BAB I
Pendahuluan
Karya milik Seno Gumira Adji ini yang berjudul Atas Nama Malam merupakan kumpulan cerita yang menceritakan tentang kehidupan malam berikut peristiwa yang terjadi. Tentu malam yang dimaksud merupakan malam pada waktu sebenarnya dengan suasana gelap dan berimpas pada terjadinya suatu peristiwa yang serius dianggap masyarakat pada umumnya sebagai hal yang negatif. Kaum perempuan masih dijadikan sebagai objek dalam kumpulan cerpen ini, tapi tidak sebanyak seperti kumpulan cerpen Sihir Perempuan milik Intan Paramadhita. Cerita ini juga tidak sedetail menceritakan sisi kelam dunia kewanitaan, tapi menceritakan tentang kebangkitan wanita yang semu. Kebangkitan yang dimaksud adalah kebangkitan para wanita yang tidak bisa dibilang sepenuhnya berhasil atau dengan kata lain kebangkitan para wanita yang meninggalkan sesuatu yang terasa ganjil untuk dicermati.
Seperti yang banyak disinggung, karya sastra dianggap sebagai objek estetik jika karya itu telah melalui proses pemikiran oleh manusia sebagai sesuatu yang berguna sekaligus menyenangkan (dulce et utile). Jika tidak, maka karya itu menjadi benda mati yang disebut artefak dengan balutan historitas sesuai jaman saat terciptanya beserta semangat jaman yang terkandung. Selanjutnya untuk menjadikan karya itu sebagai objek yang memiliki kandungan estetik, maka kita harus mendahului dengan proses membaca. “Proses membaca yaitu memberi makna pada sebuah teks tertentu, yang kita pilih, atau yang dipaksakan kepada kita adalah proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam.” (Teeuw, A. 1983 :12). Sesuai dengan kutipan tersebut, kita sebagai pembaca hendaknya tidak asal membaca dan memberi kesan estetis pada karya tersebut semaunya kita. Memang hal itu merupakan salah satu akibat yang diterima dari proses resepsi, tetapi kita juga harus mencapai ketepatan kita dalam mendekati karya tersebut agar sesuai dengan apa yang diinginkan pengarangnya. Selain itu kita juga harus lebih menguasai tentang kode-kode yang diperlukan dalam menilai karya sastra itu, yaitu kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya yang terkandung dalam karya tersebut. Maka setelah mengaplikasikan hal itu, tentunya kita baru dapat memberi makna terhadap karya itu. “Manusia pembaca adalah homo significans: pemberi makna, melalui dunia rekaan, kepada kehidupannya, penyingkap kebenaran eksistensinya dalam dunia nyata yang dihadapinya.” (Teeuw, A. 1983 :35).
Berkaitan dengan uraian tersebut, kumpulan cerpen ini baiknya diteliti dengan menggunakan metode kritik sastra feminisme. Metode ini dipakai untuk memberi respon terhadap sisi kewanitaan yang tentu ingin diakui ke-eksistensiannya dengan berbagai dimensi yang melingkari dan mengekornya. Pembaca tentu menggunakan metode ini dengan tidak lupa pada kode-kode yang ada dan dicampuradukan dengan sisi kewanitaan. Maka akan dihasilkan uraian berisikan kritik (penilaian) terhadap kewanitaan yang mencoba bangkit dari budaya patriarki yang pernah mem-overprotektif terhadap wanita dulunya. Sebagian cerpen yang digunakan untuk peneltian ini yaitu : Pelajaran Mengarang dan Bulan di Atas Kampung. Unsur kebangkitan wanita yang ingin menuntut pengakuan dan persamaan tentu hadir dalam judul-judul tersebut.
BAB II
Pembahasan
Dalam tulisan ini, sisi kewanitaan akan menjadi objek utama yang dibahas. Terutama mengenai kebangkitan yang dicoba diraih oleh para wanita, namun ironisnya budaya patriarki tetap menjadi halangan yang kuat untuk ditaklukan. Apalagi jika budaya tersebut menjadi padu atau memang sengaja dibuat padu dengan logosentrisme, maka sisi kewanitaan akan tetap menjadi sesuatu yang bergerak percuma karena terus selalu berada di bawah kaum lelaki.
Hendaknya metode kritik feminisme-lah yang pantas digunakan untuk tidak hanya meneliti tetapi juga untuk mendobrak selaput tatanan patriarki yang selalu mereduksi nilai wanita dan menganggap di bawah kuasa laki-laki. Selain itu, tulisan ini juga akan mengintertekstual antar cerpen-cerpen ini. Hemat katanya, metode kritik feminisme yang akan mendekontruksi wacana budaya laki-laki pemegang kuasa penuh atas wanita. Sehingga tidak terdapat salah persepsi mengenai tulisan ini yang bernada patriarki pada judulnya.
Dimulai dengan cerpen yang berjudul Pelajaran Mengarang. Dari judul tersebut, tentu kita sebagai pembaca awal akan sulit menemukan maksud yang terkandung. Hingga kita baru bisa sadar pada petunjuk latar cerita ini yang berkondisikan kehidupan malam.
... Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas kasur yang sepreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
Dari latar suasana tempat seperti itu, dapat kita generalisasikan bahwa Sandra (anak kelas V SD) hidup dalam tempat yang seharusnya tidak boleh ditinggali oleh seorang gadis kecil yang masih kelas V SD. Hal itu tentu berefek negatif pada Sandra yang masih menempuh jenjang pendidikan. Sekolah dasar merupakan jenjang pendidikan yang menanami nilai-nilai dasar dan moral, maka jenjang ini tentu sebagai pintu masuknya berbagai informasi yang diterima dari lingkungan sekitarnya.
Seharusnya ibunya yang berkerja sebagai PSK dapat berpikir serius tentang tumbuh-kembang anaknya jika terus dipaksa berhubungan secara tidak langsung oleh pekerjaannya. Jangan dikira Sandra sebagai anak kecil yang masih duduk di jenjang dasar tidak mengerti akan pekerjaan ibunya. Hal ini berimpas pada kesulitan melaksanakan kegiatan di sekolah, Sandra terlihat mengalami kesulitan yang tak berarti bagi seorang anak SD lainnya. Hal dasar, Sandra harus bingung dalam mengerjakan tugas mengarang. Tokoh Sandra mengalami kesulitan, “Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus benar-benar mengarang” (hal. 66). Benar-benar mengarang seperti apa yang dilaui dan dialami sebagai anak kecil yang seharusnya mendapatkan pengalaman-pengalaman senang.
“Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik” (hal. 69). Petikan kalimat tersebut mencoba menyeimbangi keburukan yang dilakukan oleh sang ibu dengan kebaikan agar Sandra tidak mengikuti jejak ibunya. Hal ini tentu wajar dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya agar mendapatkan kehidupan yang pantas dan lebih baik dari ibunya. Kasih sayang ibunya diceritakan agar mendapat kesan positif yang tentu masih dirasa kurang oleh Sandra. Kecintaan sang ibu pada Sandra memang sangatlah besar, tetapi tidak jika saat sang ibu berkerja.
“Apakah wanita itu ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian” (hal. 68). Dari kalimat tersebut, terlihat jika sang ibu mengambil jalan hidup ini tentu dengan pengorbanan, tidak asal menerima dan melakukannya dengan ikhlas. Tentunya pekerjaan ini didahului dengan proses pemikiran yang berat, namun tetap salah dalam mengambil langkah. Semua ini tentunya diakibatkan oleh budaya patriarki. Meskipun tidak terdapat keterangan mengenai lelaki penyebab ibunya Sandra melakukan pekerjaan itu, tentu kita dengan pengalaman-pengalaman pembacaan dan hidup telah dapat menebak bahwa para lelaki-lah yang menyebabkan wanita melakukan pekerjaan tersebut. Tentu saja kita menyebut ayah Sandra-lah yang menyebabkan ibunya seperti itu sebagai probabilitas penyebab. Seolah ini menandakan bahwa wanita selalu berada di bawah kuasa kaum lelaki.
Kebangkitan tentu terdapat dalam cerita ini, yaitu kebangkitan sang Ibu yang mampu bangkit untuk segera melupakan ayah Sandra. Awalnya kita harus mengapresiasi usaha yang dilakukan oleh ibu Sandra, karena hal itu tentu dilakukan dengan mengorbankan banyak hal, serta dilakukan untuk dapat bertahan hidup dan memenuhi sekaligus menafkahi kebutuhan Sandra sebagai satu-satunya harta yang dipunyai oleh ibunya. Tetapi jika dilihat dengan bijaksana, Sandra malah merasa sedih dan tidak terpenuhi kebutuhan batinnya meski kebutuhan fisiknya terpenuhi. Tentu hal itu dikarenakan oleh pekerjaan ibunya. Maka pantas jika cerita ini mengandung nilai kebangkitan wanita yang semu atau percuma. Benar jika wanita dalam cerita ini mengalami proses pemikiran untuk bangkit dengan usaha yang ada. Tetapi percuma jika kebangkitan tersebut hanya bernilai baik sementara, tidak untuk selamanya. Sandra, anaknya tentu yang menjadi korban terakhir dari pekerjaan ibunya. Jadi percuma melakukan kebangkitan yang salah dan mengakibatkan kesengsaraan pada anaknya.
Beralih ke cerita selanjutnya yang berjudul Bulan di Atas Kampung. Judul tersebut merupakan latar suasana dari cerita ini. Judul itu merupakan latar waktu yang menyimbolkan bahwa kejadian ini terjadi di antara pukul 18.00 – 06.00. Dalam cerita ini, tepatnya mengambil waktu sekitar pukul 5.00 – 6.00 ketika pagi hari sudah tiba, tetapi bulan masih bisa dilihat dari kampung tempat latar cerita ini berlangsung. Hingga dapat disimpulkan jika pada kurun waktu tersebut terjadi suatu peristiwa pada tokoh utama, selebihnya berupa ingatan tokoh utama (Naro) terhadap masa lalunya.
Cerita ini diawali oleh latar keadaan tempat yang jorok dan berbanding lurus terhadap latar keadaan fisik serta suasana hati Naro yang berjalan pada tempat itu. Peran latar ini dalam cerita tersebut sangat terlihat sebagai awal masuknya Naro dalam pemikiran masa lalunya.
... Tembok-tembok masih hingar-bingar dengan grafiti warna-warni, nama-nama gang yang ganjil, dan kata-kata jorok, tak senonoh, kampungan, yang memang hanya cocok dituliskan di tembok sebuah kampung yang kumuh dengan comberan hitam kotor menggenang berbau petai seperti itu.
... Ia hanya mabuk. Tepatnya setengah mabuk. Ia setengah mabuk dan lelah setelah sepanjang malam bermain kartu, bermain gitar, dan minum-minum sekadar supaya kehidupan yang kelam terasa agak lebih nyaman.
... Bukan masih pagi, melainkan sudah pagi. Embun membasahi atap-atap seng. Seekor anjing berjingkat melintas dengan ringan, bayang-baynagnnya jelas memanjang dalam cahaya bulan. Naro meludah. Mulutnya pahit karena rokok dan minuman keras murahan.
... Naro mengusap matanya karena gelisah dengan perasaan yang menyergap dadanya, tai rembulan itu tetap saja di sana, cahayanya menyepuh mega-mega yang berarak seperti pesta karnaval.
Lantas, ia teringat bapaknya.
Keadaan-keadaan seperti itulah yang awalnya mendorong Naro untuk melihat kembali pada masa lalunya. Naro diceritakan sedang pulang menuju rumahnya dengan keadaaan mabuk setelah minum minuman keras. Tentunya mabuk merupakan hal yang dilakukan untuk pelarian dari masalah-masalah kehidupan yang ada. Namun, masalah-masalah itu akan tetap hadir dan bahkan membuat masalah itu semakin rumit dan tidak menemukan jalan keluar yang pasti. Seperti yang dialami oleh Naro, minuman keras justru membuatnya menikmati kesedihan masa lalunya yang tentu masih mengendap di dirinya dan masih berlangsung hingga sekarang.
Sosok ibu Naro tentu menjadi sorotan dalam tulisan ini, karena terlepas dari pokok bahasan tulisan ini yang membahas tentang kritik feminisme, juga ibu merupakan sosok yang pantas untuk dimintai pertanggungjawaban atas kelakuan anaknya. Sosok ayah yang seharusnya lebih diwajibkan untuk dimintai pertanggungjawaban, tetapi sang ibu lebih mempunyai banyak waktu untuk melihat tumbuh-kembang anaknya. Ironisnya, sang ibu salah melangkah dalam hal itu.
Tetapi jika ditelaah lebih mendalam, sang ayah tetap menjadi titik fokus utamanya dalam perkembangan Naro. Memang kesan sang ayah tidak pernah buruk terhadap Naro secara langsung, namun sang ayah menghilang di saat Naro membutuhkannya dalam pertumbuhannya. Pertumbuhan yang dimaksud yaitu bagaimana Naro seharusnya mendapat tuntunan dari seorang ayah untuk dapat mengerti dan mengaplikasikan apa yang berlangsung di lingkungan sekitarnya. Malah Naro mendapat tuntunan seorang ibu yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
“Aku kerja banting tulang dan dia hilang entah kemana. Dasar bajingan!” (hal. 116). Hal itu diucapkan oleh ibu Naro yang kesal terhadap ayah Naro. Hingga dapat disimpulkan jika ibu Naro berbuat seperti itu dikarenakan laki-laki dalam sosok ayah Naro yang hilang pergi meninggalkan Naro dan ibunya. Sang Ayah seharusnya menafkahi hidup lahir dan batin mereka. Penyebab sang ibu menjadi seperti itu dikarenakan ulah sang ayah.
“Tiada satu pun teman laki-laki ibunya, yang selalu datang berganti-ganti, bisa begitu menyenangkan seperti bapaknya.” (hal. 116). Patriarki terlihat sebagai penyebab utamanya, tak hanya ayah Naro, tetapi teman-teman laki-laki ibu Naro yang sering hadir dan tidur di rumah Naro juga menjadi petanda bahwa kaum lelaki memegang kuasa penuh atas hidup serta masa depan wanita.
Sosok ibu dalam kajian feminisme memang melakukan pekerjaan yang mampu menyeimbangi bahkan melebihi pendapatan sang ayah. Sehingga tercerminlah sosok wanita modern yang tak mau kalah dengan pria. Hal itu juga dapat dipertahankan ketika ayah Naro meninggalkan Naro dan ibunya. Namun kesalahan dalam mengambil langkah yang diperoleh ibunya untuk melanjutkan hidup tanpa ayah Naro. Harus diakui ketabahan dan kebangkitan ibu Naro untuk melanjutkan hidup, tetapi juga terlihat ironis jika melihat sosok Naro yang tentu sedih dengan apa yang dialaminya dan dikarenakan oleh kelakuan ibu Naro.
Untuk membandingkan dua karya tersebut, tepatnya menggunakan metode intertekstual agar terlihat rinci segala perbedaan yang hadir dalam dua cerita ini. Perbandingan ini mengacu pada alur dan penokohan cerita. Alur kedua cerita ini diwarnai oleh beberapa peristiwa yang telah dilalui para tokoh utamanya : Sandra dalam Pelajaran Mengarang dan Naro dalam Bulan di Atas Kampung. Dalam cerita-cerita itu, Sandra merupakan anak kecil yang masih sekolah di jenjang SD, sedangkan Naro telah cukup umur untuk minum dan pulang pada pagi hari. Karena hal itu, terlihat jika Naro lebih melompat jauh ke belakang ketika sang ayah belum hilang hingga dia telah tinggal dengan ibunya. Berbeda dengan Sandra yang hanya melompat beberapa hari atau bulan ke belakang. Hal itu dicermati, karena Sandra mengingat yang telah ia lewati ketika mendapat pelajaran mengarang di sekolah. Selebihnya, alur berjalan maju setelah proses pengingatan itu selesai hingga akhir cerita.
Untuk penokohan, Sandra yang masih kecil hanya bisa meratapi dan menangisi apa yang terjadi di dirinya. Sedangkan Naro yang telah dewasa, tidak hanya menangisi dan meratapi, tetapi juga melakukan tindakan responsif terhadap apa yang terjadi. Wajar kedua tokoh ini melakukan hal seperti itu. Hal ini dikarenakan Sandra masih terbilang kecil dan tidak mampu melakukan apapun, dia juga masih ikut dengan ibunya, hingga dia hanya bisa menangis. Sedangkan Naro yang telah dewasa dan mengerti, mencoba melakukan tindakan responsif dengan mengambil pisau dapur yang akan dihujamkan. Hal ini terjadi karena Naro telah merasa kecewa terus menerus terhadap tingkah laku ibunya yang sangat kotor dan menjijikan.
Bab III
Penutupan
Karya milik Seno Gumira Adji ini yang berjudul Atas Nama Malam merupakan kumpulan cerita yang menceritakan tentang kehidupan malam berikut peristiwa yang terjadi. Kumpulan cerpen yang menghadirkan realitas kehidupan malam hari ini berisikan tentang baik-buruknya manusia dalam perspektif hidup dalam malam hari.
Setidaknya hal itu, tercermin dan terinterpretasi pada dua karya yang dibahas di atas yaitu Pelajaran Mengarang dan Bulan di Atas Kampung. Cerita-cerita itu benar menghidupkan dunia malam beserta para pelaku-pelaku yang hadir dengan sisi negatifnya. Sesuai dengan budaya patriarki, kaum wanita hadir di dalamnya. Hal ini terjadi dikarenakan memang wanita yang sesuai budaya yang terbiasa hadir di masyarakat selalu tampak dalam kehidupan malam dan menjadi pihak yang terjajah atau dikuasai oleh para lelaki. Tentu hal itu merupakan responsif terhadap apa yang disebut falogosentrisme. Sehingga hal itu dapat dikatakan sebagai suatu kebangkitan yang semu, kebangkitan yang percuma didapat oleh para wanita tetapi tidak berfungsi lebih terhadap dunia sekitarnya yang mendukungnya.
Sumber Bacaan
- Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
- Jatman, Darmanto. 1985. Sastra, Psikologi dan Masyarakat. Bandung: Alumni.
- Junus, Umar. 1985. Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Jakarta: Gramedia.
- Mohamad, Goenawan. 1981. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar Harapan.
- Hardjana, Andre. 1983. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
- Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Williem G. Weststeijn. 1989. Pengantar Ilmu Sastra, terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Budianta, Melani. 2002. “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial,” Bahan Pelatihan Teori Kritik Sastra. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar