Karya milik Darmanto Jatman ini menyerupai cerpen dan penuh akan unsur postkolonialis. Sajak ini dibuat dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-50 tahun. Sajak ini diceritakan sebagai sebuah ‘laporan’ oleh seorang bernama Bilung kepada Ratu Belanda untuk memamerkan hasil pembangunan Indonesia sebagai mantan negara jajahannya sekaligus meminta bantuan dana kepada Belanda yang sudah tidak bernafsu lagi unutk menjajah. Dari judulnya saja, meskipun tidak mendominasi, tetapi sudah menjadi penanda bahwa teks ini terdapat unsur kolonialnya dan masa sesudahnya yang erat berhubungan. Terlihat di sini unsur bahasa menjadi media penghubung untuk dapat menetukan pendekatan seperti apa yang harus dilalukan terhadap teks ini.
Empat bahasa dari judulnya saja dapat kita lihat jelas dengan adanya perpaduan etnis budaya yang berhubungan. Yaitu adanya bahasa Inggris sebagai penghubung antara masa kolonial dan masa setelah kolonialnya.bahasa internasional dapat dikatakan sebagai tanda arus globalisasi yang sudah masuk ke setiap jengkal budaya masyarakat Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris juga dapat dikatakan sebagai tanda persetujuan untuk hadirnya kolonialisasi baru yang tidak disadari masyarakat telah hadir dalam hidup mereka. Selanjutnya bahasa Belanda yang terdapat disini menandakan adanya historiskal kolonialisme antara Indonesia dengan Belanda yang telah tiga seperempat abad hadir lamanya dan mencoba memberikan pengaruh terhadap Indonesia baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sehingga berdampak masih terdapat sedikit banyak bahasa Belanda yang telah dipakai di Indonesia. Bahasa Indonesia yang terdapat dalam sajak ini menyimbolkan bahasa kaum yang tunduk pada kolonialisasi Belanda dan bersifat melemah serta menyembah Belanda. Bahasa daerah Jawa sendiri merupakan bahasa yang dimiliki oleh bangsa kita sendiri. Dalam bahasa tersebut juga masih ada sekat-sekat tebal yang membatasinya, yaitu bahasa Jawa dianggap bahasa yang kuno, ketinggalan zaman dan bahasanya orang-orang pedesaan. Ironisnya, bahasa Jawa di sajak ini digunakan sebagai bentuk kolonialisasi yang baru dalam bangsa Indonesia ini. Karena bahasa Jawa merupakan bahasa orang-orang yang menguasai berbagai daerah di Indonesia dewasa ini. Hak kuasa besar terdapat pada bahasa Jawa yang menyimbolkan etnis Jawa atas daerah-daerah lainnya di Indonesia. Namun bahasa kaum Jawa ini juga bersifat terjajah pada saat kolonialisasi Belanda sehingga terdiri dari dua sifat yaitu menguasai dan yang dikuasai. Selain empat bahasa tersebut juga masih ada bahas-bahasa orang Jakarta modern misalnya “elu-elu, gua-gua”,. Hal ini disebabkan karena pergeseran budaya dan untuk memberi sekat antara yang modern (budaya Jakarta modern serta Jawa) dan yang kuno (daerah lainnya).
Beralih ke sisi sosial masyarakatnya. Darmanto Jatman menyajikan suatu keadaan masyarakat Indonesia yang masih melaksanakan progam transmigrasi yang dicanangkan oleh kolonial. Hal itu tentu menandakan gejala kolonial yang masih terasa. Globalisasi yang berkembang pada zaman itu, adat dan budaya Indonesia pun dinilai makin luntur. Globalisasi dalam sajak ini dapat dilihat dengan pemakaian bahasa Inggris serta masuknya barang-barang elektronik dan transportasi yang lebih canggih seperi parabola dan Honda. Serta banyaknya tanah-tanah subur milik dan atas nama rakyat seharusnya berupa sawah maupun kebun rempah-rempah yang mulai dijadikan area industrialisasi. Tanah-tanah subur tersebut dikelola menjadi Country Clubs, Golf Courses, Celeng Hunting Grounds, Agrobisnis, termasuk bisnis property alias kondominium. Hal ini tentu suatu kritik pengarang yang ditujukan langsung kepada para feodalis yang ada pada saat itu. Karena telah mengambil hak milik rakyat yang kemungkinan bisa digunakan untuk menyejahterakan rakyat.
Sisi bahasa yang digunakan sebagai media penceritaan dan sisi sosial yang menyimbolkan atmosfer kehidupan cukup untuk menyimpulkan atau menginterpretasi teks sajak ini sebagai kritik sosial kepada pemerintah. Hal ini tentu terjadi karena pemerintah Indonesia masih saja berkutat pada dominasi kolonial yang tentu tidak saja memiskinkan masyarakatnya, melainkan memutuskan untuk acuh terhadap rakyatnya sekaligus melegalkan kolonial menguasai tiap infrastruktur kehidupan. Maka teks ini adalah ucapan terimakasih yang bernada ironis atas sejarah kolonial yang telah dilanjutkan oleh kader-kader modernisasi dalam memasuki era globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar