Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Sabtu, 02 Juli 2011

Resepsi Cala Ibi

BAB I
PENDAHULUAN
Pergeseran minat dari strukturalisme ke arah tanggapan pembaca yang kita sebut sebagai teori resepsi berawal dari teori Mukarovsky terhadap karya sastra berpangkal pada aliran formalis sebagai tanda untuk memahami karya sastra sebagai realisasi fungsi bahasa. Tahap awal yang Mukarovsky lakukan adalah mulai menekankan fungsi seni sebagai tanda fakta sosial supra-individual yang mengadakan komunikasi.
Perkembangan pikiran Mukarovsky ini cukup berat konsekuensinya. Pembaca sebagai subyek tak kurang pentingnya dalam fungsi semiotik karya sastra daripada strukturnya. Dalam pendekatan Mukarovsky ini pengalaman estetik justru ditentukan oleh tegangan antara struktur karya sastra sebagai tanda dan subyektivitas pembaca, yang bukan subyektivitas mutlak, tetapi subyektivitas yang tergantung pada lingkungan sosial dan kedudukan sejarah penanggap. Hubungan ini berkaitan dengan munculnya pencipta karya sastra yang sebelumnya sedikit sekali mendapat perhatian dalam strukturalisme Praha. Demikianlah Mukarovsky meletakkan pandangan untuk estetik sastra dalam model semiotik di mana ada pandangan dinamik dan tegangan yang terus-menerus antara empat faktor : pencipta, karya, pembaca, serta kenyataan yang semua itu disebut struktural dinamik.
Pemikiran Mukarovsky dikonkritkan oleh muridnya yaitu Felix Vodicka. Teori yang diusung Vodicka adalah mengenai konkretisasi karya seni. Pemikiran ini berawal dari pemikiran Roman Ingarden yang memaparkan bahwa karya sastra mempunyai struktur yang obyektif, yang tidak terikat pada tanggapan pembaca, dan yang nilai estetiknya tidak tergantung pada norma-norma estetik pembaca pada masanya. Sebetulnya kebebasan pembaca dalam mengartikulasikan karya sastra diserahkan sepenuhnya pada pembaca itu sendiri. Tetapi dalam visi Ingarden kebebasan pembaca terbatas, dibatasi oleh struktur karya seni yang mengikatnya secara obyektif dan yang juga menentikan kemungkinan dan batas penilaian estetik.
Menurut Thomas Aquino, segala sesuatu yang diterima, diterima menurut cara si penerima. Hal itu yang menjadi dasar bahwa penerimaan tujuan dalam suatu karya sastra yang sebenarnya dibuat oleh penciptanya dan ditujukan ke arah penerimanya seharusnya diterima oleh penerima menurut caranya sendiri dalam mengartikulasikan karya sastra yang hadir di depannya.
Seorang dengan orang yang lain itu akan berbeda dalam menanggapi sebuah karya sastra. Begitu juga tiap periode itu berbeda dengan periode lain dalam menanggapi sebuah karya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Cakrawala harapan itu adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Seorang pembaca tentu mempunyai konsep atau pengertian tertentu mengenai sebuah karya sastra meliputi sajak, cerpen, maupun novel. Sehingga seorang pembaca itu mengharapkan bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian yang dimilikinya.
Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seorang dengan orang lain itu mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan periode lainnya. Perbedaaan itu disebut perbedaan cakrawala harapan. Cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi periode. Menurut Rian T. Segers, cakrawala harapan ditentukan oleh tiga kriteria. Pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Di samping adanya perbedaan cakrawala harapan itu, meskipun pembaca itu menentukan makna karya sastra, tetapi tidak dapat diingkari bahwa dalam karya sastra itu ada tempat-tempat terbuka yang mengharuskan para pembaca untuk mengisinya. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra sendiri yang mengandung kemungkinan banyak tafsir. Karya sastra itu merupakan penjelmaan ekspresi yang padat, maka hal-hal yang kecil-kecil tak disebutkan, begitu juga hal-hal yang tak langsung berhubungan dengan cerita atau masalah. Dengan demikian, diharapkan setiap pembaca mengisi kekosongan tersebut.
Maka dari pengertian di atas kami mengambil cerita tentang novel Cala’ ibi, karya Nukila Amal ini yang diciptakan pada tahun 2004 menceritakan tentang wanita yang tak lepas dari kodratnya pastilah membutuhkan seorang lelaki untuk mendampingi hidupnya dan menjadi pemimpin dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Cala Ibi adalah yang menggabungkan ketiga fase feminin, feminis, dan female dalam proses memaknai diri dari tokoh utamanya, Maya Amanita. Hal itu tentu banyak mengundang resepsi-resepsi dari pihak akademisi sastra/nonsastra maupun para sastrawan.
BAB II
PEMBAHASAN
Seni tidak memberikan sesuatu pengetahuan dalam pengertian yang terbatas kepada kita. Karenanya, seni tidak menggantikan pengetahuan, namun apa yang diberikan seni adalah terpeliharanya hubungan khusus tertentu dengan pengetahuan. Hubungan ini bukan sejenis identitas melainkan sejenis perbedaan. Keistimewaan seni adalah membuat kita melihat (nous donner a voir), membuat kita mencerapi, dan membuat kita merasakan suatu hal yang bersinggungan dengan realitas.
Cala Ibi adalah sebuah pembacaan postruktural. Narasi postruktual adalah narasi yang memiliki nilai seni yang bersifat kreatif dan selalu lahir kembali sehingga melampaui ruang dan waktu pembuatannya.
Novel Cala Ibi merupakan terobosan baru yang mutlak harus dicatat dalam khazanah sastra Indonesia. Tokoh naga bernama Cala Ibi, Maia yang berkelana dalam dunia surealis, perempuan bernama Tepi, serta laki-laki berseragam bernama Ujung layaknya titik perhentian karena gerak masa lalu dan masa depan, membaca kisah tersebut mengajak pembaca masuk pada titik yang mengandung dua gerak: diferensialitas dan referensialitas. Esensi manusia bertempat dalam menyatunya narasi dan waktu, dengan demikian akan sekaligus memperhitungkan diferensialitas serta referensialitas.
Ada yang beranggapan Cala Ibi adalah sebuah pembacaan dimana eksistensi manusia adalah sekaligus teks dan waktu. Manusia sebagai entitas yang menarasi, dan melalui narasi tersebut sekaligus membangun eksistensi. Derrida mengatakan tak ada apa-apa di luar teks, untuk itu disimpulkan tak ada manusia yang ada di luar narasi. Pertaruhan manusia adalah antara menjadikan narasinya sekedar karya picisan yang memiliki keindahan karya seni yang melampaui ada dan waktu.
Membaca teks tidak sama dengan membaca buku, koran, dan sebagainya. Membaca teks merupakan interpretasi terhadap apa saja karena apa saja yang dapat diinterpretasikan dapat dibaca dan apapun yang dapat dibaca adalah teks.
Absurditas perjalanan hidup manusia yang diisyaratkan dalam Cala Ibi mengandung narasi yang menarik yang akan ditemukan jika pembaca melakukan pembacaan mendalam, dimana narasi tersebut mengajak pembaca untuk melampaui absurditas sehingga novel tersebut memiliki nilai lebih dari sekedar silang-sengkarut fantasi yang dibalut surealisme dalam Cala Ibi.
Kisah yang ditulis dalam bentuk novel Cala Ibi tersebut dapat membantu pembaca untuk merenungkan siapa dirinya yang kemudian mencoba menemukan energi minimalnya. Suatu peran hidup yang sejalan dengan dikaiosyne dan arĂȘte yang dimilikinya, tentu saja ini bisa terjadi ketika ada suatu pembacaan yang mendalam terhadap kisah tersebut dan memang kisah itu mempunyai suatu kedalaman makna yang bisa diraih oleh pembacanya.
Karya tersebut merupakan contoh bagaimana seorang penulis mengangkat suatu proposisi teoritis ke dalam tulisan fiksinya melalui tokoh Maia sebagai gendered subject. Tak lepas dari tanggapan orang-orang ternama yang meresepsi teks tersebut, berikut akan dipaparkan agar khalayak mengetahui tentang resepsi para tokoh terhadap novel Cala Ibi.
Beberapa komentar atas novel ini yaitu :
Menurut Bambang Sugiharto. Sebuah novel yang memperkarakan hakikat nama, peristiwa, dan cerita, maya dan nyata, diri dan ilusi, tapi juga memperkarakan kodrat kata dan bahasa itu sendiri. Bahasa, setelah dieksplorasi dan dirayakan. Ujung-ujungnya ia kembalikan pada ketidakterbentukan kenyataan, pada kesunyian, pada kekaguman: mistisisme linguistik. Novel ini adalah salah satu puncak sastra Indonesia Mutakhir.
Menurut Goenawan Mohamad. Apa yang pernah saya katakan beberapa belas tahun yang lalu tak berlaku lagi: sastra Indonesia kini terbangun dari bahasa yang bergairah menjelajah ke dalam alam benda kongkrit, dunia yang jauh maupun intim. Kita berjumpa dengan prosa yang menebarkan metafor yang tak disangka-sangka. Kita memasuki avontur yang penuh arti. Cala Ibi adalah salah satu puncak tren ini.
Menurut Nirwan Dewanto. “Cala Ibi adalah pelaksanaan semacam gagasan matematis, misalnya saja pencerminan dan penggandaan, ke dalam bentuk sastra, dan hanya dalam bentuk inilah gagasan itu kita hayati. Rupanya, hanya pembaca yang mau memperbaharui cara bacanya yang bisa menikmati permainan Nukila.”
Menurut Budi Darma. “Sebuah novel dengan ramuan berbagai gaya penulisan. Mimpi dipuja, realitas ditabrak, realisme digempur, dan sebagai konsekuensinya – filsafat eksistensialisme pun harus diusung masuk”.
Menurut Manneke Budiman. “Cala ibi aktif secara terus menerus melakukan invalidasi atas apapun yang mungkin dikatakan tentang dirinya. Kata-katanya bertutur tentang dirinya sendiri, tentang sastra atau lebih tepatnya, bagaimana sebuah karya mesti dibaca”.
Menurut Melani Budianto. “Teks novel yang meta-narasi di dalamnya ada penulisan, pembacaan, sekaligus proses narasi atau penceritaan. Diperlukan generasi yang berbeda dari generasi saya untuk menulis karakter seperti ini. Sebuah generasi yang banyak pilihan, tapi tidak kehilangan cantolan pada kenyataan generasi yang sangat rileks, kadang bisa serius, tapi juga bermain-main.”
Menurut Sapardi Djoko Damano. “Untuk orang-orang yang menikmati cara pengungkapan. Itulah kekuatan novel ini. Kalau ditanya ceritanya apa, saya akan kelabakan.”
Menurut St Sunardi. “Dari lingkungan filsafat bahasa, sumbangan Cala Ibi tidak bisa diragukan lagi. Dari lingkungan sastra, teks ini bisa menjadi kontroversial di mana tradisi realisme begitu kuat. Terlepas apakah orang akan menerima teks semacam ini atau tidak, saya melihat munculnya teks ini bisa menjadi pemacu munculnya novel des idee di Indonesia.”
Dari kedelapan komentar tersebut dapat ditarik garis tengah yaitu bahasa memegang peranan penting dalam novel ini. Peran bahasa sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca sangat berpengaruh, sehingga pembaca harus mampu menelanjangi teks ini berdasarkan pengalaman pribadi pembaca yang tentu saja pernah merasakan mimpi dan membedakan antara mimpi dan kenyataan. Semua itu dibungkus oleh tataran linguistik yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Sehingga karya ini mempunyai kecendrungan untuk berfilosofis dalam bersastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar