Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Jumat, 01 Juli 2011

Tinjauan Sintaksis pada Verba Ulang

1.     PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata sintaksis tentu telah kita ketahui artinya sebagai ilmu yang mempelajari seluk-beluk frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa, berbeda dengan morfologi yang membicarakan seluk-beluk kata dan morfem (M. Ramlan, 1981 :1)
Dari pengertian itu, saya ingin menambahkan sedikit tentang bahan kajian sintaksis tidak hanya ketiga hal itu tetapi sintaksis juga menganalisis kajian bahasa secara sintaksis. Seperti dalam Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga tahun 2008-2009, pendeskripsian mata kuliah sintaksis ini yaitu mengenai sistem dan struktur kalimat bahasa Indonesia dengan pokok bahasan dasar-dasar kajian bahasa secara sintaksis, tipe dan pola kalimat, tipe dan pola klausa, tipe dan pola frasa, tipologi sintaksis, serta model analisis bahasa secara sintaksis.
Maka dari itu, saya membuat makalah ini dengan mengambil kajian analisis bahasa secara sintaksis khususnya verba ulang. Memang verba ulang merupakan kajian morfologi, tapi akan saya kaji dengan menggunakan bidang sintaksis dalam frasa dan klausa. Saya memilih verba sebagai kajian karena verba mempunyai peran penting dalam suatu klausa maupun kalimat. Peran verba sebagai predikat dalam suatu kalimat membuat saya tertarik untuk mengkajinya lebih dalam. Verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas (Hasan Alwi et all, 1993 : 93).
1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat agar mampu menjabarkan tentang peran atau fungsi verba ulang yang berasal dari proses reduplikasi. Karena sering terindikasi bahwa dalam penggunaan atau penelitian kajian linguistik terdapat pengecilan atau sengaja tidak dipedulikan oleh peneliti tentang fungsi-fungsi atau peran dari kategori itu. Maka dari itu makalah ini dibuat khusus membahas kategori verba ulang, untuk dapat menjelaskan secara rinci beserta contohnya. Terutama peran verba ulang itu dalam tataran klausa dan tataran frase, lalu pengaruh yang dihasilkan kepada konstituen-konstituen sebelah kanan dan sebelah kirinya, dan jenis verba ulang yang berkaitan adanya konstituen itu.
Makalah ini juga memberi stimulus kepada khalayak pengamat linguitik, khususnya bidang sintaksis dan lebih ke arah verba ulang agar dapat memberikan responsif terkait hal ini. Responsif yang dimaksud yaitu memberikan kajian pembanding terhadap tulisan ini dan mampu lebih menjelaskan tentang peran serta pengaruh verba ulang. Setidaknya dalam bentuk kritik terhadap bahasan ini, akan tetap membantu menjaga serta berupaya maksimal agar kajian linguistik ini dapat berperan aktif menjabarkan secara jelas verba ulang.
1.3 Rumusan Masalah
1. Apa peran verba ulang dalam Frasa dan Klausa?
2. Apa pengaruh verba ulang bagi konstituen-konstituen terdekat?
3. Apa saja jenis verba ulang yang berdasarkan adanya konstituen?

2.     PEMBAHASAN
2.1     Peran Verba Ulang dalam Frasa dan Klausa
2.1.1         Kajian Frasa
Sebuah frasa tentu mempunyai bagian-bagian yaitu induk dan pewatas. Dalam hal ini induk merupakan peranan yang penting dan mempunyai fungsi sintaksis yang sama dengan keseluruhan peran yang lainnya. Sedangkan pewatas merupakan peran yang ikut membantu peran induk dalam terjadinya suatu frasa, tetapi tetap merupakan bagian yang penting dan akan dikaji.
Saya memberikan contoh kalimat-kalimat yang di dalamnya terdapat frasa yang mengandung verba ulang dan berkedudukan sebagai induk :
(1)    Irfan hanya menebak-nebak saja bahwa Sherly akan datang.
(2)    Laju mobilku tidak stabil, sering terhambat-hambat.
(3)    Logika bukan menghitung-hitung angka di kertas.
(4)    Rupa-rupanya orang tadi sangat terpingkal-pingkal karena melihat kejadian lucu itu.
(5)    Rita tidak mungkin mengutak-atik masalah yang sudah selesai itu.
Dari kelima kalimat di atas, terdapat frasa yang mengandung verba ulang. Verba ulang yang kami maksud merupakan verba ulang dalam suatu frasa yang menduduki peran induk dari frasa itu sendiri. Seperti frasa menebak-nebak saja, sering terhambat-hambat, bukan menghitung-hitung, sangat terpingkal-pingkal, dan tidak mungkin mengutak-atik. Frasa-frasa tersebut mempunyai verba ulang yaitu menebak-nebak, terhambat-hambat, menghitung-hitung, terpingkal-pingkal, dan mengutak-atik. Lima verba ulang itu menduduki peran induk dalam frasa-frasa di atas. Sedangkan kata-kata saja, sering ,bukan ,sangat, dan tidak mungkin merupakan sebagai pewatas dari frasa-frasa di atas dan membantu peran induk untuk menciptakan makna dari frasa-frasa itu.
Sedangkan untuk verba ulang yang berkedudukan sebagai pewatas dalam suatu frasa akan saya berikan contohnya dalam kalimat-kalimat di bawah ini :
(6)    Rakyat yang beramai-ramai itu telah menghancurkan pemerintahan.
(7)    Dedy memiliki 99 juta rupiah uang berhambur-hamburan di rumahnya.
(8)    Berbagai upaya terus dilakukan untuk mencari ketenangan hati yang terombang-ambing ini.
(9)    Irfan pergi dengan hati yang berdetak-detak.
(10)   Pemahaman yang terputus-putus akan membuat semua tidak terkendali.
Kelima kalimat di atas merupakan kalimat yang berfrasa. Frasa pada kalimat-kalimat itu merupakan frasa verba ulang tapi yang berkedudukan sebagai pewatas dalam frasa-frasa itu. Seperti frasa rakyat yang beramai-ramai itu, 99 juta rupiah uang berhambur-hamburan, untuk mencari ketenangan hati yang terombang-ambing ini, dengan hati yang berdetak-detak, dan pemahaman yang terputus-putus. Frasa-frasa di atas mempunyai verba ulang yaitu beramai-ramai, berhambur-hamburan, terombang-ambing, berdetak-detak, dan terputus-putus. Lima verba ulang itu menduduki peran sebagai pewatas. Sedangkan kata-kata rakyat , 99 juta rupiah uang, untuk mencari ketenangan hati, dengan hati , dan pemahaman merupakan sebagai induk dari frasa-frasa di atas.
2.1.2         Kajian Klausa
Saya mendefinisikan klausa sebagai kalimat yang hanya berisikan unsur subyek dan unsur pelengkap. Seperti dalam buku M. Ramlan, Sintaksis. Klausa dijelaskan sebagai satuan gramatik yang terdiri dari unsur predikat (P), baik disertai subjek, objek, pelengkap, dan keterangan ataupun tidak. Dengan ringkas, klausa ialah (S) P (O) (PEL) (KET). Tanda kurung menandakan bahwa apa yang terletak dalam kurung itu bersifat manasuka, artinya boleh ada, boleh juga tidak ada (M. Ramlan, 1981 : 62).
Dalam kajian klausa, kata ulang yang berkategori verba pada umumnya berfungsi sebagai predikat. Namun, ada juga yang bersifat sebagai subyek dan sangat jarang digunakan. Saya akan memberikan contoh verba ulang yang berfungsi sebagai predikat dalam suatu klausa :
(11)       Anak itu menghancur-hancurkan mainannya sendiri.
(12)       Setelah dimarahi, Nisa pun mengangguk-angguk tanda takut.
(13)       Murid-murid itu bersenang-senang ketika gurunya pergi.
(14)       Sebelum berlari, Irfan berjalan-jalan dahulu.
(15)       Dedi menjulur-julurkan lidahnya.
(16)       Tasnya jatuh dan isinya berserak-serakan di jalan.
(17)       Donny berteriak-teriak sambil memegangi celananya.
(18)       Encik merobek-robek kertas itu.
Kedelapan kalimat di atas merupakan kalimat yang tentu mempunyai klausa. Klausa pada kalimat-kalimat tentu juga mempunyai unsur predikat dan berupa verba ulang. Seperti kata-kata menghancur-hancurkan, mengangguk-angguk, bersenang-senang, berjalan-jalan, menjulur-julurkan, berserak-serakan, berteriak-teriak, dan merobek-robek. Kata-kata itu merupakan verba ulang dan menjadi unsur predikat dalam klausa-klausa di atas.
Untuk verba ulang yang berfungsi sebagai subjek, sangat jarang untuk ditemukan. Tidak seperti verba ulang yang berfungsi sebagai unsur predikat. Contoh dari verba ulang yang berkedudukan sebagai subyek dalam suatu klausa yaitu :
(19)       Minum-minum adalah hal yang terlarang.
(20)       Bergoyang-goyang menyehatkan badan.
Kedua kalimat itu tentu kalimat yang berklausa. Klausa-klausa tersebut terdapat verba ulang dan mempunyai peran sebagai subjek. Seperti kata-kata minum-minum dan bergoyang-goyang.
2.2     Pengaruh Verba Ulang bagi Konstituen-Konstituen Terdekat
Verba ulang tentu dalam suatu kalimat mempunyai pengaruh bagi konstituen-konstituen terdekatnya. Konstituen-konstituen terdekat itu berada di sebelah kiri dan sebelah kanan verba ulang yang berperan sebagai predikat dalam suatu kalimat.
2.2.1         Konstituen di sebelah Kiri Verba Ulang
Seperti pada umumnya, konstituen di sebelah kiri verba ulang dalam tatanan kalimat berfungsi sebagai subjek pada suatu kalimat. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini akan saya jelaskan dengan contoh-contoh :
(21)  Setiap kali adzan subuh dikumandangkan, masyarakat berbondong-bondong datang  ke masjid itu.
(22)  Masing-masing partai peserta pemilu 2009 berlomba-lomba mencari massa untuk mendapat dukungan dan memenangi pemilu tahun ini.
(23)  Anak-anak itu berkejar-kejaran pada siang hari ini.
Kata kata seperti berbondong-bondong, berlomba-lomba, dan berkejar-kejaran di atas merupakan verba ulang. Penggunaan pada kalimat-kalimat di atas mempengaruhi konstituen yang berada di sebelah kirinya sehingga konstituen itu berfungsi sebagai subjek pada kalimat-kalimat tersebut. Verba ulang di atas mengandung makna sebagai suatu predikat/pekerjaan. Predikat tersebut yang pada kalimat-kalimat di atas harus dilakukan oleh subjek yang lebih dari satu orang dan dilakukan secara bersama-sama (kolektif). Tentunya tidak dapat dilakukan oleh subjek yang bermakna tunggal. Seperti pada kalimat-kalimat dibawah ini.
(21a) Setiap kali adzan subuh dikumandangkan, Irfan berbondong-bondong datang ke masjid itu.
(22a) Partai Demokrat berlomba-lomba mencari massa untuk mendapat dukungan dan memenangi pemilu tahun ini.
(23a) Niza berkejar-kejaran pada siang hari ini.
Penggunaan subjek Irfan, Partai Demokrat, dan Niza pada kalimat-kalimat di atas tentu terlihat tidak pantas atau serasi dengan pemakaian predikat berbondong-bondong, berlomba-lomba, dan berkejar-kejaran. Verba ulang tersebut seharusnya bermakna memiliki pelaku yang tidak tunggal. Sehingga subjek tunggal seperti di atas tidak dapat diterima dari segi penalaran, tetapi dapat diterima dari segi gramatikalnya.
Dapat saya simpulkan bahwa kalimat-kalimat di atas yang mengandung verba ulang dan berfungsi sebagai predikat berpengaruh terhadap pemakaian subjeknya. Verba ulang tersebut harus sesuai dengan pemakaian subjeknya dalam suatu kalimat agar dapat diterima secara penalaran.
Saya akan memberikan lagi beberapa contoh kalimat yang mengandung verba ulang sebagai predikat dan tidak berpengaruh terhadap konstituen di sebelah kirinya.
(24)  Anak-anak itu berjalan-jalan di taman.
(25)  Mereka bermain-main di dalam pemikirannya sendiri.
(26)  Dedy memukul-mukuli orang yang meninjunya.
(27)  Encik selalu duduk-duduk di atas meja dosen.
Kata-kata berjalan-jalan, bermain-main, memukul-mukuli, dan duduk-duduk pada kalimat di atas merupakan verba ulang. Pemakaian verba ulang pada kalimat-kalimat itu tidak mempengaruhi konstituen yang berada di seblah kirinya. Memang konstituen di sebelah kiri verba ulang itu tetap berfungsi sebagai subjek kalimat itu. Namun subjek tersebut dapat berupa subjek yang bermakna tunggal maupun subjek jamak.
Pemakaian subjek tunggal seperti Donny dan Rita dapat digunakan pada kalimat (24) dan (25) yang bersubjek jamak seperti Anak-anak dan Mereka. Hal itu saya lakukan karena mengacu pada verba ulang yang menduduki fungsi predikat seperti berjalan-jalan dan bermain-main. Verba ulang tersebut dapat bermakna mempunyai subjek tunggal maupun jamak. Sama juga seperti kalimat (26) dan (27) yang bersubjek tunggal seperti Dedy dan Encik dapat digantikan dengan subjek bermakna jamak seperti Anak-anak dan Mereka.
Saya dapat mengambil suatu kesimpulan dari beberapa analisis kalimat (21-23) dan kalimat (24-27). Saya menyimpulkan bahwa konstituen di sebelah kiri verba ulang yang berkedudukan sebagai predikat itu mempunyai kedudukan sebagai subjek dan tergantung dari makna verba ulang tersebut. Jika verba ulang itu bermakna perbuatan harus dilakukan oleh pelaku tunggal atau jamak, maka subjek dari kalimat itu dapat berupa tunggal atau jamak. Tetapi jika verba ulang itu tidak mengandung makna perbuatan yang harus dikerjakan oleh pelaku tunggal maupun jamak, subjek tidak dipengaruhi oleh verba ulang.
2.2.2         Konstituen di sebelah Kanan Verba Ulang
Jika konstituen di sebelah kiri verba ulang yang berfungsi sebagai perdikat merupakan subjek dalam tatanan kalimat, maka konstituen di sebelah kanan verba ulang dapat berupa objek, pelengkap, ataupun keterangan. Untuk lebih jelas maka saya akan berikan contoh seperti kalimat-kalimat di bawah ini :
(28)  Encik terus berteriak-teriak di ruang dosen.
(29)  Donny memaki-maki orang itu dengan geram.
(30)  Rita dan Dedy berpeluk-pelukan mesra.
 Kalimat-kalimat di atas mengandung verba ulang seperti berteriak-teriak, memaki-maki, dan berpeluk-pelukan. Berbeda dengan konstituen di sebelah kiri verba ulang yang mendapat pengaruh dari verba ulang itu sendiri, konstituen di sebelah kanan verba ulang tidak mendapat pengaruh dari verba ulang itu dalam suatu kalimat. Seperti pada penjelasan di atas, konstituen di sebelah kanan verba ulang dapat berupa keterangan tempat (di ruang dosen) seperti pada kalimat (28), dapat berupa objek (orang) seperti pada kalimat (29), dan dapat berupa pelengkap (mesra) seperti pada kalimat (30).
2.3     Jenis Verba Ulang
Verba ulang pada umumnya pada suatu kalimat berfungsi sebagai predikat. Unsur yang terpenting dalam suatu kalimat atau klausa adalah adanya unsur perdikat ini. Sedangkan unsur seperti subjek, objek, pelengkap, dan keterangan merupakan unsur yang dalam suatu kalimat boleh hadir atau dihilangkan. Sehingga sifat dari unsur-unsur itu adalah tidak wajib hadir. Seperti pada kalimat :
(31)  Tombol merah itu sering terpencet-pencet.
(32)  Anak-anak itu berkejar-kejaran.
Kedua kalimat di atas terdapat verba ulang yaitu terpencet-pencet dan berkejar-kejaran. Kedua verba ulang itu menduduki fungsinya sebagai predikat dalam suatu kalimat. Sedangkan kata-kata seperti tombol merah dan anak-anak berfungsi sebagai subjek dalam kalimat-kalimat di atas. Seperti yang diketahui, kedua verba ulang tersebut tidak membutuhkan unsur-unsur seperti objek, pelengkap, maupun keterangan. Kedua kalimat tersebut dapat mendirikan suatu tatanan kalimat tanpa hadirnya unsur-unsur selain subjek dan predikat. Berbeda dengan kalimat-kalimat di bawah ini :
(33)  Encik memotong-motong kue itu.
(34)  Irfan dan Wawa sering berteriak-teriak di dalam studio itu.
Kedua kalimat di atas masing-masing terdiri dari tiga unsur. Selain unsur subjek dan predikat juga terdapat unsur objek pada kalimat (33) dan unsur keterangan tempat pada kalimat (34). Verba-verba ulang itu adalah memotong-motong dan berteriak-teriak. Kedua verba ulang itu berfungsi sebagai predikat dalam kedua kalimat di atas. Untuk kata kue pada kalimat (33) berfungsi sebagai objek dan frasa di dalam studio itu berfungsi sebagai keterangan tempat. Maka kedua kalimat di atas mewajibkan kehadiran unsur lainnya seperti objek dan keterangan tempat. Tentu sangat berbeda dengan kalimat (31) dan (32) yang tidak  membutuhkan unsur-unsur lainnya selain subjek dan predikat. Dari pemaparan di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa verba ulang ada yang transitif dan intransitif seperti kalimat aktif.
2.3.1         Verba Ulang yang Transitif
Jenis verba ulang ini merupakan verba ulang yang membutuhkan konstituen di sebelah kanan maupun di sebelah kiri. Umumnya konstituen itu berkategori nomina dan berfungsi sebagai subjek, objek, dan pelengkap dalam pemakaiannya di suatu kalimat. Seperti kalimat-kalimat di bawah ini :
(35)  Tangan-tangan itu berebut-rebutan uang angpau.
(36)  Kuda itu menendang-nendangkan kakinya.
(37)  Irfan meninju-ninjukan tangannya ke tembok.
(38)  Burung itu mengepak-ngepakkan sayapnya.
(39)  Donny hanya mencari-cari alibi untuk menyelamatkannya dari polisi.
(40)  Sejak kemarin malam Nisa menginjak-nginjak rumput itu.
Pada kalimat-kalimat di atas terdapat verba-verba ulang seperti berebut-rebutan, menendang-nendangkan, meninju-ninjukan, mengepak-ngepakkan, mencari-cari, dan menginjak-nginjak. Verba-verba ulang tersebut mengwajibkan hadirnya konstituen-konstituen di sebelah kanan dan di sebelah kirinya yang berfungsi sebagai subjek, objek, maupun pelengkap seperti uang angpau, kakinya, tangannya, sayapnya, alibi untuk menyelamatkannya dari polisi, dan rumput.
Konstituen di sebelah kiri verba ulang berfungsi sebagai subjek pada kalimat-kalimat di atas seperti tangan-tangan, kuda itu, Irfan, burung itu, Donny, dan Nisa. Selanjutnya konstituen di sebelah kanan verba ulang itu dapat berupa objek seperti kakinya, tangannya, sayapnya, alibi untuk menyelamatkannya dari polisi, dan rumput pada kalimat (36-40). Selain itu konstituen di sebelah kiri verba ulang berfungsi sebagai pelengkap pada kalimat (35) berupa kata uang angpau. Sementara unsur sejak kemarin malam merupakan fungsi keterangan waktu pada kalimat itu. Unsur tersebut tidak diwajibkan hadir pada kalimat itu, karena jika dihilangkan unsur tersebut kalimat tersebut tetap mampu berdiri sendiri.
2.3.2         Verba Ulang yang Intransitif
Verba ulang ini merupakan verba ulang yang tidak mewajibkan kehadiran konstituen di sebelah kanannya. Tidak seperti verba ulang yang transitif dan membutuhkan kostituen di sebelah kanannya. Sehingga hanya membutuhkan konstituen di sebelah kirinya sebgai subjek. Seperti contoh :
(41)  Suara Rita dan Dimas terdengar bersahut-sahutan.
(42)  Kemarin sebelum pulang, Irfan sempat berangan-angan.
(43)  Saat pulang, rumah Donny teracak-acak.
(44)  Nisa duduk-duduk di pelataran itu.
(45)  Dedy berlari-lari di tengah malam ini.
Pada kalimat (41-43), terlihat di situ tidak memerlukan konstituen di sebelah kanan verba ulang. Konstituen Suara Rita dan Dimas pada kalimat (41) dan Irfan pada kalimat (42) serta rumah Donny  pada kalimat (43) merupakan subjek dalam kalimat tersebut. Sedangkan untuk kalimat (44-45), konstituen di pelataran itu pada kalimat (44) dan di tengah malam ini pada kalimat (45) bukan sebagai kostituen di sebelah kanan seperti objek dan pelengkap, melainkan hanya keterangan tempat dan keterangan waktu.

3.        PENUTUPAN
3.1     Kesimpulan
Sebuah frasa tentu mempunyai bagian-bagian yaitu induk dan pewatas. Peran verba ulang dalam frasa yang mengandung verba ulang dan berkedudukan sebagai induk yaitu mempunyai peranan yang penting dan mempunyai fungsi sintaksis yang sama dengan keseluruhan peran yang lainnya. Sedangkan pewatas merupakan peran yang ikut membantu peran induk dalam terjadinya suatu frasa, tetapi tetap merupakan bagian yang penting dan akan dikaji. Dalam kajian klausa, kata ulang yang berkategori verba pada umumnya berfungsi sebagai predikat. Namun, ada juga yang bersifat sebagai subyek dan sangat jarang digunakan.
Verba ulang tentu dalam suatu kalimat mempunyai pengaruh bagi konstituen-konstituen terdekatnya. Konstituen-konstituen terdekat itu berada di sebelah kiri dan sebelah kanan verba ulang yang berperan sebagai predikat dalam suatu kalimat. Seperti pada umumnya, konstituen di sebelah kiri verba ulang dalam tatanan kalimat berfungsi sebagai subjek pada suatu kalimat. Sehingga daapat saya simpulkan bahwa kalimat-kalimat di atas yang mengandung verba ulang dan berfungsi sebagai predikat berpengaruh terhadap pemakaian subjeknya. Verba ulang tersebut harus sesuai dengan pemakaian subjeknya dalam suatu kalimat agar dapat diterima secara penalaran. Sedangkan untuk konstituen di sebelah kanan verba ulang dapat berupa objek, pelengkap, ataupun keterangan. Berbeda dengan konstituen di sebelah kiri verba ulang yang mendapat pengaruh dari verba ulang itu sendiri, konstituen di sebelah kanan verba ulang tidak mendapat pengaruh dari verba ulang itu dalam suatu kalimat.
Verba ulang pada umumnya pada suatu kalimat berfungsi sebagai predikat. Unsur yang terpenting dalam suatu kalimat atau klausa adalah adanya unsur perdikat ini. Sedangkan unsur seperti subjek, objek, pelengkap, dan keterangan merupakan unsur yang dalam suatu kalimat boleh hadir atau dihilangkan. Sehingga sifat dari unsur-unsur itu adalah tidak wajib hadir. Jenis verba ulang transitif ini merupakan verba ulang yang membutuhkan konstituen di sebelah kanan maupun di sebelah kiri. Umumnya konstituen itu berkategori nomina dan berfungsi sebagai subjek, objek, dan pelengkap dalam pemakaiannya di suatu kalimat. Verba ulang intransitif merupakan verba ulang yang tidak mewajibkan kehadiran konstituen di sebelah kanannya. Tidak seperti verba ulang yang transitif dan membutuhkan kostituen di sebelah kanannya. Sehingga hanya membutuhkan konstituen di sebelah kirinya sebgai subjek.
3.2     Saran
Makalah ini dibuat agar dapat menjadi dasar atau tumpuan bagi terciptanya responsif yang mengarah kepada bentuk penjagaan terhadap kekayaan kajian linguistik bahasa Indonesia. Saran ini ditujukan bagi siapa pun yang ingin peduli dan tetap menjaga kelestarian kajian lingusitik kita.
Agar makalah ini dapat diteruskan menjadi sesuatu yang lebih atau mampu meningkatkan pengetahuan kita terhadap kajian linguistik. Karena sangatlah penting jika kajian linguistik ini mampu mengalami peningkatan kualitas dan tetap menjadi acuan kajian linguistik bahasa Indonesia.

Daftar Pustaka
-          Ramlan, M. 1981. Sintaksis. Yogyakarta: UP Karyono.
-          Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Bentuk Kata Majemuk

BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
Pembicaraan mengenai bentuk majemuk setidaknya kita telah lebih dulu mengenal bidang morfologi. Bidang ini yang sesuai dengan arti harfiahnya yaitu membicarakan seluk beluk perubahan kata yang dapat membedakan makna kata dari awalnya. Karena bentuk majemuk merupakan salah satu bidang dalam proses morfologik. Menurut M. Ramlan :“… bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik.” (M. Ramlan, 1983:17).
Kami memaksudkan bentuk majemuk dalam tulisan ini yaitu bentuk majemuk kata, bukan bentuk majemuk dari suatu kalimat. Karena halnya kami membicarakan hal ini dalam bidang morfologi yang mempelajari seluk beluk perubahan kata bukan dalam bidang sintaksis. Dalam sintaksis juga terdapat pembahasan mengenai kata, tetapi dikaji mengenai hubungannya dengan kata lain. Terdapat batas antara kedua bidang ini yaitu pada kata. Kata dalam bidang morfologi merupakan satuan terbesar yang dipelajari. Menurut M. Ramlan : “Satuan yang paling kecil yang diselidiki oleh morfologi ialah morfem, sedangkan yang paling besar berupa kata” (M. Ramlan, 1983:19).
Bentuk majemuk merupakan salah satu proses morfologik, selain dua proses lainnya, yaitu proses pembubuhan afiks dan proses pengulangan kata. Seperti kata dasar rumah yang dapat berubah makna jika diubah menjadi perumahan, rumah-rumah, dan rumah sakit. Tulisan kami ini membahas tentang proses pemajemukan kata, beserta penjelasan dan contoh akan kami paparkan secara hati-hati.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Proses pemajemukan kata merupakan bagian dari salah satu proses morfologik. Bentuk majemuk kata merupakan bentuk kata yang berupa dua kata yang berbeda makna dan membentuk makna baru. Kami mengambil contoh kata majemuk yaitu mata kaki. Gabungan kata ini terdiri dari kata mata dan kaki. Kata mata yang berarti salah satu alat pengindraan yang digunakan untuk melihat, sedangkan kata kaki yang berarti salah satu organ yang paling bawah dan digunakan untuk menahan bagian tubuh kita bagian atas beserta untuk berjalan. Kita lihat dua makna itu berbeda dengan makna kata mata kaki. Tentu berbeda dengan makna kata mata kaki yang merupakan salah satu bagian dari kaki yang berfungsi sebagai engsle dan menghubungkan bagian telapak dan tulang kering. Proses pembentukan kata dengan penggabungan semacam itu disebut proses pemajemukan, dan kata yang dibentuk dengan proses ini disebut kata majemuk (M. Ramlan, 1983:45).
 Tetapi banyak yang meragukan jika kata majemuk asli berasal dari Indonesia. Terlepas dari hal itu, proses pemajemukan kata tetap ada dan diakui untuk memperkaya wawasan tata bahasa Indonesia. Penting hal ini untuk dicermati karena pemajemukan bukan sekedar asal menggabungkan kata saja, tetapi juga membentuk makna yang baru agar terlihat berbeda dengan frase.
Gabungan kata ini umumnya terdiri dari satu kata dan satu pokok kata. Kedua hal itu merupakan unsur-unsur baru yang membentuk suatu tatanan kata baru. Menurut M. Ramlan, “…ada juga kata majemuk yang terdiri dari satu kata dan pokok kata sebagai unsurnya,…”(M. Ramlan, 1983:67). Contoh-contohnya seperti ikat pinggang, kamar tunggu, lempar lembing, dan daya tahan.
2.2 Sifat kata majemuk
Berdasarkan sifat kata majemuk dengan melihat adanya inti dari pada kesatuan itu, maka kata majemuk dapat dibagi atas:
a. Kata majemuk yang bersifat eksosentris.
b. Kata majemuk yang bersifat endosentris.
Kata majemuk yang bersifat eksosentris adalah kata majemuk yang tidak mengandung satu unsur inti dari gabungan itu. Frasa eksosentris adalah frasa yang tidak mempunyai persamaan distribusi dengan unsurnya. Frasa ini tidak mempunyai unsur pusat. Jadi, frasa eksosentris adalah frasa yang tidak mempunyai unsur pusat. Dengan kata lain kedua-duanya merupakan inti. Contoh: tuamuda, hancurlebur, kakitangan, dan lain-lain.
Sebaliknya, jika ada satu unsur yang menjadi inti dari gabungan itu maka sifatnya endosentris. Frasa Endosentris, kedudukan frasa ini dalam fungsi tertentu, dapat digantikan oleh unsurnya. Unsur frasa yang dapat menggantikan frasa itu dalam fungsi tertentu yang disebut unsur pusat (UP). Contoh: saputangan, orangtua, matahari, dan lain-lain, dimana sapu, orang, dan mata merupakan unsur intinya.


2.3 Ciri-ciri kata majemuk
Lebih terinci Keraf (1982:125) menyatakan ciri-ciri kata majemuk sebagai berikut:
a. Gabungan itu membentuk satu arti yang baru. Hal ini dapat diartikan menjadi dua kata yang terbentuk dan membentuk makna baru. Seperti kata rumah sakit yang terdiri dari kata rumah dan kata sakit. Kedua kata itu membentuk makna baru yaitu tempat untuk menampung orang yang sedang sakit.
b. Gabungan itu dalam hubungannya ke luar membentuk satu pusat, yang menarik keterangan atas kesatuan itu, bukan atas bagian-bagiannya. Unsur kesatuan makna menjadi hal yang yang penting untuk ditinjau lebih lanjut.
c. Biasanya terdiri dari kata-kata dasar. Kata-kata turunan kurang dipakai dalam bentuk majemuk. Seperti kata rumah, mata, daya, dan lain-lain. Sedangkan kata menemani, terdalam, bersaudara, dan lain-lain tidak dipakai.
d. Terutama kata-kata majemuk yang bersifat endosentris, terbentuk menurut hukum DM    (Diterangkan mendahului Menerangkan). Kami mengambil contoh kata saputangan. Kita bagi menjadi dua bagian kata saputangan itu menjadi kata sapu dan kata tangan. Kata sapu menjadi bagian yang diterangkan dan kata tangan menjadi bagian yang menerangkan.
Ramlan (1983:69) mengemukakan ciri-ciri kata majemuk sebagai berikut.
l) Gabungan dua buah bentuk dasar (bentuk asal) atau lebih yang salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata termasuk kata majemuk.
Pokok kata yaitu bentuk lingual atau satuan gramatik yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa dan secara gramatis tidak memiliki sifat bebas tetapi dapat dijadikan bentuk dasar sutu kata kompleks. Bentuk yang terdiri dari bentuk dasarnya yang berupa morfem bebas dengan pokok kata atau pokok kata semua, maka gabungan tersebut pastilah termasuk kata majemuk. Contohnya: kolam renang, medan tempur, temu karya, tanggung jawab.
2) Unsur-unsur kata majemuk tidak mungkin dipisahkan atau tidak mungkin diubah strukturnya.
Kami mengambil contoh kata kamar mati. Bentuk kamar mati tidak dapat dipisahkan. menjadi kamar yang mati, begitu pula dengan kata meja makan, rumah sakit, kaki tangan, kamar kecil, tangan kanan. Bentuk-bentuk itu juga tidak dapat ditukar tempatnya menjadi mati kamar, makan meja, sakit rumah dan seterusnya. Bentuk-bentuk kaki tangan, kamar kecil, dan tangan kanan mungkin bisa dipisahkan oleh bentuk atau satuan yang atau dan.
2.4 Pendapat beberapa ahli
Kami memberi beberapa pengertian mengenai bentuk majemuk oleh beberapa ahli seperti Abdul Chaer, Soedjito, I. Gusti Ngurah Oka dan Suparno, dan Verhaar.
Soedjito, kata majemuk adalah hasil dari proses penggabungan dua kata atau lebih yang menimbulkan satu makna baru yang khusus. Menurut Soedjito, ciri-ciri kata majemuk adalah sebagai berikut:
-          Kata majemuk dibedakan dengan frasa.
-          Komponen kata majemuk tidak dapat dibalik susunannya.
Jika mengalami proses pembentukan kata, kata majemuk itu menjadi bentuk dasar secara utuh. Contoh: kereta api → perkeretaapian, tanggung jawab → pertanggungjawaban, kambing hitam → mengambinghitamkan. Salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata.
Verhaar (1978), menyebut suatu komposisi merupakan kata majemuk kalau adanya hubungan antar unsur yang bersifat sintaksis. Komposisi matahari, bumiputera, dan daya juang adalah kata majemuk, karena tidak mungkin matahari diakatakan sebagai matanya hari, berbeda dengan mata adik yang bisa dikatakan matanya adik. Bumiputera tidak bisa dikatakan menjadi bumi milik putera, berbeda bila bandingkan dengan bumi kita yang dapat dianalisis menjadi bumi milik kita. Kemudian daya juang yang tidak bisa dianalisis menjadi daya untuk berjuang. Matahari, bumiputera, dan daya juang adalah kata majemuk terbukti dari tidak dapat disisipkannya sesuatu di antara kedua unsurnya, menjadi matanya hari, bumi milik putera, dan daya untuk berjuang.
 I Gusti Ngurah Oka dan Suparno (1994), kata majemuk terdiri dari unsur-unsur yang anggotanya tidak dapat dipisahkan oleh unsur-unsur lain. Penyisipan unsur lain dalam kata majemuk itu mengakibatkan status kata majemuk menjadi bukan kata majemuk lagi. Kata majemuk merupakan suatu keutuhan sehingga jika mengalami proses morfologis mendapatkan perlakuan sebagai satu bentuk dasar. Untuk membuktikan berlakunya ciri itu dapat digunakan afiksasi dengan morfem simultan atau morfem kombinasi yang mengapit bentuk dasar. Kata tanda tangan, misalnya, merupakan kata majemuk yang terbukti dari pembentukannya dengan morfem meN-ia atau peN-an menjadi menandatangani atau penandatanganan.
Abdul Chaer (1994), berpendapat bahwa kata majemuk adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda atau yang baru. Kata majemuk terdapat dalam banyak bahasa. Misalnya lalu lintas, kipas angin, dan rumah sakit dalam bahasa Indonesia; akhirulkalam, malaikalmaut, dan hajarulaswad dalam bahasa Arab; dan blackboard, bluebird, dan greenhouse dalam bahasa Inggris. 

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.      Bentuk majemuk kata merupakan bentuk kata yang berupa dua kata yang berbeda makna dan membentuk makna baru.
2.      Kata majemuk yang bersifat endosentris adalah kata majemuk yang salah satu unsurnya merupakan inti dari gabungan itu.
3.      Kata majemuk yang bersifat eksosentris adalah kata majemuk yang tidak mengandung satu unsur inti dari gabungan itu.
Ciri-ciri kata majemuk yaitu Gabungan itu membentuk satu arti yang baru; Gabungan itu dalam hubungannya ke luar membentuk satu pusat, yang menarik keterangan atas kesatuan itu, bukan atas bagian-bagiannya; Biasanya terdiri dari kata-kata dasar; Terutama kata-kata majemuk yang bersifat endosentris, terbentuk menurut hukum DM (Diterangkan mendahului Menerangkan); Gabungan dua buah bentuk dasar (bentuk asal) atau lebih yang salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata termasuk kata majemuk; Unsur-unsur kata majemuk tidak mungkin dipisahkan atau tidak mungkin diubah strukturnya.

Lampiran :
Pertanyaan :
1.      Jelaskan perbedaan kata majemuk endosentris dengan eksosentris!
Kata majemuk yang bersifat eksosentris adalah kata majemuk yang tidak mengandung satu unsur inti dari gabungan itu. Frasa eksosentris adalah frasa yang tidak mempunyai persamaan distribusi dengan unsurnya. Frasa ini tidak mempunyai unsur pusat. Jadi, frasa eksosentris adalah frasa yang tidak mempunyai unsur pusat. Dengan kata lain kedua-duanya merupakan inti. Contoh: tuamuda, hancurlebur, kakitangan, dan lain-lain.
Sebaliknya, jika ada satu unsur yang menjadi inti dari gabungan itu maka sifatnya endosentris. Frasa Endosentris, kedudukan frasa ini dalam fungsi tertentu, dapat digantikan oleh unsurnya. Unsur frasa yang dapat menggantikan frasa itu dalam fungsi tertentu yang disebut unsur pusat (UP). Contoh: saputangan, orangtua, matahari, dan lain-lain, dimana sapu, orang, dan mata merupakan unsur intinya.
2.      Jelaskan ciri-ciri kata majemuk menurut Gorys keraf ?
a. Gabungan itu membentuk satu arti yang baru. Hal ini dapat diartikan menjadi dua kata yang terbentuk dan membentuk makna baru. Seperti kata rumah sakit yang terdiri dari kata rumah dan kata sakit. Kedua kata itu membentuk makna baru yaitu tempat untuk menampung orang yang sedang sakit.
b. Gabungan itu dalam hubungannya ke luar membentuk satu pusat, yang menarik keterangan atas kesatuan itu, bukan atas bagian-bagiannya. Unsur kesatuan makna menjadi hal yang yang penting untuk ditinjau lebih lanjut.
c. Biasanya terdiri dari kata-kata dasar. Kata-kata turunan kurang dipakai dalam bentuk majemuk. Seperti kata rumah, mata, daya, dan lain-lain. Sedangkan kata menemani, terdalam, bersaudara, dan lain-lain tidak dipakai.
d. Terutama kata-kata majemuk yang bersifat endosentris, terbentuk menurut hukum DM    (Diterangkan mendahului Menerangkan). Kami mengambil contoh kata saputangan. Kita bagi menjadi dua bagian kata saputangan itu menjadi kata sapu dan kata tangan. Kata sapu menjadi bagian yang diterangkan dan kata tangan menjadi bagian yang menerangkan.
3. Sebutkan dan jelaskan contoh kata dari unsur-unsur kata majemuk tidak mungkin dipisahkan atau tidak mungkin diubah strukturnya?
Kami mengambil contoh kata kamar mati. Bentuk kamar mati tidak dapat dipisahkan. menjadi kamar yang mati, begitu pula dengan kata meja makan, rumah sakit, kaki tangan, kamar kecil, tangan kanan. Bentuk-bentuk itu juga tidak dapat ditukar tempatnya menjadi mati kamar, makan meja, sakit rumah dan seterusnya. Bentuk-bentuk kaki tangan, kamar kecil, dan tangan kanan mungkin bisa dipisahkan oleh bentuk atau satuan yang atau dan.

4.      Jelaskan menurut Soejito pengertian kata majemuk?
Kata majemuk adalah hasil dari proses penggabungan dua kata atau lebih yang menimbulkan satu makna baru yang khusus. Menurut Soedjito, ciri-ciri kata majemuk adalah sebagai berikut:
-          Kata majemuk dibedakan dengan frasa.
-          Komponen kata majemuk tidak dapat dibalik susunannya.
Jika mengalami proses pembentukan kata, kata majemuk itu menjadi bentuk dasar secara utuh. Contoh: kereta api → perkeretaapian, tanggung jawab → pertanggungjawaban, kambing hitam → mengambinghitamkan. Salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata.
5.      Jelaskan perbedaan pengertian kata majemuk menurut Verhaar dan Abdul Chaer?
Menurut Verhaar : Komposisi matahari, bumiputera, dan daya juang adalah kata majemuk, karena tidak mungkin matahari diakatakan sebagai matanya hari, berbeda dengan mata adik yang bisa dikatakan matanya adik. Bumiputera tidak bisa dikatakan menjadi bumi milik putera, berbeda bila bandingkan dengan bumi kita yang dapat dianalisis menjadi bumi milik kita. Menurut Abdul Chaer : kata majemuk adalah hasil dan proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda atau yang baru.

DAFTAR PUSTAKA
-          Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2002. Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
-          Chaer, Abdul. 1993. Gramatika Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
-          Keraf, Gorys. 1982. Argumentasi & Narasi. Jakarta: Gramedia
-          Ramlan, M. 1985. Morfologi. Yogyakarta: CV Karyono.
-          Samsuri. 1987. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Verhaar, J. W. M. 1993. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Analisis cerita Tulap dan Inania: Teori fungsi W. Bascom

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Seperti yang diketahui, definisi folkor menurut Danandjaya yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaya, 1984: 2). Salah satu dari folkor itu adalah cerita rakyat. Cerita rakyat ini dibagi menurut Bascom menjadi tiga yaitu mite, legenda, dan dongeng.
Mite adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau, mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, Mite juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya (Bascom dalam Danannjaja, 1984: 50).
Legenda adalah cerita prosa rakyat, dianggap yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia yang kita kenal sekarang. Jan Harold Brunvand misalnya menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yakni (1) legenda keagamaan (religious legends), (2) legenda alam gaib (supernatural legends), (3) legenda perseorangan (personal legends), dan (4) legenda setempat (local legends).
Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Pendapat selanjutnya menyatakan bahwa dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi, diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran (Dananjaja, 1984: 83).
Maka karena itu, pemerintah berupaya lewat Departemen Budaya dan Pariwisata yang dengan giat telah mengadakan kegiatan penelitian dan pencatatan ke daerah-daerah. Kegiatan inventarisasi folklor yang direalisasikan oleh pemerintahan saat ini cukup mampu mendorong masyarakat untuk terus mengumpulkan cerita-cerita rakyat yang telah hadir di lingkungan masyarakat itu sendiri. Paling awal dan sederhana yaitu dengan menuliskan hasil informasi yang diterima dari para informan yang mengerti dan paham akan warisan budaya nenek moyang mereka. Hal ini perlu dilakukan karena sejatinya foklor itu hanya berupa tradisi lisan yang dipunyai oleh masyarakat pemiliknya secara kolektif dan belum pernah dihasilkan dalam bentuk tulis. Maka pemerintah modern ini telah mencoba merealisasikan tradisi lisan tersebut dalam bentuk sederhana yaitu berupa bunga rampai dan antologi cerita rakyat.
Dalam tahap pengumpulan ini pemerintah selanjutnya berupaya agar menjadikan bentuk sederahana itu menjadi sebuah buku berjilid yang tentu saja untuk memodernkan dan menarik pihak-pihak yang tidak sengaja merasa jauh dari tradisi lisan ini. Dengan adanya buku-buku yang menceritakan tentang kebudayaan dan tradisionalitas suatu daerah, maka pemerintah sangat mengharapkan agar cerita-cerita rakyat ini dapat dikenali oleh generasi penerus bangsa ini. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kelestarian warisan nenek moyang kita, serta kebudayaan yang terkandung di dalamnya berupa tradisi lisan.
Pembuatan makalah ini berlatar belakang dengan uraian di atas tentang salah satu upaya pemerintah untuk menjaga dan melestarikan warisan kebudayaan nenek moyang kita berupa cerita rakyat. Cerita rakyat itu akan dianalisis berdasarkan teori fungsi folklor milik Wiliiam R. Bascom. Tentunya setiap tradisi lisan berupa cerita rakyat mempunyai fungsi-fungsi tertentu bagi masyarakat kolektifnya. Dalam makalah ini, cerita berasal dari Sulawesi Utara yang dijadikan bahan untuk dianalisa berdasarkan teori fungsi milik William R. Bascom. Cerita dari Sulawesi Utara ini dipilih menjadi bahan analisa karena ingin mengetahui tentang kebudayaan yang menyertai cerita itu, apakah berbeda dengan cerita-cerita rakyat di daerah Jawa yang lebih banyak dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Tentu terdapat hal yang sama dalam bentuk cerita antara cerita dari Sulawesi Utara dan cerita dari Jawa. Terutama dalam nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Jawa pada umumnya, melainkan juga dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Utara.

1.2  Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu (1) menjabarkan secara cermat tentang pengaplikasian teori fungsi folklor milik William R. Bascom pada suatu cerita rakyat. Setidaknya kita mengetahui penjabaran teori ini apakah cukup relevan diterapkan pada cerita rakyat Indonesia serta mengetahui apakah teori ini telah cukup mengangkat nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
(2) Untuk mengatahui motif amanat yang ingin disampaikan dalam cerita rakyat tersebut. Amanat selalu hadir dalam setiap cerita rakyat tersebut baik tersirat maupun tersurat. Hal itu merupakan suatu yang penting agar para pembaca dan para pendengar dapat mengerti serta mengambil nilai-nilai yang terkandung. Tentu amanat itu dapat kita terapkan dalam kehidupan ini, meskipun telah mengalami modernisasi.
(3) Untuk mengetahui motif-motif lainnya cerita rakyat tersebut. Hal ini penting untuk pengamat dan peneliti foklor yang ingin mengeneralisasikan cerita-cerita rakyat nusantara. Seperti contoh, apakah masih terdapat motif penjelmaan manusia menjadi binatang atau sebaliknya juga hadir dalam cerita-cerita rakyat dari Sulawesi Utara dengan cerita-cerita rakyat dari Jawa.

1.3  Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam makalah ini yaitu teori fungsi folklor milik William R. Bascom. Teori fungsi folklor ini terdiri dari empat butir yaitu :
a.)    Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif;
b.)    Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan
c.)    Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device)
d.)   Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ringkasan Cerita
Cerita ini berasal dari salah satu daerah di Sulawesi Utara yang bernama Bolaan Mongondow. Judulnya yaitu Tulap dan Inania. Mereka merupakan makhluk yang berwujud raksasa dan terbiasa menjadikan manusia sebagai makanannya. Mereka merupakan sepasang kekasih yang hidup di tengah hutan pada suatu tempat yang mereka sebut dengan istana. Jika mereka mendapat anak kecil, maka akan ditangkap terlebih dahulu serta diberi makan agar setelah dewasa, dapat dijadikan makanan yang nikmat. Semua manusia bersembunyi di dalam rumah mereka karena takut dengan Tulap yang akan menagkapnya lalu memakannya.
Pada suatu saat, sang suami (Tulap) ingin pergi mancari mangsa untuk waktu yang agak lama. Hal ini ditujukan agar Tulap banyak membawa makanan di rumahnya. Tulap pun akhirnya pergi meninggalkan istananya dan pergi mencari makanan. Namun dia tidak ingin pergi sendirian, maka dia berusaha mencari teman yang bisa diajaknya pergi mancari makanan.
Tidak lama setelah ia keluar dari rumahnya, bertemulah Tulap dengan seorang manusia (laki-laki) yang tengah mencari kayu bakar untuk keperluan memasak. Setelah melihat Tulap, lelaki tersebut hilang semangatnya untuk mencari kayu karena takut akan dimakan oleh Tulap. Tulap yang bertubuh raksasa langsung datang dan berkata kepada lelaki itu: “Hai manusia, jangan kamu takut karena aku tidak memakanmu. Marilah kita bersama-sama mencari pergi mencari maknan. Tiap hari makananku adalah manusia, tapi kali ini aku sudah bosan memakan daging manusia. Hari ini kita bersama-sama pergi mancari burung sebagai pengganti manusia sebagai teman pemakan nasi.” Tubuh lelaki itu manjadi gemetar ketika diajak bicara dengan Tulap dan hanya bisa mengangguk saja. Akhirnya Tulap mengajak lelaki itu untuk berjalan.
Setalah mereka berjalan bersama, mereka menemukan jarum dan peniti. Tulap menyuruh lelaki itu untuk mengambilnya dan menyimpannya, tak lama itu mereka bertemu dengan onggokan cirit manusia dan Tulap pun menyuruhnya untuk mengambil sebagai makanan ternak ketika pulang nanti. Tidak lama kemudian mereka menemukan kayu pemukul untuk memecah batang sagu, dan Tulap menyuruh lelaki itu untuk membawanya.
Setalah sekian lama mereka berjalan memasuki hutan, mereka bertemu dengan seekor tikus jantan yang besar. Bertanyalah Tulap kepada Tikus itu: “Hai, hendak pergi kemana kau Tikus?” Tikus pun menjawab: “Aku ini disuruh oleh istriku pergi mancari makanan.” Lalu Tulap membalas bicaranya: “Marilah Tikus, engkau ikut dengan kami, supaya kita bertiga pergi bersama-sama mencari makanan.” Tikus pun menuruti kemauan Tulap dan berjalanlah mereka bertiga. Tulap dan lelaki itu berjalan pelan karena telah lelah berjalan sekian lama, sementara Tikus masih kuat dengan meloncat-loncat.
Mereka bertiga berjalan telah jauhnya hingga bertemu dengan seekor Lipan yang besar. Bertanyalah Tulap kepada Lipan itu: “Hai, hendak pergi kemana kau Lipan?” Lipan pun menjawab: “Aku ini disuruh oleh istriku pergi mancari makanan. Anak-anak kami banyak dan masih terlalu kecil untuk pergi mancari makanan. Belum sanggup untuk mencari makanan sendiri.” Lalu Tulap membalas bicaranya: “Marilah Lipan, engkau ikut dengan kami, supaya kita berempat pergi bersama-sama mencari makanan.” Lipan pun menuruti kemauan Tulap dan berjalanlah mereka berempat. Tulap berjalan paling depan, diikuti oleh lelaki itu, lalu Tikus besar, dan Lipan.
Tidak lama setelah mereka berempat berjalan, mereka bertemu dengan seekor burung Mutuol yang sedang mengeram hendak bertelur. Tulap bertanya kepada burung Mutuol itu: “Apa yang kau lakukan di situ hai burung Mutuol?” Burung Mutuol menjawab: “Aku ini sedang mengeram karena masih akan bertelur.” Tulap membalasnya: “Alangkah jika baiknya kau kami bawa pulang ke rumahku. Nanti di sana kau dapat bertelur lagi.” Akhirnya mereka berlima jalan pulang menuju istana Tulap.
Dalam perjalanan yang jauh ini, Tulap terlihat berjalan sangat lambat bersama lelaki itu, tetapi lelaki itu merasa gembira karena dia berjalan ditemani oleh Tikus besar, Lipan besar, dan burung Mutuol. Namun Tulap merasa lelah dan istirahat berhenti sejenak. Tulap ingin agar teman-temannya berjalan lebih dahulu, karena dia ingin istirahat sebentar sembari mancari manusia untuk dimakan. Mereka akhirnya meninggalkan Tulap dan bersenang diri karena telah terhindar dari kematian oleh Tulap.
Setelah sampai pada istana Tulap, keempatnya memasuki istana itu dan tidak melihat Inania, istri Tulap yang tengah juga mencari manusia untuk dimakan. Setelah itu, keempatnya bernufakat untuk mencari cara agar dapat memusnahkan Tulap yang telah terkenal memakan manusia. Karena pada saat itu juga Tulap tengah berlari cepat-cepat dalam perjalanan pulang menuju istananya setelah kenyang memakan seorang manusia sehingga energinya bertambah. Pada saat itu juga lelaki itu akhirnya memimpin dan mengotaki rencana untuk membunuh Tulap bersama Tikus besar, Lipan besar, dan burung Mutuol. Mereka berencana menggunakan barang-barang yang dibawa pulang tadi seperti jarum, peniti, onggokan cirit manusia, dan kayu pemukul, serta menggunakan barang-barang yang ada di istana Tulap tersebut.
Setelah mereka mempersiapkan semuanya dengan cermat, datanglah Tulap dan langsung istirahat di tempat tidurnya karena kelelahan berlari jauh dan tidak menghiraukan keberadaan teman-teman seperjalanannya tadi serta tidak menanyakan kemana pergi Inania istrinya.
Tulap yang tengah mendengkur dengan kerasnya, tiba-tiba datanglah Tikus besar mendekatinya untuk mengigit telinga Tulap. Pada saat bersamaan burung Mutuol telah memadamkan lampu kamarnya sehingga sangat gelap gulita istana Tulap itu. Tulap terbangun dan tersungkur pada tikar dekat tempat tidurnya yang telah tertancap jarum dan peniti. Terkenalah tangan Tulap oleh jarum dan peniti tersebut. Tulap selanjutnya berjalan menuju dapur untuk menghidupkan api di dapur, namun burung Mutuol mengepakan sayapnya sehngga abu-abu masuk ke mata Tulap. Tulap yang tangah menggosok matanya menuju ke tempat periam untuk  mengambil air dan membasuh mukanya. Tatapi sebelum ia menuangkan air ke mukanya, ia telah digigit oleh Lipan pada lengannya yang telah berdiam diri di pegangan periam itu. Tersentaklah ia dengan membuang periam itu dan berjalan keluar rumah untuk meminta pertolongan, namun ia malah terpeleset dan terjatuh dengan kerasnya oleh onggokan cirit yang telah ditaruh lelaki itu di depan pintunya. Akhirnya lelaki itu memukul kepala Tulap yang setengah sadar dengan kayu pemukul yang dibawa tadi hingga tamat riwayat dari pemangsa manusia yang sangat ditakuti oleh banyak orang ini.
2.2 Analisis fungsi folklor William R. Bascom
Penganalisisan cerita rakyat Sulawesi Utara yang berjudul Si Tulap dan Si Inania lebih ditentukan oleh teori fungsi folklor milik William R. Bascom. Karena teori fungsi folklor milik William R. Bascom ini telah dipakai oleh banyak pihak untuk menganalisis tradisi lisan atau folklor khususnya yang bergenre cerita rakyat daerah. Bahkan telah banyak ditulis dan dicantumkan dalam tulisan-tulisan ilmiah pada penelitian tentang kebudayaan daerah atau tradisonal. Setidaknya fungsi-fungsi dalam teori itu mampu mendeskripsikan dan menggambarkan secara jelas perihal kebudayaan yang terkait minimal mendekati ketepatan pranata kebudayaannya.
Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif. Terkait dengan fungsi folkor tersebut, cerita ini mempunyai suatu keinginan atau angan-angan yang tentu yang sangat diharapkan oleh kolektif masyarakat daerah Sulawesi Utara untuk mampu mereka wujudkan. Tentu fungsi ini mampu dan masih ada hingga zaman modern ini, tidak hanya pada masa lampau masyarakat ini.
Fungsi ini yang terkait dengan cerita itu dilambangkan dengan adanya makhluk raksasa yang bernama Tulap sangat menakutkan, karena menangkap setiap manusia yang hadir di depannya lalu memakannya. Hal ini terjadi karena menurut Tulap manusia itu merupakan sumber energinya. Maka manusia pada saat itu khususnya rakyat Bolaang Mongondow sangat takut akan hadirnya Tulap dan ditengarai sebagai penyebab kurang berkembangbiaknya populasi manusia pada saat itu dan menginginkan agar Tulap dapat dibinasakan. Keinginan ini sangat ingin diwujudkan agar manusia dapat tenang menjalani hidup. Sehingga tidak terus terpikir akan gangguan Tulap. Secara generalisasi, fungsi ini berkeinginan untuk menghilangkan segala bentuk simbol kejahatan atau simbol kekejaman. Hal ini berarti tidak untuk masa lalu, tetapi kehidupan sekarang dan masa depan, karena setiap bentuk kejahatan hadir dalam bentuk yang berbeda-beda. Seperti penjajahan era Belanda dan Jepang. Jika disamakan dengan Tulap yang terus mengusik hidup masyarakat Bolaang Mongondow, era penjajahan juga telah menganggu ketentraman hidup masyarakat Indonesia termasuk masyarakat Bolaang Mongondow. Maka tepatlah jika fungsi ini untuk memproyeksikan keinginan masyarakat kolektifnya yang ingin segera mengulangkan segala bentuk kejahatan yang hadir.
Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Cerita rakyat ini juga membenarkan sekaligus mengesahkan pranata dan lembaga kebudayaan yang terdapat pada kebudayaan tersebut. Setiap kebudayaan tentu mempunyai pranata sosial seperti kerja sama, gotong royong, dan saling membantu antar rakyatnya. Termasuk di kebudayaan Sulawesi Utara ini, kebudayaan itu disebut dengan mapalus. Mapalus merupakan suatu bantuan yang diberikan dalam suatu kegiatan, berupa tenaga, barang-barang ataupun uang, bersama dengan bentuk-bentuk penghormatan dan penghargaan, selalu harus disadari dan diberikan balasannya (Koentjaraningrat, 2002: 156). Dari pernyataan tersebut terlihat pranata sosial yang menjunjung tinggi solidaritas dan responsitas. Prinsip timbal balik tersebut disebut dengan ma’ando.
Dalam cerita tersebut, diceritakan adanya kegiatan saling membantu antar lelaki tersebut dengan para kerabat lainnya, seperti Tikus besar, Lipan besar, dan burung Mutuol. Sesuai dengan adat Mapalus, saling membantu antar sesama untuk mengalahkan segala bentuk kejahatan seperti Tulap. Hal itu dilakukan karena Tulap telah dianggap sebagai penghalang kebahagiaan masyarakat Bolaang Mongondow pada saat itu. Prinsip timbal balik tercermin pada saat lelaki itu beserta para kerabatnya merencanakan dan melaksanakan pembunuhan Tulap. Hal ini menandakan bahwa Tulap harus membayar apa yang telah ia lakukan selama ini. Karena suatu tindak laku pasti ada tanggung jawabnya, termasuk apa yang Tulap lakukan.
Beralih pada fungsi folklor selanjutnya, sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device). Cerita rakyat ini tentu terdapat nilai-nilai yang dianggap dapat sebagai nilai edukasi terhadap anak-anak pada saat itu. Karena lewat cerita ini, anak-anak mampu mengembangkan pikirannya untuk menilai dan mengambil nilai positif yang harus dimiliki oleh mereka serta nilai negatif yang harus mereka buang jauh dari pikirannya. Karena hal itu dapat menghambat pola perkembangan pikirannya.
Fungsi ini disimbolkan sebagai alat pengajar pada anak-anak agar dalam menghadapi musuh yang besar dan kuat harus dipergunakan akal dan kerjasama, bukan hanya fisik saja. Hal ini penting untuk dicerna, karena musuh mereka pada saat itu berbadan raksasa seperti Tulap dan diperlukan akal yang positif untuk mengalahkan raksasa itu.
Hingga pada fungsi terakhir yaitu sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Hal ini penting untuk dipahami sebagai fungsi yang tetap menjadi pegangan setiap kolektifitasnya dalam berkehidupan. Karena norma-norma ini sangat penting sebagai tradisi yang harus dipertahankan sebagai peninggalan leluhur tiap kolektifnya.
Seperti norma hidup masyarakat Minahasa mengenai hakikat hidup individu dalam kesatuan masyarakat. Terkait dengan hal itu, tokoh daerah yang berpengaruh di Minahasa, Sam Ratulangi telah menonjolkan kembali suatu orientasi nilai budaya Minahasa yang rupanya dibenarkan oleh penulis-penulis dan kalangan cendekiawan orang Minahasa, yaitu konsepsi si tou timou tumou tou, yang artinya seorang manusia menjadi manusia dalam peranannya menghidupkan manusia lain (Koentjaraningrat, 2002: 165).
Dalam cerita rakyat tersebut, dapat dikatakan bahwa Tulap melanggar norma di atas. Seharusnya Tulap sebagai mahkluk yang terkuat dibandingkan dengan manusia-manusia lain sesuai konsepsi tersebut dapat mambantu hidup manusia, bukannya malah membunuhnya dan memakannya. Hadirnya tokoh lelaki itu beserta para kerabatnya sebagai pembela, pengawas, dan pemaksa agar norma-norma masyarakat Minahasa dapat dipatuhi para anggota kolektifnya. Peran mereka berperan sebagai pemaksa untuk Tulap mau mempertanggungjawabkan segala tindakan Tulap selama ini. Selanjutnya mereka sebagai pengawas norma-norma itu terlihat saat mereka melakukan tindakan responsif atas apa yang dilakukan oleh Tulap selama ini. Tindakan responsif itu dilakukan karena telah melihat terdapat peluang yang ada untuk menamatkan riwayat Tulap yang telah banyak menimbulkan ketakutan para masyarakat, meskipun mereka selamat sampai istana Tulap padahal mereka telah melakukan perjalanan jauh dengan Tulap dan dia telah berbaik hati pada lelaki itu dan kerabatnya untuk tidak dimakan saat lapar.
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Makalah ini dapat mengambil kesimpulan bahwa teori fungsi folklor milik William R. Bascom dapat diterakan pada cerita rakyat ini untuk dapat mengetahui adat, pranata, dan kehidupan rakyat Minahasa dengan dibantu oleh rujukan pustaka lainnya yang berhubungan dengan kebudayaan Minahasa. Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif; Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device); Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Penafsiran dan analisis cerita tersebut berdasarkan teori fungsi folklor milik William R. Bascom. Diharapkan penganalisisan makalah ini tepat setidaknya mendekati kebenaran yang sesuai kebudayaan Minahasa.
Namun cerita ini tidak terdapat motif penjelmaan manusia menjadi mahkluk lainnya atau sebaliknya seperti cerita-cerita tradisional lainnya. Tetapi cerita ini tidak menghilangkan kesan pralogisnya sesuai ciri-ciri tradisi lisan yaitu adanya mahkluk besar yang menakutkan dan adanya hewan-hewan yang berbicara dan mengerti bahasa manusia.





Daftar Pustaka
-          Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
-          Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
-          Adam, L. 1976. Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa. Jakarta: Bhratara
-          Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Balai Pustaka
-          Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat. 1994. Cerita Rakyat Nusantara. Analisis Struktur Cerita dan Fungsi Motif Penjelmaan. Jakarta