seperti itu dalama karya-karyanya. Adanya pertemuan seorang wanita yang berwajah ayu dengan lelaki berparas tampan tentu membuat banyak pembaca untuk menafsirkan akan timbul suatu perasaan di antara ke duanya. Karena memang itu yang terjadi selanjutnya. Maria dan Yusuf yang mengalami kejadian seperti di atas. Mereka bertemu di akuarium besar, dan selanjutnya di antara mereka timbul suatu kisah percintaan. Keduanya saling menyayangi, sehingga pantas disebut pasangan yang ideal.
Yusuf hadir di cerita ini tak sekedar sebagai seorang yang berparas tamapan dan menjalin kisah percintaan dengan Maria, tetapi juga sebagai seorang penengah saat Maria berselisih paham dengan Tuti, kakaknya. Perselisihan antar saudara pada umumnya memang sering terjadi di kehidupan kita. Sehingga tak ayal dalam cerita ini juga terjadi seperti itu. Perbedaan paham tentu menjadi dasar perselisihan ini terjadi.
Tuti merupakan seorang sosok wanita tegas, berpendirian, sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum perempuan, dan sangat gemar mengikuti organisasi. Tuti juga memiliki kepandaian yang luar biasa dibandingkan dengan wanita-wanita pada masa itu. Ia mampu berpidato di depan wanita-wanita lain sehingga mampu membuat semua orang terkesima mendengar orasi-orasi yang Tuti lontarkan. Tuti juga memiliki pendirian yang teguh, Ia tak mudah memuji bahkan lebih sering mencela jika menurut pemikirannya hal itu tidak sesuai dengan paham yang Ia ikuti. Berbeda dengan Maria yang gadis remaja periang yang memiliki sifat bertolak belakang dengan Tuti. Maria cenderung gemar berdandan, tidak terlalu suka berorganisasi, dan benar-benar menikmati masa mudanya yang penuh kegembiraan. Maria tidak suka berdebat hal-hal berat seperti yang dilakukan kakaknya, dia gemar bernyanyi sembari merawat bunga-bunga yang sengaja dia tanam di pekarangan rumahnya. Maria masih bersekolah di salah satu sekolah terbaik di tempatnya, dia menggantungkan cita-citanya setinggi mungkin.
Dari pendeskripsian di atas, jelas terlihat bahwasannya perbedaan pandangan hidup di persaudaraan antara Tuti dan Maria membuat mereka sering berselisih. Maria orangnya pemalas, tetapi mempunyai aura sebagai wanita muda yang indah dan mempunyai cita-cita tinggi. Berbeda dengan Tuti yang sangat dingin dan sulit untuk memikirkan cinta padahal dia sangat butuh akan cinta itu sendiri. Feminisme yang berbicara akan hal itu. Layaknya seorang wanita biasa, Tuti mencoba untuk jatuh cinta pada seseorang, tapi sulit untuk menahan egonya yang berkata tidak akan cinta. Karena hal itu diawali oleh gagalnya dia bertunagan dengan Hambali, kekasihnya dulu.

Frase Bahasa Indonesia

Frase Bahasa Indonesia
            Dalam tataran sintaksis Bahasa Indonesia, frase merupakan salah satu dari satuan-satuan milik Sintaksis selain kata, klausa, kalimat, dan wacana. Maka dari itu frase haruslah didapati sebagai sebuah bagian yang tidak boleh ditanggalkan dari sistem sintaksis ini sebagai satuannya. Dalam Bahasa Indonesia, terdapat frase-frase yang tentu menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena bentuknya hampir sama seperti kata majemuk.
Definisi frase menurut M. Ramlan yaitu satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampau batas fungsi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa frase mempunyai dau sifat menurut pengertian di atas yaitu (1) frase merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih dan (2) frase merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi, maksudnya harus terdapat dalam satu fungsi pada suatu kalimat. Jadi frase tersebut haruslah terdiri dari lebih dari atau sama dengan dua kata asalkan tidak melampaui satu fungsi dalam suatu kalimat.
Beberapa hal yang terdapat dalam frase ini yaitu :
(1)   Pembentuk frase harus berupa morfem bebas, bukan berupa morfem terikat. Seperti kontruksi  daya juang, yang tedapat morfem terikat juang. Maka dapat dikatakan bahwa kontruksi itu merupakan kata majemuk. Seperti kontruksi tanah tinggi yang unsurnya berupa morfem bebas.
(2)   Frase merupakan kontruksi nonpredikatif. Hal ini menandakan bahwa hubungan antara kedua unsur yang membentuk frase itu tidak berstruktur subjek-predikat atau predikat-objek, sehingga dapat dikatakan frase merupakan konstituen pengisi dalam suatu kalimat. Seperti bentuk saya makan yang terdiri dari fungsi subjek-predikat, maka bentuk itu bukan merupakan frase. Berbeda dengan bentuk sedang makan yang tentu menempati fungsi predikat.
(3)   Dalam frase, antara kata yang satu dengan kata yang lain dapat diselipi unsur lain. Seperti bentuk celana panjang, bentuk tersebut dapat diselipi suatu unsur lain sehingga menjadi celana berkain panjang.
(4)   Karena frase mengisi salah satu fungsi sintaksis, maka salah satu unsur frase itu tidak dapat dipindahkan secara terpisah, jika ingin dipindahkan maka harus membawa semua unsur dalam satu fungsi. Seperti pada kalimat Ipank membelikan boneka lumba-lumba untuk Icha. Untuk frase boneka lumba-lumba tidak dapat dipindahkan letaknya secara terpisah menjadi Boneka Icha dibelikan Ipank lumba-lumba. Seharusnya tetap menjadi satu fungsi seperti Boneka lumba-lumba untuk Icha dibelikan Ipank jika dalam kalimat pasif.
(5)   Berbeda dengan makna pada kata majemuk yang menciptakan makna baru atau satu makna, maka frase memiliki makna sintaktik atau makna gramatikal. Seperti kata majemuk rumah sakit, kata majemuk menciptakan makna baru bagi rumah sakit dengan arti ‘tempat bagi orang yang sakit’. Berbeda dengan rumah Ipank yang merupakan sebuah frase yang berarti ‘rumah milik Ipank’.
Jenis-jenis frase dapat dibedakan menjadi dua jenis frase utama yaitu frase eksosentrik dan frase endosentrik.
Frase eksosentrik merupakan frase yang komponen-komponennya tidak mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Frase ini merupakan frase yang dimana kedua atau salah satu komponennya tidak dapat berdiri sendiri. Seperti frase ke sekolah. Dalam kalimat Andi membawa sepeda ke sekolah, tentu tidak dapat menjadi kalimat Andi membawa sepeda ke atau Andi membawa sepeda sekolah. Selanjutnya frase eksosentris ini dibedakan menjadi dua frase sub bagian lagi. Yaitu frase eksosentris yang direktif dan frase eksosentris yang nondirektif. Frase direktif yaitu frase eksosentris yang komponennya berupa preposisi di, ke, dari, dan berkategori nomina. Seperti frase dari rumah teman, di kampus, dan ke masjid. Sedangkan frase eksosentris yang nondirektif yaitu frase eksosentris yang berupa komponen artikulus, seperti si, sang, yang, para, dan kaum. Selanjutnya komponennya juga berupa kata berkategori nomina, ajektifa, atau verba. Seperti si kaya, sang pahlawan, yang berbaju merah, para budayawan, dan kaum ekstrimis.
Frase endosentrik merupakan frase yang salah satu unsurnya atau komponenya memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya. Frase yang salah satu artinya jika dipasang pada satu kalimat dapat menggantikan peranan frase itu. Seperti kalimat Amir sedang mencari uangnya, maka kalimatnya bisa menjadi Amir mencari uangnya. Selanjutnya frase endosentrik dibedakan atas frase endosentrik yang koordinatif, frase endosentrik yang atributif, dan frase endosentrik yang apositif. Frase endosentrik yang koordinatif yaitu frase yang terdiri dari komponen yang setara, dan kesetaraan itu dibuktikan dengan adanya kata penghubung seperti dan atau atau. Seperti adik kakak, belajar dan bekerja, dan hitam atau putih. Frase endosentrik yang atributif yaitu frase yang terdiri dari komponen yang tidak setara. Sehingga tidak terdapat kata penghubung seperti dan atau atau. Frase ini mempunyai unsur pusat dan unsur atributif. Seperti baju lama, malam itu, sedang mandi. Kata-kata baju, malam, dan sedang merupakan unsur pusat, sedangkan kata-kata lama, itu, dan sedang merupakan unsur atributif. Frase endosentrik yang apositif adalah frase yang kedua komponennya saling merujuk sesamanya dan oleh karena itu urutan letak komponennya dapat ditukarkan. Seperti contoh ini: Pak Tubi, dosen saya, pintar sekali. Lalu kalimat ini: Dosen saya, pak Tubi, pintar sekali. Dari kedua kalimat tersebut, pak Tubi dapat menggantikan atau digantikan dengan dosen saya, ataupun dihilangkan salah satu dari kedua frase tersebut.
Frase-frase juga dapat dibedakan berdasarkan persamaan distribusi dengan golongan kata menjadi empat golongan yaitu frase nominal, frase verbal, frase bilangan, dan frase keterangan. Sedangkan berdasarkan tidak memiliki persamaan distribusi dengan kategori kata disebut frase depan.
Frase nominal yaitu frase yang memiliki pendistribusian yang sama dengan kata nominal. Dalam frase tersebut terdapat golongan kata nominal. Seperti frase celana baru dan jalan kecil. Selanjutnya frase nominal ini dibagi dalam beberapa bentukan kategori kata komponennya. Seperti frase nominal yang bercirikan kata benda diikuti kata benda. Contoh: gelang perak. Selanjutnya frase nominal berciri kata benda diikuti kata kerja. Contoh: adik bersepatu. Lalu frase nominal yang bercirikan kata benda diikuti kata bilangan. Contoh: apel tiga biji. Selanjutnya frase nominal yang bercirikan kata benda diikuti kata keterangan. Contoh: acara besok sore. Lalu frase nominal yang bercirikan kata benda yang diikuti frase depan. Contoh: pengabdian kepada masyarakat. Selanjutnya frase nominal yang bercirikan kata benda didahului kata bilangan. Contoh: lima buah sepeda baru. Lalu frase nominal yang bercirikan kata nominal didahului kata sandang. Contoh: sang kodok. Selanjutnya frase nominal yang bercirikan kata yang diikuti kata benda. Contoh: yang ini. Lalu frase nominal yang bercirikan kata yang diikuti kata kerja. Contoh: yang akan pulang. Selanjutnya frase nominal yang bercirikan kata yang diikuti kata bilangan. Contoh: yang sepuluh buah. Lalu frase nominal yang bercirikan kata yang diikuti kata keterangan. Contoh: yang kemarin. Selanjutnya frase nominal yang bercirikan kata yang diikuti frase depan.
Frase verbal yaitu frase yang memiliki pendistribusian yang sama dengan kata kerja. Dalam frase tersebut terdapat golongan kata kerja. Seperti frase sedang menulis, frase sering lari, frase dapat menari, dan frase akan datang. Frase akan datang merupakan frase yang terdiri dari kata akan yang termasuk golongan kata tambah dan merupakan atribut dalam frase itu, sedangkan kata datang yang termasuk golongan kata kerja merupakan unsur pusat dari frase tersebut. Maka semua kata golongan tambah merupakan kata-kata yang dalam frase endosentrik yang atributif berfungsi sebagai atribut bagi unsur pusat yang berupa kata benda. Untuk frase menyanyi dan menari, frase ini terdiri dari golongan kata kerja semua. Kedua kata pembentuk frase tersebut merupakan unsur pusat semua dan hanya dipisahkan dengan kata dan.
Frase bilangan merupakan frase yang memiliki pendistribusian yang sama dengan kata bilangan. Dalam frase tersebut terdapat golongan kata bilangan. Seperti frase lima buah kursi. Dalam frase tersebut terdapat kata bilangan yaitu lima. Frase bilangan selalu terdiri dari unsur kata bilangan diikuti kata satuan. Seperti frase tiga lembar (daun). Kata lembar merupakan kata satuan.
Frase keterangan merupakan frase yang memiliki pendistribusian yang sama dengan kata keterangan. Dalam frase tersebut terdapat golongan kata keterangan. Frase ini memiliki kecendrungan yaitu selalu berada dalam sebuah klausa atau kalimat yang menduduki fungsi keterangan. Jumlah dari frase ini tidak banyak dalam bahasa Indonesia. Seperti frase besok malam, nanti siang, dan tadi malam.
Frase depan merupakan frase yang diawali oleh kata depan sebagai penanda, dan diikuti oleh kata yang berkategori benda (N), kerja (V), bilangan (bil), atau keterangan sebagai petanda. Seperti frase di wisma yang berpetanda benda, frase dengan sangat lincah yang berpetanda kerja, frase dari dua (kali) yang berpetanda bilangan, dan frase sejak kemarin malam yang berpetanda keterangan.

Sumber Pustaka :
Ramlan, M., 1981, Sintaksis, Yogyakarta : UP Karyono

Klausa Bahasa Indonesia

Klausa Bahasa Indonesia
1.        Pengertian klausa dan perbedaan dengan kalimat
Dalam tataran sintaksis Bahasa Indonesia, klausa merupakan salah satu dari satuan-satuan milik Sintaksis selain kata, frase, kalimat, dan wacana. Maka dari itu klausa haruslah didapati sebagai sebuah bagian yang tidak boleh ditanggalkan dari sistem sintaksis ini sebagai satuannya. Dalam Bahasa Indonesia, terdapat klausa-klausa yang tentu menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena bentuknya hampir sama dengan kalimat pada umumnya.
Definisi klausa menurut M. Ramlan merupakan satuan gramatik yang terdiri dari unsur predikat saja, lalu disertai dengan fungsi subjek, objek, pelengkap, dan keterangan ataupun tidak. Sehingga fungsi-fungsi selain predikat boleh hadir atau boleh tidak. Sedangkan menurut Abdul Chaer, klausa merupakan satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkontruksi predikat. Artinya, di dalam kontruksi itu ada komponen berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Sehingga dapat disimpulkan klausa sebagai satuan gramatik dalam sintaksis yang berkewajiban mempunyai fungsi predikat sebagai unsurnya.
Untuk membedakan klausa dengan kalimat dengan mencontohkan pada kumpulan kata-kata seperti ini: Andi bermain. Dalam kontruksi tersebut, syarat menjadi klausa telah terpenuhi dengan adanya fungsi predikat sebagai syarat mutlak serta hadirnya fungsi subjek. Klausa tersebut dapat berubah menjadi kalimat dengan menambahkan tanda final berupa tanda (.), (?), (!). Jika kalimat tersebut tanpa tanda-tanda seperti itu, maka masih disebut sebagai klausa.
2.        Analisis klausa berdasarkan kategori fungsi dan makna
Seperti yang diuraikan di atas, klausa terdapat fungsi wajib dan fungsi tidak wajib. Fungsi wajib yaitu fungsi predikat sebagai pernyataan mengenai yang ingin diutarakan atau mengenai subjek. Sedangkan fungsi tidak wajib adalah subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Subjek  sendiri adalah fungsi yang menjadi hal yang ingin dikatakan oleh oleh penulis. Seperti klausa Ayah makan, Ayah menjadi subjek karena merupakan hal yang ingin dikatakan, dan makan merupakan predikat karena berisi pernyataan mengenai subjek. Objek sendiri akan bersifat wajib hadir jika fungsi predikatnya berupa predikat transitif seperti Irfan memakan buah apel. Selanjunya fungsi pelengkap sebagai fungsi yang melengkapi klausa yang berpredikat intransitif seperti Irfan bersenjata senapan MK-41. Sedangkan untuk fungsi keterangan berfungsi sebagai memberi informasi tambahan dalam klausa itu sendiri berupa waktu atau tempat seperti: Malam ini Irfan tidak bisa tidur.
Fungsi-fungsi klausa tersebut jika dikategorikan secara golongan kata, maka menghasilkan analisis seperti berikut. Fungsi predikat terdapat beberapa golongan yaitu kata benda (N), kata kerja (V), dan kata numeralia (Bil). Contoh untuk fungsi predikat bergolongan kata benda yaitu: Batu itu adalah batu Zamrud. Contoh untuk fungsi predikat bergolongan kata kerja yaitu: Irfan sedang meminta uang. Contoh untuk fungsi predikat bergolongan kata numeralia yaitu: Teman-temannya ada tujuh orang. Fungsi subjek hanya terdapat golongan kata benda (N) seperti : Irfan pergi berkerja dan Tiga wanita itu mendapatkan perhiasan. Selanjutnya fungsi objek juga hanya terdapat golongan kata benda (N) seperti : Irfan membeli buku Kewarganegaraan dan Anak-anak itu memberikan ibunya sebuah pakaian. Fungsi pelengkap terdapat tiga golongan kata yaitu kata benda (N), kata kerja (V), dan kata numeralia (Bil). Contoh untuk fungsi pelengkap bergolongan kata benda yaitu: Orang itu berkalung emas. Contoh untuk fungsi pelengkap bergolongan kata kerja yaitu: Irfan sedang belajar berhitung. Contoh untuk fungsi pelengkap bergolongan kata numeralia yaitu: Teman-temannya berkurang satu orang. Selanjutnya fungsi keterangan terdapat beberapa golongan kata yaitu kata keterangan (ket), frase depan (FD), kata benda (N), dan kata kerja (V). Contoh untuk fungsi keterangan bergolongan kata benda yaitu: Bulan yang akan datang Irfan akan pulang. Contoh untuk fungsi keterangan bergolongan kata kerja yaitu: Irfan berjalan tersandung-sandung. Contoh untuk fungsi keterangan bergolongan kata frase depan yaitu: Komeng dan Sule mengangkat sepeda motor itu secara bersama-sama. Contoh untuk fungsi keterangan bergolongan kata keterangan yaitu: Inggris akan segera datang besok sore.
Selanjutnya fungsi-fungsi tersebut dianalisis berdasarkan maknanya maka menghasilkan analisis sebagai berikut. Fungsi predikat mempunyai beberapa makna seperti tindakan, keadaan, pengenal, dan jumlah. Fungsi predikat bermakna tindakan seperti: Rondo mengerjakan soal bahasa Inggris. Fungsi predikat bermakna keadaan seperti: Kuliah kemarin sangat menyenangkan. Fungsi predikat bermakna pengenal seperti: Bapak dosen itu adalah Dekan Fakultas Kedokteran. Fungsi predikat bermakna jumlah seperti : Mobil Basuki ada tiga. Untuk fungsi subjek, terdapat enam makna yaitu pelaku, alat yang digunakan, sebab, pengalam, dikenal melalui tanda pengenal, dan yang dikenai jumlah. Fungsi subjek bermakna ‘pelaku’ seperti : Nurdin mengebom hotel J.W Marriot. Fungsi subjek bermakna ‘alat yang digunakan’ seperti : Becak itu mengangkut barang bawaan nenek. Fungsi subjek bermakna ‘sebab’ seperti : Kebakaran kertas ini menyebabkan terbakarnya rumah itu. Fungsi subjek bermakna ‘pengalam’ seperti : Pesawat Lion Air terjatuh saat mendarat di Bandara Selaparang. Fungsi subjek bermakna ‘dikenal melalui tanda pengenal’ seperti : Pemuda itu dikenal sebagai pemuda yang baik. Fungsi subjek bermakna ‘yang dikenai jumlah’ seperti : Pintu kamar itu dua. Selanjutnya fungsi objek terdapat lima macam makna  yaitu menderita akibat tindakan, penerima tindakan, tempat, alat yang digunakan, dan hasil tindakan tersebut. Fungsi objek bermakna ‘menderita akibat tindakan’ seperti : Irfan memotong rumput di depan rumahnya. Fungsi objek bermakna ‘penerima tindakan’ seperti : Bapak Walikota menghadiahi Sudin uang. Fungsi objek bermakna ‘tempat’ seperti : Irfan baru ini mengunjungi rumah neneknya. Fungsi objek bermakna ‘alat yang digunakan’ seperti : Nurdin menggunakan bom untuk meledakkan Tunjungan Plaza. Fungsi objek bermakna ‘hasil tindakan tersebut’ seperti : Mahasiswa Sastra Indonesia menulis antologi puisi berjudul ‘Detik-detik Kematian’.
Untuk fungsi pelengkap terdapat dua makna yaitu sebagai yang dikenai akibat tindakan predikat dan alat yang digunakan. Fungsi pelengkap yang bermakna ‘yang dikeani akibat tindakan predikat’ seperti : Setiap malam Dina bermimpikan seorang pangeran. Fungsi pelengkap yang bermakna ‘alat yang digunakan’ seperti : Rumah Unyit beratapkan jerami. Selanjutnya fungsi keterangan terdapat sepuluh jenis makna yaitu tempat, waktu, cara, penerima faedah, peserta yang ikut, alat yang dipakai, sebab, frekuensi tindakan, perbandingan, dan perkecualian. Fungsi keterangan yang bermakna ‘tempat’ seperti: Ali bertemu dengan Saskia di depan rumah Andi. Fungsi keterangan yang bermakna ‘waktu’ seperti : Dini hari tadi Irfan pergi menemui Nyoman. Fungsi keterangan yang bermakna ‘cara’ seperti: Pemain itu menendang bola dengan kerasnya. Fungsi keterangan yang bermakna ‘penerima faedah’ seperti : Quinn memberikan uang kepada Foe. Fungsi keterangan yang bermakna ‘peserta yang ikut’ seperti : Tuti menyanyikan lagu kenangan dengan Titi DJ. Fungsi keterangan yang bermakna ‘alat yang dipakai’ seperti : Nenek menjahit baju itu dengan jarum yang telah karatan. Fungsi keterangan yang bermakna ‘sebab’ seperti : Adam menangis ketakutan karena melihat ayahnya membawa pisau berdarah. Fungsi keterangan yang bermakna ‘frekuensi tindakan’ seperti : Mony memukul Tina sebanyak empat-lima kali. Fungsi keterangan yang bermakna ‘perbandingan’ seperti: Makanan ini sangat enak seperti masakan luar negeri. Fungsi keterangan bermakna ‘perkecualian’ seperti : Semua mahasiswa mendapat pakaian terkecuali Irfan.
3.        Jenis-jenis klausa
Berdasarkan struktur internnya, klausa dapat dibedakan menjadi klausa lengkap dan klausa tidak lengkap. Hal ini berdasar pada ada-tidaknya fungsi subjek, dan karena hal ini peran subjek merupakan terpenting kedua setelah fungsi predikat sebagai syarat mutlak adanya suatu klausa. Klausa lengkap terdiri sedikitnya yaitu fungsi predikat dan subjek seperti: Badan orang itu sangat besar. Sedangkan klausa tidak lengkap terdiri sedikitnya fungsi predikat saja, berikut ditemani oleh fungsi-fungsi lainnya seperti objek, pelengkap, dan keterangan, seperti: membaca komik; bermain api; dan pergi ke sekolah.
Berdasarkan kategori kata atau frase yang menduduki fungsi predikat, klausa dapat dibagi menjadi klausa nominal, klausa verbal, klausa bilangan, klausa adjektifal, klausa adverbial, dan  klausa preposisional. Klausa nominal adalah klausa yang berpredikat terdiri kata atau frase nominal seperti : Orang-orang itu adalah mahasiswa tahun lalu. Klausa verbal adalah klausa yang berpredikat terdiri kata atau frase verbal seperti : Deny mendaki Gunung Semeru bulan kemarin. Klausa bilangan adalah klausa yang berpredikat numeralia atau bilangan seperti : Rumah Bapak Siswanto itu tiga unit. Klausa  adjektifal yaitu klausa yang berpredikat kata adjektifal seperti : Hari ini gadis kecil itu rapi sekali. Klausa adverbial yaitu klausa yang berpredikat kata adverbia seperti : hidupnya sangat menderita. Klausa preposisional yaitu klausa yang berpredikat kata depan atau frase depan seperti : adik di depan rumah.

Daftar Pustaka :
Ramlan, M. 1981. Sintaksis. Yogyakarta : UP Karyono
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta

Postkolonialis cerpen Sinai

Postkolonialis pada cerpen Sinai (modernitas dan hak kuasa).
Dalam cerpen ini, postkolonialisme terlihat berdasarkan modernitas yang ada dan menjadi simbol serta ciri khas cerpen ini. Pengaruh budaya yang diberikan oleh negara penyebar budaya ini teraplikasi dalam kehidupan modern yang tampak dalam arus cerita ini. Tentu hal ini menjadi tepat pada saatnya, karena modernitas benar-benar merupakan alat yang tepat untuk melangsungkan panjajahan pikiran serta budaya sosial masyarakat. Karena juga memang tidak terlihat nyata bentuk penjajahan era modern serta terlepas dari kolonilaisme.
Kehidupan Sinai merupakan contoh konkret dari penerapan modernitas yang bersumbu pada postkolonialisme. Kehidupan modern ala Sinai menjadi suatu daya tarik tersendiri karena modernitas yang dianut benar-benar merupakan kehidupan mewah dunia barat serta kegemerlapan malam yang menghibur. Ciri orang dan kehidupan yang modern mungkin identik dengan individualis, pergaulan bebas, dan sarat akan industrialisasi yang tentu merupakan produk barat. Maka pergaulan bebas menjadi pijakan atas awal penceritaan cerpen ini. Pergi ke diskotek merupakan kegiatan yang tentu merupakan tidak berfaedah dalam kehidupan sosial serta budaya masyarakat, tetapi hal itu tentu ditentang oleh pihak barat. Karena pihak barat memang menginginkan kehidupan bebas tanpa ada peraturan yang mengikat seperti norma-norma yang ada dalam kehidupan timur.
Gaya hidup hedonis merupakan akibat dari modernitas yang berkembang di lapisan masyarakat. Masyarakat yang tertinggal akan semakin tertinggal dengan adanya modernitas ini, dan masyarakat yang maju tentu akan semakin maju. Adanya alat musik seperti DJ pada cerpen itu, cukup mengidentifikasikan bahwa teknologi modern berada satu paket dalam modernisme dengan gejalanya yaitu industrialisasi serta globalisasi. Tempat diskotek itu dulu merupakan bangunan gereja tua yang seharusnya tetap menjadi tempat suci bagi umat kristiani dan dijaga kesakralannya. Tidak seperti cerita itu yang malah dijadikan diskotek sebagai tempat dosa-dosa yang bertemu dan bertukar pikiran.
Sinai merupakan nama suatu gunung yang disucikan atau dikuduskan menurut kitab Injil. Dalam cerita itu diceritakan bahwa ayah Sinai memberi nama Sinai kepadanya agar selalu terlihat suci dan tidak sembarangan disentuh oleh banyak orang seperti gunung Sinai yang memang dilarang untuk dinaiki siapapun terkecuali jika pada hari kiamat telah tiba. Maka dari itu, Sinai seharusnya tetap suci dan tetap menghormati nama yang diberikan oleh ayahnya. Tetapi tidak, dia melanggar itu semua setelah ayahya meninggal serta memilih malam sebagai kehidupannya.
‘Hak kuasa atas’ terlihat dalam cerpen ini, sehingga bergeneralisasi pada hak kuasa atas perempuan oleh laki-laki. Tentu hal ini berkaitan erat dengan budaya patriarkhi dimana laki-laki memegang hak kuasa atas perempuan termasuk hidup-matinya. Hal ini gampang terlihat ketika sosok tukang cerita “aku” ini merupakan berjenis kelamin laki-laki dan tengah menceritakan kepada kita tentang kehidupan perempuan yang bernama Sinai.
‘Hak kuasa atas’ ini mulai terlihat ketika “aku” ini mendeskripsikan tentang pakaian dan aksesoris yang digunakan serta menebak kemana akan pergi Sinai pada hari jumat malam. Hal ini menandakan berarti “aku” seolah-olah mengetahui segalanya tentang Sinai dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya dalam cerita itu, ketika Sinai dengan lelaki di diskotek sedang melakukan hal dosa. Diawali dengan “Yang kini bergerak hanya kedua tangan lelaki itu yang menjelajahi tubuh Sinai”. Tentu hal ini juga menandakan bahwa kaum laki-laki memegang hak kuasa atas tubuh perempuan.
Selanjutnya, ketika ayahnya tidak mengabulkan permintaan Sinai untuk berganti nama dan memberi Sinai batasan jam malam serta mengharuskan Sinai membaca Injil setiap jam 6 sore. Hal itu juga merupakan pertanda bahwa sosok ayah yang merupakan laki-laki berhak penuh atas hidup Sinai yang berkelamin perempuan. Sang ayah menentukan hidup Sinai, seharusnya sang ayah tidak seperti itu dan membiarkan Sinai memilih jalan hidupnya toh pada akhirnya Sinai memang melanggar semua apa yang dilarang dan diperintahkan ayahnya. Melompat pada akhir cerita itu ketika Sinai dibunuh oleh “aku”. Hal ini lagi-lagi mengidentikan bahwa laki-laki memegang peranan penting atas hidup-mati seorang perempuan seperti halnya budaya patriarkhi ketika “aku” membunuh Sinai dengan alasan mengkuduskan kembali Sinai.