BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seperti yang diketahui, definisi folkor menurut Danandjaya yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaya, 1984: 2). Salah satu dari folkor itu adalah cerita rakyat. Cerita rakyat ini dibagi menurut Bascom menjadi tiga yaitu mite, legenda, dan dongeng.
Mite adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau, mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, Mite juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya (Bascom dalam Danannjaja, 1984: 50).
Legenda adalah cerita prosa rakyat, dianggap yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia yang kita kenal sekarang. Jan Harold Brunvand misalnya menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yakni (1) legenda keagamaan (religious legends), (2) legenda alam gaib (supernatural legends), (3) legenda perseorangan (personal legends), dan (4) legenda setempat (local legends).
Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Pendapat selanjutnya menyatakan bahwa dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi, diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran (Dananjaja, 1984: 83).
Maka karena itu, pemerintah berupaya lewat Departemen Budaya dan Pariwisata yang dengan giat telah mengadakan kegiatan penelitian dan pencatatan ke daerah-daerah. Kegiatan inventarisasi folklor yang direalisasikan oleh pemerintahan saat ini cukup mampu mendorong masyarakat untuk terus mengumpulkan cerita-cerita rakyat yang telah hadir di lingkungan masyarakat itu sendiri. Paling awal dan sederhana yaitu dengan menuliskan hasil informasi yang diterima dari para informan yang mengerti dan paham akan warisan budaya nenek moyang mereka. Hal ini perlu dilakukan karena sejatinya foklor itu hanya berupa tradisi lisan yang dipunyai oleh masyarakat pemiliknya secara kolektif dan belum pernah dihasilkan dalam bentuk tulis. Maka pemerintah modern ini telah mencoba merealisasikan tradisi lisan tersebut dalam bentuk sederhana yaitu berupa bunga rampai dan antologi cerita rakyat.
Dalam tahap pengumpulan ini pemerintah selanjutnya berupaya agar menjadikan bentuk sederahana itu menjadi sebuah buku berjilid yang tentu saja untuk memodernkan dan menarik pihak-pihak yang tidak sengaja merasa jauh dari tradisi lisan ini. Dengan adanya buku-buku yang menceritakan tentang kebudayaan dan tradisionalitas suatu daerah, maka pemerintah sangat mengharapkan agar cerita-cerita rakyat ini dapat dikenali oleh generasi penerus bangsa ini. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kelestarian warisan nenek moyang kita, serta kebudayaan yang terkandung di dalamnya berupa tradisi lisan.
Pembuatan makalah ini berlatar belakang dengan uraian di atas tentang salah satu upaya pemerintah untuk menjaga dan melestarikan warisan kebudayaan nenek moyang kita berupa cerita rakyat. Cerita rakyat itu akan dianalisis berdasarkan teori fungsi folklor milik Wiliiam R. Bascom. Tentunya setiap tradisi lisan berupa cerita rakyat mempunyai fungsi-fungsi tertentu bagi masyarakat kolektifnya. Dalam makalah ini, cerita berasal dari Sulawesi Utara yang dijadikan bahan untuk dianalisa berdasarkan teori fungsi milik William R. Bascom. Cerita dari Sulawesi Utara ini dipilih menjadi bahan analisa karena ingin mengetahui tentang kebudayaan yang menyertai cerita itu, apakah berbeda dengan cerita-cerita rakyat di daerah Jawa yang lebih banyak dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Tentu terdapat hal yang sama dalam bentuk cerita antara cerita dari Sulawesi Utara dan cerita dari Jawa. Terutama dalam nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Jawa pada umumnya, melainkan juga dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Utara.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu (1) menjabarkan secara cermat tentang pengaplikasian teori fungsi folklor milik William R. Bascom pada suatu cerita rakyat. Setidaknya kita mengetahui penjabaran teori ini apakah cukup relevan diterapkan pada cerita rakyat Indonesia serta mengetahui apakah teori ini telah cukup mengangkat nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
(2) Untuk mengatahui motif amanat yang ingin disampaikan dalam cerita rakyat tersebut. Amanat selalu hadir dalam setiap cerita rakyat tersebut baik tersirat maupun tersurat. Hal itu merupakan suatu yang penting agar para pembaca dan para pendengar dapat mengerti serta mengambil nilai-nilai yang terkandung. Tentu amanat itu dapat kita terapkan dalam kehidupan ini, meskipun telah mengalami modernisasi.
(3) Untuk mengetahui motif-motif lainnya cerita rakyat tersebut. Hal ini penting untuk pengamat dan peneliti foklor yang ingin mengeneralisasikan cerita-cerita rakyat nusantara. Seperti contoh, apakah masih terdapat motif penjelmaan manusia menjadi binatang atau sebaliknya juga hadir dalam cerita-cerita rakyat dari Sulawesi Utara dengan cerita-cerita rakyat dari Jawa.
1.3 Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam makalah ini yaitu teori fungsi folklor milik William R. Bascom. Teori fungsi folklor ini terdiri dari empat butir yaitu :
a.) Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif;
b.) Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan
c.) Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device)
d.) Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ringkasan Cerita
Cerita ini berasal dari salah satu daerah di Sulawesi Utara yang bernama Bolaan Mongondow. Judulnya yaitu Tulap dan Inania. Mereka merupakan makhluk yang berwujud raksasa dan terbiasa menjadikan manusia sebagai makanannya. Mereka merupakan sepasang kekasih yang hidup di tengah hutan pada suatu tempat yang mereka sebut dengan istana. Jika mereka mendapat anak kecil, maka akan ditangkap terlebih dahulu serta diberi makan agar setelah dewasa, dapat dijadikan makanan yang nikmat. Semua manusia bersembunyi di dalam rumah mereka karena takut dengan Tulap yang akan menagkapnya lalu memakannya.
Pada suatu saat, sang suami (Tulap) ingin pergi mancari mangsa untuk waktu yang agak lama. Hal ini ditujukan agar Tulap banyak membawa makanan di rumahnya. Tulap pun akhirnya pergi meninggalkan istananya dan pergi mencari makanan. Namun dia tidak ingin pergi sendirian, maka dia berusaha mencari teman yang bisa diajaknya pergi mancari makanan.
Tidak lama setelah ia keluar dari rumahnya, bertemulah Tulap dengan seorang manusia (laki-laki) yang tengah mencari kayu bakar untuk keperluan memasak. Setelah melihat Tulap, lelaki tersebut hilang semangatnya untuk mencari kayu karena takut akan dimakan oleh Tulap. Tulap yang bertubuh raksasa langsung datang dan berkata kepada lelaki itu: “Hai manusia, jangan kamu takut karena aku tidak memakanmu. Marilah kita bersama-sama mencari pergi mencari maknan. Tiap hari makananku adalah manusia, tapi kali ini aku sudah bosan memakan daging manusia. Hari ini kita bersama-sama pergi mancari burung sebagai pengganti manusia sebagai teman pemakan nasi.” Tubuh lelaki itu manjadi gemetar ketika diajak bicara dengan Tulap dan hanya bisa mengangguk saja. Akhirnya Tulap mengajak lelaki itu untuk berjalan.
Setalah mereka berjalan bersama, mereka menemukan jarum dan peniti. Tulap menyuruh lelaki itu untuk mengambilnya dan menyimpannya, tak lama itu mereka bertemu dengan onggokan cirit manusia dan Tulap pun menyuruhnya untuk mengambil sebagai makanan ternak ketika pulang nanti. Tidak lama kemudian mereka menemukan kayu pemukul untuk memecah batang sagu, dan Tulap menyuruh lelaki itu untuk membawanya.
Setalah sekian lama mereka berjalan memasuki hutan, mereka bertemu dengan seekor tikus jantan yang besar. Bertanyalah Tulap kepada Tikus itu: “Hai, hendak pergi kemana kau Tikus?” Tikus pun menjawab: “Aku ini disuruh oleh istriku pergi mancari makanan.” Lalu Tulap membalas bicaranya: “Marilah Tikus, engkau ikut dengan kami, supaya kita bertiga pergi bersama-sama mencari makanan.” Tikus pun menuruti kemauan Tulap dan berjalanlah mereka bertiga. Tulap dan lelaki itu berjalan pelan karena telah lelah berjalan sekian lama, sementara Tikus masih kuat dengan meloncat-loncat.
Mereka bertiga berjalan telah jauhnya hingga bertemu dengan seekor Lipan yang besar. Bertanyalah Tulap kepada Lipan itu: “Hai, hendak pergi kemana kau Lipan?” Lipan pun menjawab: “Aku ini disuruh oleh istriku pergi mancari makanan. Anak-anak kami banyak dan masih terlalu kecil untuk pergi mancari makanan. Belum sanggup untuk mencari makanan sendiri.” Lalu Tulap membalas bicaranya: “Marilah Lipan, engkau ikut dengan kami, supaya kita berempat pergi bersama-sama mencari makanan.” Lipan pun menuruti kemauan Tulap dan berjalanlah mereka berempat. Tulap berjalan paling depan, diikuti oleh lelaki itu, lalu Tikus besar, dan Lipan.
Tidak lama setelah mereka berempat berjalan, mereka bertemu dengan seekor burung Mutuol yang sedang mengeram hendak bertelur. Tulap bertanya kepada burung Mutuol itu: “Apa yang kau lakukan di situ hai burung Mutuol?” Burung Mutuol menjawab: “Aku ini sedang mengeram karena masih akan bertelur.” Tulap membalasnya: “Alangkah jika baiknya kau kami bawa pulang ke rumahku. Nanti di sana kau dapat bertelur lagi.” Akhirnya mereka berlima jalan pulang menuju istana Tulap.
Dalam perjalanan yang jauh ini, Tulap terlihat berjalan sangat lambat bersama lelaki itu, tetapi lelaki itu merasa gembira karena dia berjalan ditemani oleh Tikus besar, Lipan besar, dan burung Mutuol. Namun Tulap merasa lelah dan istirahat berhenti sejenak. Tulap ingin agar teman-temannya berjalan lebih dahulu, karena dia ingin istirahat sebentar sembari mancari manusia untuk dimakan. Mereka akhirnya meninggalkan Tulap dan bersenang diri karena telah terhindar dari kematian oleh Tulap.
Setelah sampai pada istana Tulap, keempatnya memasuki istana itu dan tidak melihat Inania, istri Tulap yang tengah juga mencari manusia untuk dimakan. Setelah itu, keempatnya bernufakat untuk mencari cara agar dapat memusnahkan Tulap yang telah terkenal memakan manusia. Karena pada saat itu juga Tulap tengah berlari cepat-cepat dalam perjalanan pulang menuju istananya setelah kenyang memakan seorang manusia sehingga energinya bertambah. Pada saat itu juga lelaki itu akhirnya memimpin dan mengotaki rencana untuk membunuh Tulap bersama Tikus besar, Lipan besar, dan burung Mutuol. Mereka berencana menggunakan barang-barang yang dibawa pulang tadi seperti jarum, peniti, onggokan cirit manusia, dan kayu pemukul, serta menggunakan barang-barang yang ada di istana Tulap tersebut.
Setelah mereka mempersiapkan semuanya dengan cermat, datanglah Tulap dan langsung istirahat di tempat tidurnya karena kelelahan berlari jauh dan tidak menghiraukan keberadaan teman-teman seperjalanannya tadi serta tidak menanyakan kemana pergi Inania istrinya.
Tulap yang tengah mendengkur dengan kerasnya, tiba-tiba datanglah Tikus besar mendekatinya untuk mengigit telinga Tulap. Pada saat bersamaan burung Mutuol telah memadamkan lampu kamarnya sehingga sangat gelap gulita istana Tulap itu. Tulap terbangun dan tersungkur pada tikar dekat tempat tidurnya yang telah tertancap jarum dan peniti. Terkenalah tangan Tulap oleh jarum dan peniti tersebut. Tulap selanjutnya berjalan menuju dapur untuk menghidupkan api di dapur, namun burung Mutuol mengepakan sayapnya sehngga abu-abu masuk ke mata Tulap. Tulap yang tangah menggosok matanya menuju ke tempat periam untuk mengambil air dan membasuh mukanya. Tatapi sebelum ia menuangkan air ke mukanya, ia telah digigit oleh Lipan pada lengannya yang telah berdiam diri di pegangan periam itu. Tersentaklah ia dengan membuang periam itu dan berjalan keluar rumah untuk meminta pertolongan, namun ia malah terpeleset dan terjatuh dengan kerasnya oleh onggokan cirit yang telah ditaruh lelaki itu di depan pintunya. Akhirnya lelaki itu memukul kepala Tulap yang setengah sadar dengan kayu pemukul yang dibawa tadi hingga tamat riwayat dari pemangsa manusia yang sangat ditakuti oleh banyak orang ini.
2.2 Analisis fungsi folklor William R. Bascom
Penganalisisan cerita rakyat Sulawesi Utara yang berjudul Si Tulap dan Si Inania lebih ditentukan oleh teori fungsi folklor milik William R. Bascom. Karena teori fungsi folklor milik William R. Bascom ini telah dipakai oleh banyak pihak untuk menganalisis tradisi lisan atau folklor khususnya yang bergenre cerita rakyat daerah. Bahkan telah banyak ditulis dan dicantumkan dalam tulisan-tulisan ilmiah pada penelitian tentang kebudayaan daerah atau tradisonal. Setidaknya fungsi-fungsi dalam teori itu mampu mendeskripsikan dan menggambarkan secara jelas perihal kebudayaan yang terkait minimal mendekati ketepatan pranata kebudayaannya.
Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif. Terkait dengan fungsi folkor tersebut, cerita ini mempunyai suatu keinginan atau angan-angan yang tentu yang sangat diharapkan oleh kolektif masyarakat daerah Sulawesi Utara untuk mampu mereka wujudkan. Tentu fungsi ini mampu dan masih ada hingga zaman modern ini, tidak hanya pada masa lampau masyarakat ini.
Fungsi ini yang terkait dengan cerita itu dilambangkan dengan adanya makhluk raksasa yang bernama Tulap sangat menakutkan, karena menangkap setiap manusia yang hadir di depannya lalu memakannya. Hal ini terjadi karena menurut Tulap manusia itu merupakan sumber energinya. Maka manusia pada saat itu khususnya rakyat Bolaang Mongondow sangat takut akan hadirnya Tulap dan ditengarai sebagai penyebab kurang berkembangbiaknya populasi manusia pada saat itu dan menginginkan agar Tulap dapat dibinasakan. Keinginan ini sangat ingin diwujudkan agar manusia dapat tenang menjalani hidup. Sehingga tidak terus terpikir akan gangguan Tulap. Secara generalisasi, fungsi ini berkeinginan untuk menghilangkan segala bentuk simbol kejahatan atau simbol kekejaman. Hal ini berarti tidak untuk masa lalu, tetapi kehidupan sekarang dan masa depan, karena setiap bentuk kejahatan hadir dalam bentuk yang berbeda-beda. Seperti penjajahan era Belanda dan Jepang. Jika disamakan dengan Tulap yang terus mengusik hidup masyarakat Bolaang Mongondow, era penjajahan juga telah menganggu ketentraman hidup masyarakat Indonesia termasuk masyarakat Bolaang Mongondow. Maka tepatlah jika fungsi ini untuk memproyeksikan keinginan masyarakat kolektifnya yang ingin segera mengulangkan segala bentuk kejahatan yang hadir.
Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Cerita rakyat ini juga membenarkan sekaligus mengesahkan pranata dan lembaga kebudayaan yang terdapat pada kebudayaan tersebut. Setiap kebudayaan tentu mempunyai pranata sosial seperti kerja sama, gotong royong, dan saling membantu antar rakyatnya. Termasuk di kebudayaan Sulawesi Utara ini, kebudayaan itu disebut dengan mapalus. Mapalus merupakan suatu bantuan yang diberikan dalam suatu kegiatan, berupa tenaga, barang-barang ataupun uang, bersama dengan bentuk-bentuk penghormatan dan penghargaan, selalu harus disadari dan diberikan balasannya (Koentjaraningrat, 2002: 156). Dari pernyataan tersebut terlihat pranata sosial yang menjunjung tinggi solidaritas dan responsitas. Prinsip timbal balik tersebut disebut dengan ma’ando.
Dalam cerita tersebut, diceritakan adanya kegiatan saling membantu antar lelaki tersebut dengan para kerabat lainnya, seperti Tikus besar, Lipan besar, dan burung Mutuol. Sesuai dengan adat Mapalus, saling membantu antar sesama untuk mengalahkan segala bentuk kejahatan seperti Tulap. Hal itu dilakukan karena Tulap telah dianggap sebagai penghalang kebahagiaan masyarakat Bolaang Mongondow pada saat itu. Prinsip timbal balik tercermin pada saat lelaki itu beserta para kerabatnya merencanakan dan melaksanakan pembunuhan Tulap. Hal ini menandakan bahwa Tulap harus membayar apa yang telah ia lakukan selama ini. Karena suatu tindak laku pasti ada tanggung jawabnya, termasuk apa yang Tulap lakukan.
Beralih pada fungsi folklor selanjutnya, sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device). Cerita rakyat ini tentu terdapat nilai-nilai yang dianggap dapat sebagai nilai edukasi terhadap anak-anak pada saat itu. Karena lewat cerita ini, anak-anak mampu mengembangkan pikirannya untuk menilai dan mengambil nilai positif yang harus dimiliki oleh mereka serta nilai negatif yang harus mereka buang jauh dari pikirannya. Karena hal itu dapat menghambat pola perkembangan pikirannya.
Fungsi ini disimbolkan sebagai alat pengajar pada anak-anak agar dalam menghadapi musuh yang besar dan kuat harus dipergunakan akal dan kerjasama, bukan hanya fisik saja. Hal ini penting untuk dicerna, karena musuh mereka pada saat itu berbadan raksasa seperti Tulap dan diperlukan akal yang positif untuk mengalahkan raksasa itu.
Hingga pada fungsi terakhir yaitu sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Hal ini penting untuk dipahami sebagai fungsi yang tetap menjadi pegangan setiap kolektifitasnya dalam berkehidupan. Karena norma-norma ini sangat penting sebagai tradisi yang harus dipertahankan sebagai peninggalan leluhur tiap kolektifnya.
Seperti norma hidup masyarakat Minahasa mengenai hakikat hidup individu dalam kesatuan masyarakat. Terkait dengan hal itu, tokoh daerah yang berpengaruh di Minahasa, Sam Ratulangi telah menonjolkan kembali suatu orientasi nilai budaya Minahasa yang rupanya dibenarkan oleh penulis-penulis dan kalangan cendekiawan orang Minahasa, yaitu konsepsi si tou timou tumou tou, yang artinya seorang manusia menjadi manusia dalam peranannya menghidupkan manusia lain (Koentjaraningrat, 2002: 165).
Dalam cerita rakyat tersebut, dapat dikatakan bahwa Tulap melanggar norma di atas. Seharusnya Tulap sebagai mahkluk yang terkuat dibandingkan dengan manusia-manusia lain sesuai konsepsi tersebut dapat mambantu hidup manusia, bukannya malah membunuhnya dan memakannya. Hadirnya tokoh lelaki itu beserta para kerabatnya sebagai pembela, pengawas, dan pemaksa agar norma-norma masyarakat Minahasa dapat dipatuhi para anggota kolektifnya. Peran mereka berperan sebagai pemaksa untuk Tulap mau mempertanggungjawabkan segala tindakan Tulap selama ini. Selanjutnya mereka sebagai pengawas norma-norma itu terlihat saat mereka melakukan tindakan responsif atas apa yang dilakukan oleh Tulap selama ini. Tindakan responsif itu dilakukan karena telah melihat terdapat peluang yang ada untuk menamatkan riwayat Tulap yang telah banyak menimbulkan ketakutan para masyarakat, meskipun mereka selamat sampai istana Tulap padahal mereka telah melakukan perjalanan jauh dengan Tulap dan dia telah berbaik hati pada lelaki itu dan kerabatnya untuk tidak dimakan saat lapar.
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Makalah ini dapat mengambil kesimpulan bahwa teori fungsi folklor milik William R. Bascom dapat diterakan pada cerita rakyat ini untuk dapat mengetahui adat, pranata, dan kehidupan rakyat Minahasa dengan dibantu oleh rujukan pustaka lainnya yang berhubungan dengan kebudayaan Minahasa. Sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif; Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device); Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Penafsiran dan analisis cerita tersebut berdasarkan teori fungsi folklor milik William R. Bascom. Diharapkan penganalisisan makalah ini tepat setidaknya mendekati kebenaran yang sesuai kebudayaan Minahasa.
Namun cerita ini tidak terdapat motif penjelmaan manusia menjadi mahkluk lainnya atau sebaliknya seperti cerita-cerita tradisional lainnya. Tetapi cerita ini tidak menghilangkan kesan pralogisnya sesuai ciri-ciri tradisi lisan yaitu adanya mahkluk besar yang menakutkan dan adanya hewan-hewan yang berbicara dan mengerti bahasa manusia.
Daftar Pustaka
- Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
- Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
- Adam, L. 1976. Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa. Jakarta: Bhratara
- Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Balai Pustaka
- Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat. 1994. Cerita Rakyat Nusantara. Analisis Struktur Cerita dan Fungsi Motif Penjelmaan. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar