Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Selasa, 12 Juli 2011

Cerpen: TUHAN TELAH DATANG

TUHAN TELAH DATANG

Seminggu sudah sejak pemakaman Imron.
Amir sering mengetahui kakaknya pergi sendiri mengendarai motornya. Tentu tanpa arah kemana. Amir selalu bertanya-tanya dan mencoba mereka-reka penyebab mengapa kakaknya hanya berkutat pada motornya sendiri dan kebisuan menjadi kebiasaannya. Tidurpun selalu seolah dipaksakan olehnya, sedangkan Amir hanya menonton kebiasaan kakaknya ini. Pertanyaan yang sama selalu didengar oleh Imron.
“Siapa yang kau pikirkan? Atau aku harus mengganti pertanyaanku dengan mengapa engkau jadi pendiam seperti ini?” Tanya Amir.
“Dan kau masih pendiam seperti itu? Tidak capekkah kau diam seperti ini?” Lanjut Amir.
“Banyak orang tidak mengertiku. Engkau salah satunya. Aku diam bukan berarti ku menunggu sebongkah emas, tetapi aku harus memutar otak mencari jawaban atas pertanyaan kalian kemanakan dua teman akrabku.” Jawab Imron.
“Tuhan masih ku-sebut padamu untuk kesekian kalinya dengan kata Ar-Rahman.” Balas Amir.
Imron hanya terdiam. Dia lebih memilih untuk menutup pintu kamarnya dan memandang kosong ke arah tembok. Tanpa memperdulikan sekitarnya, serangga yang menggigitnya atau jendela yang masih terbuka dan membiarkan angin masuk menghempas gorden tipis kamarnya. Pikirannya tak henti-hentinya berputar kemana pergi teman-temannya. Dia hanya mengetahui terakhir bahwa teman-temannya tersenyum sambil menggoyangkan telapak tangan mereka seolah membiarkan dirinya diseret oleh Amir dan beberapa orang.
Masih terbayang dipikiran Imron ketika dia dan dua temannya bercandatawa sebelum dirinya diseret paksa oleh adik dan beberapa teman adiknya. Mereka bertiga menertawakan tentang rencana Tuhan yang akan didatangkan oleh salahsatu temannya.
“Sebaiknya kau persiapkan dengan matang Gufron rencanaku ini.” Kata Fath.
“Hahahaha... Adakalanya kau mencari karpet merah yang sangat bersih untuk kedatangannya Fath.” Timpal Gufron sambil tertawa.
“Tidak usah kau menertawakan hal ini. Kalian akan kaget melihat dia akan datang di depan kita dan berbicara mengenai buat apa kehidupan yang dia ciptakan ini.” Balas Fath.
Gufron membalasnya jika dia tidak bermaksud meragukan niatnya untuk mendatangkan Tuhan karena Gufron sendiri ingin bertanya mengenai rahasia membuat dunia serta menetukan dosa atau tidaknya sesuatu. Imron kemudian mencoba meyakinkan Fath mengenai hal itu. Terus menyampaikan jika adiknya pernah berkata jika ingin bertemu dengannya kita harus mencapai pada tahap penyucian diri hingga meninggalkan dunia fana ini.
Mereka bertiga menggunjingkan Tuhan seolah seorang makhluk biasa yang bisa diajak bertemu kapanpun dengan siapapun tanpa memerdulikan tingkat keimanan yang dimiliki oleh manusia yang akan menemuiNya.
Ternyata Amir secara diam-diam mendengarkan kakaknya berbicara aneh tentang itu dari balik pintu. Amir merasakan ada keganjilan dengan kakaknya yang berbicara mengenai Tuhan dan mencoba mereka-reka dengan siapa dia berbicara seperti itu. Tidak sepantasnya dia menggunjingkan Tuhan dengan tertawa-tawa seperti itu. Hingga Amir merasa harus bertemu dengan saudaranya dan bertanya tentang hal itu. Dia mulai mengetuk pintu kamar Imron dan memecah pembicaraan antara mereka bertiga. Imron pun keluar dan mencoba menanyakan perihal mengapa pintu kamarnya diketuk kepada Amir.
“Ada apa Mir? Kau coba hancurkan pintu kamarku ini?” Tanya Imron.
“Kau berbicara tentang apa? Dan siapa yang menelponmu untuk membicarakan masalah itu?” Tanya kembali Amir.
“Buat apa kau menyakan hal itu? Apa yang kubicarakan kau ingin menyebutnya dengan sebutan dosa?” balas Imron.
“Tidak. Bukan aku yang menyebutnya dosa, tapi Dia yang kau pergunjingkan yang akan menyebutmu sebgai pendosa.” Balas Amir.
Setelah berbicara itu, Amir pergi meninggalkannya dengan lambat agar mengetahui apa yang akan dibicarakan selanjutnya oleh kakaknya. Ternyata apa yang diharapakannya terjadi. Imron berkata-kata dan menertawakan adiknya karena menanyakan hal itu. Berbalik arahlah Amir kembali menguping dan mengintip kamar kakaknya. Dia menyaksikan Imron berbicara sendir tanpa memegang telepon selular dan menghadap dua kursi kosong yang ada di depan tempatnya duduk. Serontak istighfar yang keluar dari mulut Amir melihat fenomena seperti itu. Dia hanya terpana tak berdaya tubuhnya melihat kakakanya tertawa dengan kursi-kursi kosong di depannya. Dengan pelannya dia menutup pintu kamar kakaknya dan kembali dengan langkah perlahan menjauhi kamar itu.
Esoknya dia mencoba mengajak berbicara kakaknya dengan hati-hati agar tidak menggugah amarah sang kakak. Disiapkan secangkir teh hangat untuk kakaknya sebagai penghangat suasana pada pagi hari. Imron datang dengan wajah yang sumringah dan berjalan ke arah luar rumah untuk menhangatkan pada pagi hari dengan mentarinya. Amir memanggil Imron untuk meminum teh yang telah dibuatnya. Namun apa yang didengarnya dari Imron berupa pertanyaan yang membuat Amir untuk bertanya-tanya.
“Lho, kok hanya dua cangkir saja Mir? Lalu dua cangkir lainnya mana?” Tanya Imron.
“Dua cangkir lainnya buat siapa lagi mas? Kita dirumah ini hanya berdua saja, tidak lebih dan tidak kurang.” Jawab Amir.
“Ya jelas buat dua temanku, kan aku bilang dua cangkir berarti ada dua orang lagi. Apa kau keberatan dengan kehadiran dua temanku itu.” Balas Imron.
“Mereka tengah bersolek diri di kamar karena kita bertiga pagi-pagi ini ingin mencari udara segar di depan jalan.” Tambah Imron.
Rasa kaget Amir yang membuat dirinya untuk pergi berlari menjauhi kakaknya keluar rumah. Sang kakak hanya melihat keanehan yang tampak pada adiknya. Amir berlari kencang terus hingga sampai pada rumah Nyai Khalifa.
Sesampainya disana dia meminta pertolongan kepada Nyai Khalifa untuk menyembuhkan kakaknya yang sudah tidak sadar akan dunia ini. Amir menceritakan segala apa yang diketahuinya tentang perilaku Imron mulai dari kemarin malam hingga tadi pagi. Keanehan yang tampak saat Imron tertawa sendiri sesambil menggunjingkan Tuhan tak luput dari penceritaan Amir. Nyai Khalifa lalu memanggil dua orang temannya untuk membantunya.
******
Malam harinya, Amir ditemani Nyai Khalifa dan dua orang rekannya datang kembali untuk menyembuhkan Imron. Mereka berjalan perlahan-lahan memasuki rumah Amir karena Amir tahu kakaknya tengah berada di dalam kamar. Rumah tampak tidak tertata rapi. Terlihat di meja makan terdapat tiga piring yang berserakan. Salah satunya merupakan piring bekas Imron makan, sedangkan dua piring lainnya masih berisikan makanan penuh seperti tidak ada yang menyentuhnya untuk dimakan. Begitu juga terdapat tiga gelas dengan pola yang sama. Satu gelas habis dan dua lainnya masih berisikan air.
Mereka telah berada di balik pintu kamar Imron dan mendengarkan Imron berbicara sendiri. Padahal menurut Imron, dia tengah berdiskusi dengan teman-temannya tentang kedatangan Tuhan untuk dirinya.
“Apa adikku takut akan kedatangan Tuhan makanya dia tadi berlari?” tanya Imron.
“Mungkin ini hanya akumulasi emosinya saat dia menemukan kita tengah berbincang tentang kedatangan Tuhan.” Jawab Fath.
“Dia mungkin tidak pernah punya rencana besar seperti kita ini. Padahal yang kuketahui kalau adikmu sangat mengagungkan Tuhannya.” Lanjut Gufron.
“Sudahlah. Mungkin dia akan kembali sebentar lagi untuk makan malam. Saat dia makan malam nanti dia akan kuberitahu dan kuajak untuk bergabung dengan kita.” Lanjut Imron.
Lalu Amir sendiri masuk kamar Imron tanpa Nyai Khalifa dan teman-temannya. Imron kaget akan hal itu dan mencoba menenangkan dirinya dan berharap adiknya dapat bergabung dengan dia dan teman-temannya. Sebelumnya dia dikenalkan dahulu oleh Imron kepada teman-temannya. Amir hanya terdiam melihat kakaknya menunjukan dua kursi kosong tanpa ada yang duduk. Amir dengan cepatnya memeluk kakaknya dengan meneteskan air mata.
“Amir. Jangan kau menangis. Kenalkan teman-temanku yang sangat brilian ini. Mereka akan mendatangkan Tuhan yang kau sebut-sebut saat kau sehabis sholat. Betapa baiknya kita bertiga bukan.” Imron berucap.
Amir tetap menangis dalam pelukan kakaknya. Dia tidak menghiraukan omongan kakaknya yang telah melantur. Dia melihat sekeliling kamar kakaknya yang sangat berserakan dengan debu dan ketidakberaturan benda-benda milik kakaknya.
“Andai orangtua kita masih ada kak.” Ucap Amir.
“Oh. Kau sedang merindukan mereka. Mereka tengah bahagia Mir. Sekarang sambutlah teman-temanku ini. Mereka akan menemukan kau dengan Tuhan, bahkan mereka akan menemukanmu dengan orangtua kita lgi Mir.” Balas Imron.
“Kakak berbicara apa?” bentak Amir pada kakaknya.
“Kau sudah gila dan tidak waras!” tambah Amir.
“Teman-temanmu tidak ada! Mereka hanya khayalanmu! Sadarkah kau tengah gila? Tungkas Amir.
Serentak Imron mendorong tubuh Amir hingga terjatuh. Saat itu juga Nyai Khalifa serta teman-temannya datang untuk langsung menyergap Imron. Imron yang masih berontak seolah jatuh pingsan ketika Amir memukul leher belakangnya. Hal itu yang membuat Imron pingsan. Badan yang sempoyongan Imron diangkat oleh Amir dan dua teman Nyai Khalifa. Saat pingsan Imron sempat membuka matanya untuk meminta bantuan kepada dua temannya. Namun Fath dan Guffron hanya tersenyum kecut dan melambaikan tangan mereka seolah tanda berpisah.
Beberapa saat kemudian ketika Imron telah terbangun. Keadaan Imron masih lemah. Dia ditempatkan pada kamar Amir dalam keadaan tanpa cahaya serta jendela yang masih tertutup rapat. Dia merasakan nafasnya terengah-engah karena pengapnya ruangan di tempat itu. Dia melihat ke semua arah dan hanya menemukan gelap sebagai ujung penglihatannya. Namun dia sadar dimana dia berada. Dia lalu sempoyongan terbangun dan segera membuka pintu kamar itu. Akhirnya dia menemukan pagi dengan sinar matahari sebagai jawaban kegelapan yang ia temui tadi.
Imron melihat ke arah pintu luar depan rumahnya. Dengan mata masih agak mengantuk dan dahi mengkerut dia mendapatkan Amir di luar rumahnya yang sedang menatap balik ke arahnya. Imron lalu berlalu ke arah kamarnya dengan menyimpan dendam kepada adiknya atas yang dia lakukan tadi malam. Amir lalu mengikutinya langkahnya ke arah kamar Imron. Sesampainya disana ia hanya melihat sebuah kamar yang tidak berubah, namun hanya dia tidak melihat dua orang temannya lagi. Amir berdiri di ujung pintu dan mencoba menerangkan dengan kamarnya.
“Selamat terlahir kembali.” Ucap Amir.
“Bagaimana kau bisa meyakinkanku dengan ucapan terlahir kembali itu?” tanya Imron.
“Lihatlah kamarmu telah bersih tanpa debu sedikitpun dan..”
“dan telah bersih juga teman-temanku.” Imron memotong ucapan Amir.
“Kak. Sebelum itu kamarmu sangat kotor dan penuh debu, barang-barangmu berserakan dan memang tidak ada dua temanmu itu. Sehatkah kau sekarang.” Balas Amir.
“Intinya. Dua temanku kau kemanakan? Intinya apa masalahmu kepada kami?? Intinya kau telah membuatku mati! Intinya kau bukan dan bukan sama sekali saudaraku!!! Bentak Imron.
Dengan menangis Imron lalu duduk lemas dan tak bisa berbicara sedikitpun terhadap adiknya. Dia lalu meminta Amir untuk pergi dari kamarnya serta menutup pintunya. Pikirannya melintas kemana-mana mencari apa yang salah dan siapa yang salah. Dia mencoba keras pikirannnya untuk terbuka dan mencari penyebab ini semua. Teman-temannya hilang. Muncul beberapa opsi. Siapa yang membunuh mereka. Apakah Amir yang membunuh mereka. Apakah mereka sejatinya jahat karena tidak menolongnya pada peristiwa tadi malam. Atau apa mereka benar hanya khayalan saja. Lantas apa yang terjadi pada dirinya. Hingga emosinya memuncak dan berteriak keras lalu pingsan.
Ketika pagi datang, Imron telah bangun dan meminta Amir untuk menyiapkan sepeda motornya. Amir bertanya kemanakah ia akan pergi dan menawari untuk ditemani agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan padanya. Namun Imron menolak hal itu dengan suara lirih.
“Mengapa kau menolak ku temani kak?” tanya Amir.
“Aku cuma ingin mencari ketenangan batiniahku yang terletak pada mata-mata temanku.” Jawab Imron.
“Sholatlah kak. Biarkan Allah datang dengan keagungannya yang akan menenangkanmu.” Balas Amir.
Imron menghela nafas dan beralih ke depan rumah untuk segera pergi dan tidak tahu tanpa arah kemana ia akan pergi. Amir berulang kali untuk mengatakan ‘tetaplah di rumah dan tegakkan sholat’, namun Imron tetap melajukan motornya. Amir hanya mampu meneteskan air mata serta berdoa agar kakaknya kembali ke rumah dengan keadaan selamat.
Tentu Amir juga mendoakan agar kakaknya tidak kembali mempunyai teman khayalan. Amir berharap agar Imron tetap pada lindungan Allah dan berkiblat pada Islam sebagai agamanya. Berharap tidak menemukan kembali teman-teman khayalan kakaknya dimanapun. Entah di tempat yang haram maupun di tempat yang suci sekalipun.
Imron pulang pada petang hari. Dia datang dengan wajah cemberut dan tidak membawa apa-apa. Dia langsung masuk kamarnya sendiri tanpa menengok Amir yang berada di depan kamarnya. Amir mencoba mendekatkan dirinya ke kamar Imron yang telah tertutup rapat.
“Kak Imron. Kau dari mana saja? Apa yang telah kau dapat sampai petang seperti ini?” tanya Amir pada kakaknya.
“Kesepian batiniah. Teman-temanku hilang dan Tuhan tidak jadi datang!” bentak Imron.
“Tuhan selalu datang kepada umat yang memohonnya dengan tulus.” Balas Amir.
“Persetan denganmu. Aku tidak percaya dengan Tuhanmu itu.” Balas Imron.
Amir hanya menangis dan memohon kepada Allah agar mengampuni kakaknya.
Kejadian itu terulang lagi pada esok harinya terus berlanjut hingga enam hari kemudian.  Imron pergi melaju sepeda motornya dan datang kembali ke rumah pada petang hari, datang tidak makan, tidak menyentuh air untuk mandi dan tidak mengenal sholat lima waktu yang seharusnya dia lakukan untuk memperoleh ketenangan batiniah. Sementara Amir telah habis dayanya untuk mencegah kakaknya dan tidak menangisi lagi kakaknya, namun hanya merenung sendiri di kamar sesambil mendo’akan kakaknya.
Pada hari ke enam kebiasaannya, Imron datang tidak pada petang hari. Namun datang pada jam satu dinihari dengan ketakutan luar biasa di rumahnya. Dia langsung masuk kamar dengan ekspresi ketakutan seolah habis melihat pembunuh. Sejenak dia masuk, dia keluar kamarnya dan menuju ke dapur untuk mengambil sebilah pisau dan berlari keluar rumah. Amir yang melihat perilaku kakaknya hanya kebingungan dan tidak percaya akan ketidakwarasan macam apa lagi yang kakaknya terima saat ini. Amir mengikutinya dan bertanya.
“Ada apa kak? Jangan kau berketakutan seperti itu.” Tanya Amir.
“Saat aku berkendara pulang, ku melihat sekilas cahaya mengikutiku sampai depan rumah kita. Maka dari itu aku keluar untuk membunuhnya,” jawab Imron dengan nada ketakutan.
Amir hanya menggelengkan kepala. Dahi Amir mengkerut mencoba mengerti apa yang telah Imron terima dari Sang Kuasa. Ketidakwarasan macam apa lagi yang Imron terima. Dzikir langsung diucapkan kepadaNya Sang Khalik. Bibirnya tidak berhenti berucap Istighfar dan lafal LIIA. Sesambil mengikuti kakaknya yang terus mencari dan mengikuti gerak cahaya yang berhenti pada halaman belakang rumahnya.
Amir menghentikan langkahnya mengikuti Imron. Amir hanya diam dan memerhatikan sekitar tempat ia berdiri. Amir merasakan ada angin yang kencang menghempas tubuhnya dan tubuh kakaknya hingga terjatuh. Keduanya kalang kabut menahan angin yang cukup merobohkan keduanya. Mata Amir tak dapat melihat apapun karena debu memasuki matanya. Sementara Imron mampu berdiri dan melihat cahaya tersebut, kemudian menghampiri cahaya tersebut. Dia meninggalkan Amir yang masih kewalahan menahan angin dan debu.
“Siapakah kau sebenarnya?” tanya Imron.
“Jawablah! Munculkan dirimu sebenarnya. Aku tidak takut terhadapmu! Apkah kau yang membunuh kedua temanku tersebut? Jika iya, kembalikan mereka! Kau. Iblis. Tuhan akan marah melihatmu! Kau akan dibinasakan!! Imron mengucapkan segalanya untuk mengetahui siapa dia.
 “Jawablah! Munculkan dirimu sebenarnya. Aku tidak takut terhadapmu! Apkah kau yang membunuh kedua temanku tersebut? Jika iya, kembalikan mereka! Kau. Iblis. Tuhan akan marah melihatmu! Kau akan dibinasa...” Imron mengulanginya namun tidak sampai selesai.
Cahaya tersebut menyambar dada Imron dan langsung menghilang.
Amir yang telah pulih langsung berlari ke arah kakaknya. Amir mendapati kakaknya yang terbujur kaku dengan dada terbuka dan tertuliskan dalam huruf Arab nama Allah. Amir menangis meratapi apa yang baru ia lihat. Ia masih mencoba membangunkan Imron yang telah tiada dengan mata mengeluarkan air mata hitam.
“Allah telah datang kak.” Amir berucap.
“Lihatlah kebesaranNya. Tenanglah kau jika melihatNya esok. Do’aku selalu kutujukan padamu kak.” Sesambil menangis Amir berucap.

*******

1 komentar: