Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Selasa, 12 Juli 2011

Cerpen: PEKERJAAN ITU…


Aku masih melihat sepotong telor dadar tersebut diam di pinggir piring makanku. Aku sengaja melakukan itu untuk aku makan setelah nasi, sayur, dan dua potong tempe selesai aku makan. Di sela-sela aku mengunyah nasi yang bercampur sayur dan gigitan tempe tersebut, ada yang sedikit mengganggu pikiranku dalam mengunyah yaitu pekerjaan mengedit data pemasukan di bank tempat aku berkerja.
Benar, hal itu belum selesai aku kerjakan semenjak dua hari yang lalu pak Adi menyuruhku untuk menyelesaikannya. Jujur saja, aku merasa berat dalam mengerjakan hal seperti ini. Aku seorang IT yang tidak mau tahu urusan pemasukan uang di bank tempat aku berkerja. Bagiku, tugasku sebagai kepala IT di bank ini seharusnya berada dalam persoalan teknologi dan tidak boleh terbebani oleh pekerjaan seperti ini yang seharusnya dipegang oleh bawahanku yaitu Karno atau Wiwit. Seharusnya bagian yang pas untuk pekerjaan ini yaitu sekretaris dewan audit bank ini. Bukannnya aku. Kuakui di tempatku berkerja memang jarang aku berkerja setiap hari atau penuh dalam seminggu. Bahkan hampir tidak pernah, tapi dalam setahun maksimal aku berkerja yang sangat berat hanya 1-3 kali saja. Sisanya hanya mengecek, mengecek, dan mengecek ulang Informasi dan Teknologi di tempat itu.
Setelah kucuci piring dan gelasku. Aku segera mematikan televisi dan lampu-lampu yang masih menyala karena tadi malam. Selanjutnya aku beralih ke meja makan untuk mengambil tas kerja dan kunci mobilku. Kunci kosku yang menggantung di lubang kunci pintu kamar kosku segera aku cabut untuk ku pindah ke lubang kunci baliknya dan aku kunci pintu kosku. Setelah ku masukkan kunci itu di tasku dan baru berjalan beberapa langkah menuju parkiran, aku teringat kalau aku lupa tidak membawa notebook-ku. Perlu diketahui, barang itu benar-benar sangat aku butuhkan untuk mendapatkan duit dari blog-ku. Telah ada 4 perusahaan yang berada dalam bidang IT yang akan siap untuk memasangkan iklan di blog-ku itu. Untuk saat ini, hal itu aku prioritaskan sebagai hal yang utama ketimbang aku harus mengedit data pemasukan di tempatku berkerja yang tentu aku tidak mendapatkan tambahan gaji. Aku harus bijak dalam arti berpikiran pada akalnya untuk mendapatkan solusi yang tepat. Dan aku memilih mengurus blog-ku dengan giat daripada mengerjakan data pemasukan di bank. Terlihat mana yang menghasilkan duit dan tidak yang menghasilkan duit, bukan.
Aku mengendarai mobilku dalam kecepatan biasa saja, karena berbagai alasan yaitu yang jelas aku bukan orang yang ditunggu oleh para pegawai lainnya yang berkerja untuk dapat masuk kantor bank. Selain itu, aku bukan orang yang penting untuk ditunggu kehadirannya di kantor itu. Aku bukan bos, bukan sekretaris bos, dan bukan pembawa kunci berkas-berkas penting atau lemari tempat penyimpanan uang bank kami. Dalam mobil, aku tertawa sendiri membayangkan bagaimana mereka hidup dalam ketidaktenangan batinniah. Mereka selalu khawatir bila pergi kemana-mana, belum khawatir tentang bila ada kesalahan pengeditan data tentang uang, otomastis mereka harus mengganti, belum khawatir jika keluarga mereka mendapatkan masalah. Aku yakin aspek sekuritas dalam diri mereka lebih tebal dan ketat tidak seketat penjagaan sekuritas di bank kami atau setebal dinding pintu penyimpanan uang kami.
Dalam hatiku, tentu aku masih bersyukur mendapatkan pekerjaan yang masih bisa membuatku hidup tenang dan tidak terlalu berat dalam berkerja. Lagian, aku masih hidup membujang dan masih menunggu Mulan pulang dari studi teaternya di Belanda untuk kunikahi. Santai saja, hal itu yang masih kuyakini di umur 27 tahunku saat ini. Biarkan Mulan menempuh gelar teaternya di luar dulu baru aku akan kunikahi.
Tiba-tiba ada telpon dari Anji, sahabatku. Dia mengatakan kalau dia tengah menunggu kelahiran anak ke-duanya di RS Graha Amerta, Surabaya.
“Selamat kalau begitu Nji. Maaf aku belum bisa datang ke sana. Nanti saja jika ultahnya anakmu ini yang tahun pertama, aku pasti datang ke sana untuk melihatnya. hehehe.” responku setelah mendengar kabar tersebut.
“Dasar kamu hanya memikirkan duit-duit dan duit-duit, tiada lain selain duit-duit dan duit-duit.” Balas Anji dengan nada ledekannya.
“Nadamu berbicara sangat lucu untukku. Ya, aku bahkan harus berpura-pura tidak tahu atas maksud apa yang ada dalam perkataanmu itu.” Balasku.
“Tidak ada maksud apa-apa teman. Itu hanya kalimat bermakna undangan agar kamu dapat pulang ke Surabaya untuk melihat anak-anakku. Atau jika tidak bias datang, ya duitmu saja yang kau datangkan sebagai penggantinya. Hahahaha.” Anji terbahak-bahak.
“Oh ini bukan undangan berarti, hanya permohonan sumbangan? Seperti itukah?” balas atas ledekannya.
Setelah selesai menerima telpon itu, tentu aku berfikir jika duit dapat menggantikan kehadiran pemiliknya sesuai perkataan Anji tadi. Aku rasa tidak seperti itu, karena menurutku duit-duit tersebut sangat pantas untuk kuberikan kepadanya, sebagai rasa hormatku kepada mendiang kedua orangtuanya. Aku hidup dengan Anji dan orangtuanya semenjak umur 11 tahun karena kondisi orangtuaku yang tidak memungkinkan untuk hadirnya aku di keluargaku tersebut. Baiklah, sepulang dari kantor aku akan menstranfer duitku ini.
Konsentrasi menyetirku tiba-tiba pecah saat aku melihat amplop besar berwarna coklat di kursi belakang mobilku. Aku benar-benar tidak tahu perihal adanya benda tersebut. Apa itu salah satu berkas yang tertinggal saat mobilku dipakai oleh Pak Adi kemarin. Saat lampu merah menyala, aku coba untuk mengambil amplop tersebut, dan cukup berat ternyata. Tidak ada tulisan apapun maupun keterangan di dua sisi lembar amplop tersebut. Yang bias aku tebak saat itu jika amplop tersebut berisikan berkas yang sangat penting milik pak Adi. Karena kemarin pak Adi meminjam mobilku untuk membeli tiket pesawat ke Bali di bandara Adi Sucipto. Kalau iya.. Belum berhenti aku berfikir, tiba-tiba lampu hijau menyala dan beberapa mobil di belakangku menyalakan klaksonnya secara bergantian dan membuatku kaget hingga melempar amplop tersebut ke belakang dan cepat menjalankan mobilku.
Sesampainya di parkiran kantor bank. Aku sengaja tidak keluar dari mobilku untuk melihat apa yang ada di balik amplop tersebut, karena aku tadi tidak sengaja melemparnya secara tak terarah sewaktu mendapatkan peringatan klakson dari mobil-mobil belakangku. Kucoba untuk menerka apa yang ada dalam amplop tersebut, ku tekan-tekan isinya dan masih bingung dengan isi amplop tersebut. Aku ingin sekali membuka tali pengait amplop tersebut, namun urung kulakukan karena amplop tersebut memang bukan milikku. Tapi setelah aku raba-raba amplop tersebut, ternyata memang ada benda yang menurutku tidak asing lagi buatku, yaitu segepok duit. Setelah ku periksa lebih dalam lagi, ya isinya tidak segepok atau dua gepok, tapi lima sampai enam gepok. Jika ia, mengapa pak Adi meninggalkan secara sembarangan di mobilku ini. Apa benar pak Adi sebodoh itu untuk meninggalkan duit sebanyak itu di mobilku ini. Kalau iya, mengapa tadi malam atau pagi ini dia tidak segera menelponku. Memang benar pak Adi seorang yang kaya raya, namun kehilangan duit sebanyak ini kalau aku ya tentu saja menangis keras dan kebingungan.
Baiknya aku segera menelpon pak Adi perihal masalah ini, karena siapa tahu dia ternyata memang lupa dan jika ini begitu penting, dia bakal kesulitan di Bali saat ini karena lupa membawa amplop ini. Yang jelas dia tidak akan sengaja memberiku duit ini sebagai rasa terimakasihnya kepadaku atas peminjaman mobilku untuk membeli tiket pesawat ke bali. Saat aku ingin menelponnya, tiba-tiba ada panggilan datang dari pak Adi. Tentu aku sangat bahagia karena masalah ini bakal cepet selesai dan dapat segera menyelesaikan urusan blog-ku yang tengah diincar oleh banyak pihak IT Asia.
“Fer. Lagi dimana Fer?” Tanya pak Adi.
“Sudah di kantor bapak. Sedang mengerjakan pekerjaan yang dari bapak berikan kemarin itu.” Tukasku menjawab pertanyaannya.
“Segera cepat selesaikan ya pekerjaan itu Fer, setidaknya besok saya pulang dari Bali harus sudah jadi dan serahkan langsung kepada saya tidak yang lainnya. Ok.” Balas pak Adi.
“Iya, segera saya selesaikan tugas itu pak. Oh iya pak. Apa bapak tidak ketinggalan sesuatu di mobil saya sewaktu bapak meminjamnya untuk membeli tiket ke Bali?” tanyaku padanya.
“Karena saya melihat sebuah amplop besar berwarna coklat di jok belakang mobil saya.” Lanjutku.
“Oh tidak tahu saya mengenai itu, barang bawaan saya beserta berkas-berkas penting sudah saya cek dan tidak ada yang ketinggalan di mobilmu kemarin.” Balas pak Adi.
Setelah menutup pembicaraan dengan pak Adi, kepalaku langsung pusing. Bukan karena adanya beban yang harus menyelesaikan pekerjaan darinya tersebut, melainkan amplop tersebut yang berisikan beberapa gepok duit atau apalah isinya aku capek memikirkannya. Karena pak Adi telah berbicara jika dia tidak tahu menahu tentang adanya duit tersebut. Baiklah saya akan membukanya karena saya sudah tidak tahan dengan masalah ini. Ternyata memang benar isinya enam gepok pecahan duit lima-puluh ribuan. Senang iya karena pak Adi sendiri tidak mengakuinya, bingung iya karena siapa yang memberinya, makhluk halus? Hingga aku terpecah kebingunganku saat itu juga karena melihat kertas yang berisikan tulisan terimakasih tertanda nama Adi Susilo. Nama lengkap pak Adi.
Tapi buat apa terimakasih seharga tiga juta ini. Padahal mobilku bukan ku sewakan kemarin kepadanya. Tentu timbul pikiranku untuk segera menelponnya, padahal dia saat menelponku tadi tidak berbicara atas duit ini. Ada apa tentang duit ini. Ada apa dibalik semua ini. Jelas ada ikan besar di balik semuanya ini. Tidak mungkin dia berbaik hati karena telah kupinjamkan mobil selama tidak lebih dari satengah jam saat dia meminjam kemarin.
Selain tertera nama lengkap pak Adi, juga terdapat sebuah kalimat di balik kertas tersebut. Mungkin tertera nama tujuan pak Adi mengirimkan duit-duit ini. Tapi aku mendapatkan tulisan berbeda dari yang kukira yaitu tulisan: “Tenang Fer, ini hanya permulaan saja. Tentu duit tiga juta ini terlalu sedikit untukmu dan untuk pekerjaan yang sedang kau kerjakan ini. Sisanya aku akan kirim setelah semuanya selesai. Janjiku, Fer.” Pekerjaan apa yang sedang kukerjakan saat ini? Apa yang dia maksudkan semuanya? Pikiranku terus memutar-mutar untuk mencari tahu semuanya. Hingga aku tertuju pada suatu tulisan di lorong tempatku berkerja: “DILARANG KERAS BERKORUPSI DI BANK INI.” Tentu tidak akan seperti itu pak Adi. Dia sebagai kepala bidang Keuangan jelas telah mendapatkan cipratan air dari bank ini. Apa dia mau diguyur air dari bank ini. Apa dia seorang yang ambisius untuk itu? Segera aku telpon pak Adi untuk mengkonfirmasi hal yang baru saja kutemukan. Tapi, ternyata telponnya tidak aktif dan jelas aku merasa bingung atas hal ini.
Aku sedikit merasa sakit kepala sesampainya di tempat dudukku. Aku ambil air putih untuk sedikit menenangkan pikiranku dan membasahi kerongkonganku yang kering akibat shock mendapatkan duit ini. Amplop itu aku masukkan ke dalam laci meja kerjaku yang agak penuh oleh berkas-berkas pekerjaanku. Segera aku menyalakan komputer kantorku dan segera masuk ke Mozilla Firefox untuk segera mengirim ke emailnya pak Adi dan bertanya tentang hal itu. Selesai aku kirim ke emailnya, aku segera mencari file yang berisikan data-data pemasukan di bank ini untuk segera aku kerjakan. Karena saat ini, aku hanya akan fokus untuk mengerjakan pekerjaan yang pak Adi berikan. Agar segera selesai dan aku akan bertanya semua maksud dari semua ini saat aku menyelesaikan pekerjaanku ini kepadanya.
Malamnya, aku menelpon Mulan di Belanda untuk menceritakan semuanya pada hari ini. Karena yang jelas beberapa hariku ke depan bakal terasa lebih berat, dan aku butuh sedikit hiburan untuk itu. Menurutku Mulan bukanlah tempat sampah saat ku mempunyai masalah, tapi dia seorang teman yang bisa di ajak ngobrol dengan senang hati.
“Cepat pulang hai kekasih yang jauh di sana” kalimat pembukaku kepadanya.
“Hmm.. anda menyuruh saya cepat pulang untuk apa? Saya masih betah di sini untuk sengaja membuat anda benar-benar kangen terhadap saya.” Balasnya.
“Ya saya perintahkan anda untuk segera pulang, karena saya telah memesan gaun berwarna ungu beserta tempat tujuan berbulan madu ke Singapore.” Tukasku kepadanya.
“Hahaha… kamu sok romantis, cungkring. Tenang saja, 2 bulan ini laporan akhirku segera di verifikasi untuk proses lulusanku di sini. Apalagi aku telah tampil menjadi sutradara pertunjukanku di daerah Den Haag seminggu lalu.”
“Sebetulnya aku ada 3 pentas lagi di Rotterdam dan di Alkmaar, tapi aku akan mengambil 2 saja di Rotterdam semuanya. Sebentar dulu, mengapa kau tiba-tiba hanya jadi pendengar saja saat aku bicara, gak semestinya kamu jadi pendiam begini. Ada problemkah?” Tanya Mulan.
“Maaf, aku harus tidak seperti biasanya, karena iya memang ada problem di hari ini. Dan aku harus bercerita kepadamu.” Jawabku.
“Aku mendapatkan duit dari atasanku, namun dia saat kutanyai tidak mengakuinya. Dia hanya menyuruhku untuk segera menyelesaikan pekerjaan yang dia berikan kepadaku. Memang pekerjaan itu dapat mengarah ke arah korupsi, namun aku yakinkan padamu aku tidak akan melakukan pekerjaan seperti itu.” Lanjutku kepadanya.
“Berdoalah kepadaNya, cungkring. Aku yakin semuanya akan terlihat dengan jelas di beberapa hari ke depan. Yakinlah tentang itu.” Balasnya.
Setelah aku menutup pembicaraan denganya, aku segera mulai mengerjakan pekerjaan misterius ini. Di meja ini, aku akan mulai berkerja yang tidak tahu perkerjaan yang bertujuan ke arah mana ini akan bermuara. Ditemani oleh beberapa teman seperti biasanya, mulai dari secangkir kopi susu, lampu untuk sedikit menerangkan meja ini dan untuk membatasiku dalam kefokusanku, berkas-berkas berisi data pemasukan bank tempat ku berkerja yang agak berserakan, dan tak lupa bingkai kecil yang berisi mozaik fotoku bersama Mulan. Dalam notebook-ku aku memutar lagu-lagu Muse untuk ikut serta hadir menemaniku seperti penampilan secara live karena aku setting seperti itu suaranya dalam speaker notebook-ku. Seolah Matthew Bellamy hadir meneriakkan lagu mulai Neutron Stars Collision sampai New Born. Yah sedikit semangat dari vokalis ini. Tuts-tuts notebook ini mulai ku tekan secara terus -menerus dan beracak-acakan hingga membentuk suatu tulisan yang jelas isinya, namun tetap saja terus menimbulkan pikiran-pikiran aneh di otakku, karena ketidakjelasan yang mengelilingi pekerjaan yang sedang ke kerjakan sekarang. Sebentar aku melihat ke arah amplop yang ku letakkan di pojok meja ini. Karena letakknya sedikit dibelakangi oleh lampu penerangnya, amplop ini hanya terlihat sedikit saja, tentu warna coklat gelap yang terpantul dalam mataku. Namun aku tetap memaksa untuk melihat benda yang tidak bercahaya terang tersebut dan tengah melihat enam gepok duit tiga juta rupiah di dalamnya. Duit itu memang jelas punyaku, tapi karena apa aku harus mendapatkan duit tersebut. Hanya itu yang kupikirkan tentang duit itu, andai semuanya telah jelas, aku akan segera tabungkan duit-duit tersebut ke rekening bank-ku. Atau sedikitnya akan kupakai untuk membeli kebutuhan-kebutuhan yang kuperlukan saat ini.
Saat hari Senin.
“Maaf pak, saya baru selesai makan siang dengan Wiwit dan Seno di cafeteria. Saya harap tidak ada yang salah dengan laporan yang telah saya kerjakan dan saya letakkan di meja anda tadi pagi.” Ujarku sewaktu menemuinya setelah makan siang.
“Tidak ada yang salah dengan laporanmu. Pokoknya kamu kerjakan sesuai dengan data-data yang saya berikan bukan?”
“Tapi mengapa harus saya yang mengerjakan pak? Bukannya ini pekerjaan sekretaris bapak?” tanyaku balik.
“Anda itu seorang kepala IT di bank ini, apa tidak mengerti tentang data-data yang saya berikan pada waktu itu? Saya maklumi, karena pekerjaan anda di sini tidak seberapa mengerti tentang itu. Mengenai saya mengapa memilih anda adalah karena saya yakin anda orang yang sangat pintar dan tidak perlu dipertanyakan lagi mengenai persoalan IT, bukan?”
Aku mengerutkan dahi mendengar apa yang diujarkannya, mengapa bukan sekretarisnya saja kalau hanya persoalan seperti ini yang perlu dikerjakan. Apa istimewanya aku sehingga orang ini mempercayaiku, masa cuma karena pekerjaanku tidak seberapa berat di bank ini, lalu dia menyuruhku?
“Jujur saja, aku menginginkan anda untuk mengerjakan ini karena pekerjaan ini membutuhkan anda sebagai ahlinya. Dan yang perlu anda ketahui jika pekerjaan ini belum selesai dan anda hanya butuh merubah susunan angka-angka tersebut menjadi nominal yang lebih besar dari data originalnya.”
Aku menjadi shock mendengar perkataan tersebut: “merubah susunan angka-angka tersebut menjadi nominal yang lebih besar dari data originalnya.” Ini tidak sesuai dengan keyakinanku agar hidup bersih dari permasalahan-permaslahan duit tersebut. Menurutku aku sudah hidup berlebihan dan mempunyai duit untuk hidup maupun menikahi Mulan dan melanjutkan kedepannya. Tapi jika aku tidak mempunyai duit sedikitpun mungkin aku tidak memikirkannya juga untuk membuang waktuku. Hingga dia men-deadline aku untuk segera menyerahkan editan tersebut, dan aku hanya terdiam dan mengangguk saja. Bukan untuk mengiyakan suruhannya tersebut, namun untuk segera pergi dari ruang tersebut, ya ruang yang dipenuhi setan-setan yang berkomitmen dan berada di pinggir telinga kami saat berbicara.
Sesampainya di kos aku segera meletakkannya, bukan karena aku malas untuk mengerjakan dua kali atau berapa kali. Tapi aku ingin diam sejenak untuk berpikir bagaimana enaknya agar aku  bisa bebas dari pekerjaan ini. Untuk merubah hal tersebut, maksudku hanya merubah angka dan aku bisa mendapatkan duit milyaran rupiah tiap bulan. Ternyata ini jawaban dari duit-duit dalam amplop coklat tesebut berasal. Ya, aku coba menutup mataku untuk berfikir sejenak sesambil mendengarkan Conspiracy dan Turn It Off-nya Paramore. Aku putar secara berulang-ulang agar menenangkan pikiranku yang hampir terkuasai oleh setan di ruang tersebut. Aku diam, meletakkan pergelangan tangan kananku menutup kedua mataku. Aku hembuskan nafasku untuk membantu menenangkan diri. Tiba-tiba listrik kosku padam, dan menutup mulut Hayley William untuk bernyanyi padaku. Dan aku sangat suka ketenangan seperti ini..

****************

Cahaya matahari kurasakan mencoba membangunkan mataku yang tengah terlelap. Namun mataku akhirnya terbuka juga karena teriakan kedua anakku yang tengah bermain di halaman depan rumahku. Ya, seperti biasanya Dina dan Ibnu bermain pada hari minggu pagi ini di taman, hal itu mereka lakukan jika tidak berjalan-jalan denganku dan istriku namun aku tertidur sangat lelap sehingga tidak memperdulikan mereka. Aku buka mataku yang tidak sepenuhnya terbuka, karena silau matahari. Dasar Mulan. Memang ini yang akan dilakukannya untuk membangunkanku jika aku tertidur lelap di pagi hari. Aku beranjak dari ranjangku dan menuju ke dapur untuk mengambil air putih. Saat aku meneguk segelas air putih ini aku melihat istriku tengah menggerakkan jari-jemarinya ke tuts-tuts notebook-nya. Aku menghampirinya dan memberi kecupan di keningnya.
“Sudah bangunkah dari mimpi indahmu?” tanyanya padaku sambil tetap menatap notebook-nya.
“Bagiku kau yang terindah, kau nyata, bukan mimpiku lagi.” Balasku sambil mendekap kepalanya.
“Penampilan teatermu di Cak Durasim kemarin mendapat sanjungan dari berbagai pihak, dan Kedutaan Besar Belanda akan mengundangmu bermain di sana. Dan aku minta agar kau tidak terlalu emosi menghadapi para pemainmu yang tidak begitu ahli berakting itu. oke..” lanjutku.
“Ah, kemarin hanya aku takut saja, dia terlihat terlalu menyepelekan skripnya. Tapi aku janji padamu agar terlihat lebih sabar menghadapi mereka. Tenang saja.” Balasnya.
“Kejadian itu hadir kembali di mimpiku. Ini terlihat seperti flashback dari masa laluku. Aku tidak tahu makna dari hadirnya mimpi itu lagi.”
Aku menceritakan hal tersebut kepada Mulan, dia beranggapan bahwa itu hanya bunga tidur saja yang setia menemaniku. Toh, mimpi itu tidak menunjukan bahwa aku seorang yang gelap mata dan mau menerima duit-duit panas tersebut saat itu. Karena memang ini sudah tujuh tahun yang lalu dan pantas aku lupakan. Kejadian itu hadir hanya untuk mengingatkanku sebuah memori yang berisikan fenomenaku dalam memutar otak dari ketakutan menjadi kesenangan dan kuterima sampai saat ini. Setidaknya hal itu yang selalu dikatakan Mulan untuk menyenangkanku saat menerima mimpi tersebut.
“Kau sangat pintar, cungkring. Kau seorang yang brilian karena tetap mengerjakan pekerjaan yang pak Adi suruh, namun kau juga secara diam-diam melaporkan hal itu ke pemilik bank tersebut. Jelas saja, pemilik bank tersebut suka dan mewariskan beberapa saham bank-nya kepadamu. Karena jika tidak, maka habislah duit-duit di bank tersebut dan dia akan terkena tuntutan oleh para nasabah di bank tersebut. Saat polisi menyium persoalan tersebut, kau terlihat tenang saja meskipun kau ikut dilaporkan oleh pak Adi. Ya karena pemilik bank tersebut telah membelamu dan kau bebas serta mendapatkan saham atas kepemilikan bank itu. Hingga ya, apa yang kita miliki sekarang, sebuah kondominium, sebuah gedung perusahaan IT-mu, dan gedung teaterku, dan sebuah rumah kecil untuk anak-anak terlantar benar-benar membuatku bangga menikah denganmu.” Mulan berujar sebegitu panjangnya.
Aku mengiyakan saja, karena menurutku Mulan seorang yang tepat dan selalu menuntunku saat tidak berjalan pada jalan yang seharusnya. Selanjutnya, aku akan coba terus membahagiakannya beserta kedua anakku. Janjiku,…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar