Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Sabtu, 02 Juli 2011

Pendekontruksian Puisi ‘Pengakuan Pariyem’ dengan Prosa lirik ’Teori Probabiliti Tukini’

Dekontruksi mencoba mendobrak pakem-pakem kehidupan yang dirasa terlihat ganjil pada suatu karya sastra. Mencoba memperlihatkan hal-hal yang bisa saja terjadi selanjutnya dan secara merta membuka hal-hal yang disembuyikan pada suatu karya. Baiknya suatu karya didekontruksi dengan karya tandingan yang berisikan semacam genre cerita yang berbeda tapi tetap pada tipe cerita yang sama.
Dari uraian di atas, saya dapat kemukakan tentang terjadinya proses dekontruksi pada puisi ‘Pengakuan Pariyem’ oleh prosa lirik ‘Teori Probabiliti Tukini’. Suatu karya seperti ‘Pengakuan Pariyem’ didekontruksi dengan karya tandingan yang berisikan semacam genre cerita yang berbeda tapi tetap pada tipe cerita yang sama seperti ‘Teori Probabiliti Tukini’. Kedua tokoh perempuan yang utama adalah Pariyem dan Tukini. Secara kesamaan isi cerita, kedua tokoh ini pada masing-masing cerita sama-sama merupakan seorang pembantu yang hamil karena perbuatan majikannya.
Tukini pada cerita puisi tersebut mencoba mendobrak pakem-pakem kehidupan yang dirasa terlihat ganjil pada cerita Pariyem. Pariyem yang merupakan seorang jawa tulen dan berusaha memenuhi hidupnya dengan cara serta aturan menurut Jawa. Setelah dia tahu bahwa dirinya tengah hamil, dan itu akibat perbuatan dari majikannya dia tidak sebegitunya saja menuntut pertanggungjawaban majikannya. Dia terlihat pasrah karena mungkin menurut aturan jawa, dia yang seorang pembantu tidak pantas bersanding dengan majikannya apalagi naik ranjang bahkan hamil. Hal ini juga terjadi pada Tukini di ceritanya, dia juga mengalami kejadian yang sama dengan apa yang dialami oleh Pariyem, namun dia tidak mau pasrah dengan yang terjadi pada dirinya. Dia mencoba bangkit dari keterpurukannya dan berusaha menemukan pencerahan dalam hidupnya yang terasa ditindas oleh aturan hirarki.
Dimana hirarkhi ini di dalamnya terdapat falogosentrisme juga. Falogosentrisme yang saya maksud adalah saat perempuan seperti Pariyem dan Tukini harus pasrah dengan yang terjadi pada dirinya akibat perbuatan laki-laki seperti para majikannya. Karena laki-laki pada hakikatnya memegang kuasa atas perempuan dan berdasarkan wacana yang terlihat di kehidupan bahwa perempuan yang disimbolkan sebagai Hawa tercipta dari tulang rusuk laki-laki yang disimbolkan oleh Adam. Ditambahkan pula dengan aturan Jawa yang menolak adanya perkawinan antara seorang pembantu seperti Tukini dan Pariyem dengan para majikannya. Hal itu yang dicoba oleh Tukini untuk digugat dalam ceritanya. Meskipun Tukini terlihat ragu-ragu alias pesimis akan kebahagiaan hidupnya pada awalnya. Tetapi setidaknya kemudian Tukini berpikir dengan kepasrahan dan keraguannya pada nasib kehamilannya. Karena kehamilannya yang terlarang, ia memikirkan nasib dirinya dan bayi yang dikandungnya. Terdapat suatu proses berpikir untuk bangkit pada Tukini yang tidak dipikirkan oleh Pariyem.
”E. Lhadalah
Begini to rupanya rumusan nasib manusia
B= f.k (i)X(b)
             (k)
Bahagia adalah fungsi dari kelakuan kita, iman kali berkat
Tuhan, dibagi kemungkinan kesengsaraan kita
Alhamdulillah! Aku pasti lebih bahagia daripada Liz si bule!
Tukini pun berjingkrak-jingkrak berkendangkan perut gendutnya
Ketika kemudian ia ingat bahwa ia mesti mensyukuri keberuntungannya”

Kutipan di atas merupakan cuplikan cerita dari ‘Teori Probabiliti Tukini’ yang mengindikasikan bahwa setelah Tukini terlihat ragu dengan nasib anaknya mencoba bangkit dengan menemukan rumus bagaimana memperoleh hidup yang bahagia. Yaitu bahagia tercipta jika iman manusia dikalikan dengan berkat yang diberi Tuhan lalu dibagi dengan kemungkinan kesengsaraan yang ada di hidup.
Hal itu berbeda dengan yang terjadi pada Pariyem yang cenderung pasrah meskipun anaknya diakui sebagai anak majikannya. Sedangkan Tukini lebih berusaha untuk bangkit dan memperoleh kebahagiaan hidupnya dengan anaknya serta mengandalkan keberuntungan yang diperoleh dalam hidup. Maka secara tak sadar Tukini memperjuangkan feminisme dengan mencoba berbahagia saat dia harus mengandung anak dari majikannya (laki-laki yang menindas). Terlihat Tukini ingin bebas dari falogosentrisme yang selama ini mengakar dalam kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar