Postkolonialis pada cerpen Sinai (modernitas dan hak kuasa).
Dalam cerpen ini, postkolonialisme terlihat berdasarkan modernitas yang ada dan menjadi simbol serta ciri khas cerpen ini. Pengaruh budaya yang diberikan oleh negara penyebar budaya ini teraplikasi dalam kehidupan modern yang tampak dalam arus cerita ini. Tentu hal ini menjadi tepat pada saatnya, karena modernitas benar-benar merupakan alat yang tepat untuk melangsungkan panjajahan pikiran serta budaya sosial masyarakat. Karena juga memang tidak terlihat nyata bentuk penjajahan era modern serta terlepas dari kolonilaisme.
Kehidupan Sinai merupakan contoh konkret dari penerapan modernitas yang bersumbu pada postkolonialisme. Kehidupan modern ala Sinai menjadi suatu daya tarik tersendiri karena modernitas yang dianut benar-benar merupakan kehidupan mewah dunia barat serta kegemerlapan malam yang menghibur. Ciri orang dan kehidupan yang modern mungkin identik dengan individualis, pergaulan bebas, dan sarat akan industrialisasi yang tentu merupakan produk barat. Maka pergaulan bebas menjadi pijakan atas awal penceritaan cerpen ini. Pergi ke diskotek merupakan kegiatan yang tentu merupakan tidak berfaedah dalam kehidupan sosial serta budaya masyarakat, tetapi hal itu tentu ditentang oleh pihak barat. Karena pihak barat memang menginginkan kehidupan bebas tanpa ada peraturan yang mengikat seperti norma-norma yang ada dalam kehidupan timur.
Gaya hidup hedonis merupakan akibat dari modernitas yang berkembang di lapisan masyarakat. Masyarakat yang tertinggal akan semakin tertinggal dengan adanya modernitas ini, dan masyarakat yang maju tentu akan semakin maju. Adanya alat musik seperti DJ pada cerpen itu, cukup mengidentifikasikan bahwa teknologi modern berada satu paket dalam modernisme dengan gejalanya yaitu industrialisasi serta globalisasi. Tempat diskotek itu dulu merupakan bangunan gereja tua yang seharusnya tetap menjadi tempat suci bagi umat kristiani dan dijaga kesakralannya. Tidak seperti cerita itu yang malah dijadikan diskotek sebagai tempat dosa-dosa yang bertemu dan bertukar pikiran.
Sinai merupakan nama suatu gunung yang disucikan atau dikuduskan menurut kitab Injil. Dalam cerita itu diceritakan bahwa ayah Sinai memberi nama Sinai kepadanya agar selalu terlihat suci dan tidak sembarangan disentuh oleh banyak orang seperti gunung Sinai yang memang dilarang untuk dinaiki siapapun terkecuali jika pada hari kiamat telah tiba. Maka dari itu, Sinai seharusnya tetap suci dan tetap menghormati nama yang diberikan oleh ayahnya. Tetapi tidak, dia melanggar itu semua setelah ayahya meninggal serta memilih malam sebagai kehidupannya.
‘Hak kuasa atas’ terlihat dalam cerpen ini, sehingga bergeneralisasi pada hak kuasa atas perempuan oleh laki-laki. Tentu hal ini berkaitan erat dengan budaya patriarkhi dimana laki-laki memegang hak kuasa atas perempuan termasuk hidup-matinya. Hal ini gampang terlihat ketika sosok tukang cerita “aku” ini merupakan berjenis kelamin laki-laki dan tengah menceritakan kepada kita tentang kehidupan perempuan yang bernama Sinai.
‘Hak kuasa atas’ ini mulai terlihat ketika “aku” ini mendeskripsikan tentang pakaian dan aksesoris yang digunakan serta menebak kemana akan pergi Sinai pada hari jumat malam. Hal ini menandakan berarti “aku” seolah-olah mengetahui segalanya tentang Sinai dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya dalam cerita itu, ketika Sinai dengan lelaki di diskotek sedang melakukan hal dosa. Diawali dengan “Yang kini bergerak hanya kedua tangan lelaki itu yang menjelajahi tubuh Sinai”. Tentu hal ini juga menandakan bahwa kaum laki-laki memegang hak kuasa atas tubuh perempuan.
Selanjutnya, ketika ayahnya tidak mengabulkan permintaan Sinai untuk berganti nama dan memberi Sinai batasan jam malam serta mengharuskan Sinai membaca Injil setiap jam 6 sore. Hal itu juga merupakan pertanda bahwa sosok ayah yang merupakan laki-laki berhak penuh atas hidup Sinai yang berkelamin perempuan. Sang ayah menentukan hidup Sinai, seharusnya sang ayah tidak seperti itu dan membiarkan Sinai memilih jalan hidupnya toh pada akhirnya Sinai memang melanggar semua apa yang dilarang dan diperintahkan ayahnya. Melompat pada akhir cerita itu ketika Sinai dibunuh oleh “aku”. Hal ini lagi-lagi mengidentikan bahwa laki-laki memegang peranan penting atas hidup-mati seorang perempuan seperti halnya budaya patriarkhi ketika “aku” membunuh Sinai dengan alasan mengkuduskan kembali Sinai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar