Hear U'r God

Hear U'r God
Sebuah potret atas ilham-ilham yang akan Allah berikan pada kita untuk kekuatan kita menempuh hidup di dunia ini. Dengarkan baik-baik setiap dengungan nadanya, intonasinya, dan warnanya yang membentuk suatu kesatuan petunjuk kebenarannya..

Selasa, 12 Juli 2011

Wahdatul Wujud ala Syekh Siti Jenar dalam drama Syekh Siti Jenar Babad Geger Pengging

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Setiap masyarakat bahasa, setiap suku, atau kelompok tertentu sering memiliki spesifikasi di bidang kesastraan. karya sastra merupakan bangunan bahasa yang didasarkan pada konvensi tertentu. Dari konvensi itu timbulah jenis sastra yang beraneka ragam, yang di antara keanekaragaman jenis sastra itu terdapatlah sastra sufi, yang merupakan bagian dari sastra keagamaan.
Istilah sufi berasal darl bahasa Arab dengan arti menunjuk kepada pelakunya, yaitu orang yang melakukan kegiatan tasawuf. Sedangkan mistik dapat berarti ‘batin’, ‘gaib’, dan dalam perkembangan selanjutnya, dapat disamaartikan dengan tasawuf. Bertolak dari pemakaian katanya, sastra sufi menuntut adanya relevansi penulis dengan hasil karyanya, sedangkan sastra mistik dapat hanya berorientasi kepada hasil karyanya, tanpa ada konsekuensi bahwa si penulis harus sebagai pelaku kegiatan mistik atau "mistikus"?. Dalam "pembukaan" Adam Makrifatnya Danarto terdapat pengakuan dari penulis bahwa sesuatu karya dapat saja bertentangan seratus persen dengan kemauan penulisnya (1982:9). Kecuali itu, sastra sufi lebih bersifat khusus, sedangkan sastra mistik bersifat umum, karena istilah sufi menunjukkan aktivitas kerohanian yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam, sedangkan istilah mistik berhubungan dengan aktivitas kerohanian yang dilakukan tidak terbatas pada kalangan orang Islam saja melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang yang beragama Nasrani, Hindu, Budha, dan sebagainya.
Menurut Hamka, tasawuf adalah pembersihan jiwa dari pengaruh benda dan alam, agar lebih mudah untuk mendekat kepada Allah (Hamka,1952: 77). Abul Qasim Qusairy mengatakan bahwa tasawuf adalah penerapan secara konsekuen terhadap ajaran Al Qur’an dan Sunah Nabi berjuang untuk mengendalikan hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, dan tidak meringan-ringankan ibadah (Asjwadie Sjukur,1978: 7). Al-Ghazali mengatakan bahwa tasawuf adalah memakan yang halal, mengikuti akhlak, perbuatan dan perintah rasul yang tercantum di dalam sunahnya. Berdasar definisi-definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa arti taswuf adalah suatu usaha pendekatan diri kepada Allah secara bersungguh-sungguh berdasarkan Al Qur’an dan Hadis. Cara pendekatan yang ditempuh adalah dengan membersihkan diri dari segala dosa dan perbuatan tercela, serta menghiasi perbuatannya itu dengan budi pekerti yang terpuji, kadang-kadang jalan yang ditempuhnya dengan cara hidup sederhana dan menghindarkan diri dari tempat-tempat yang ramai agar dapat dengan mudah berkomunikasi terhadap Allah.
Fenomena Syekh Siti Jenar merupakan salah satu peristiwa yang masih diperdebatkan di kalangan ilmuwan saat ini. Konsep tasawufnya tentu sangat mengagetkan banyak orang tentang hidup-mati dan manunggaling kawula gusti. Hadir dalam teks drama yang berjudul ‘Syekh Siti Jenar Babad Geger Pengging’ karya Saini K.M. Bentuk drama mempunyai dialog yang berperan untuk menjelaskan watak dan perasaan tokoh dalam drama itu. Dengan adanya dialog maka tergambar bagaimana watak, atau sikap serta perasaan tokoh. Seorang tokoh yang keras kepala terlihat dari bagaimana ia berbahasa dan bertutur dengan orang lain, begitu juga terlihat ketika ada tokoh melankolik dari caranya berbicara dengan orang lain. Seperti pada lakon drama ini yang kami telaah perwatakan tokohnya dari segi psikologis dan sosiologisnya terhadap lingkungan sekitarnya.
Rumusan Masalah
Dalam menganalisis sebuah karya sastra, tentunya penulis selaku pelaku analisis akan dihadapkan dengan berbagai masalah akan penafsiran yang ada pada suatu karya sastra yang dalam hal ini adalah drama “Syekh Siti Jenar Babad Geger Pengging” karya Saini K.M. Oleh karena itu, dalam menganalisis penulis tentunya akan berhadapan dengan masalah-masalah mengenai pemaknaan dan penafsiran tasawuf naskah drama “Syekh Siti Jenar Babad Geger Pengging” karya Saini K.M. Adapun masalah yang akan dibahas oleh penulis dalam makalah ini adalah:
-          Corak ajaran tasawuf yang terlihat di naskah drama tersebut, dan cenderung mengacu pada salah satu ajaran Al-Hallaj.

Tujuan
Alasan-alasan yang telah dikemukakan pada latar belakang merupakan faktor pendorong dibuatnya makalah ini dan setelah mengungkapkan masalah dalam makalah ini, maka tentunya penulis memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam membuat makalah ini. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam yakni terdapat masalah, maka sehubungan dengan itu penulis ingin menyelesaikan masalah tersebut. Adapun tujuannya adalah sebegai berikut:
-    Untuk mengetahui Corak ajaran tasawuf yang terlihat di naskah drama tersebut, dan cenderung mengacu pada salah satu ajaran Al-Hallaj.
PEMBAHASAN
Dalam teks drama ini tentu terdapat banyak tanda-tanda yang menghiasinya. Dalam tanda-tanda tersebut tentu terdapat muatan-muatan makna yang di dalamnya saling berorganisasi dan bertujuan yang sama, yaitu menyajikan kesan-kesan ilmiah dalam kesusastraan religi Indonesia. Syekh Siti Jenar merupakan tokoh sufi yang hadir dalam drama ini dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan simbolisnya terkait dengan sufisme yang dianutnya. Karena memang sejatinya, karya sastra sufi terkenal akan alegori-alegori yang hadir untuk membuat para pembacanya menjadi mengerti tentang hakikat mencintai Tuhan
Maka dari itu, dalam menanggapi persoalan tanda-tanda tersebut, penggunaan teori semiotik dari Ferdinand De Saussure yang digunakan. Ahli bahasa ini tentu mempunyai konsep semiotik yang terkenal dengan petanda dan penandanya. Konsep tersebut merupakan konsep yang memetakan antara hubungan sistem bunyi/lambang dengan aspek semantis/acuan makna.
Ferdinand de Saussure mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen penanda dan komponen petanda. Yang dimaksud dengan penanda adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran. Sedangkan petanda adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran. Selanjutnya, ada yang menyamakan signe itu sama dengan kata; petanda sama dengan ‘makna’; dan penanda sama dengan bunyi bahasa dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu. Hubungan antara penanda dengan petanda sangat erat, karena keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam drama ini terdapat pernyataan-pernyataan yang sekiranya menurut masyarakat muslim pada umumnya sangatlah memalukan, namun tentu apa yang dikatakan pada lakon drama ini bukanlah tanpa arti. Makna peribadatan Syekh Siti Jenar tentu terlihat dalam lakon drama ini. Yaitu peribadatan yang memabukkan sehingga tidak menyadarkan dirinya dan pasti berada di antara dosa dan pahala.
Pernyataan-pernyataan itu yaitu:
S.S. Jenar: Berbahagialah yang mati, karena mereka kembali ke hadirat Tuhan, busa yang terombang-ambing di angin kembali pada samudera.
Santri 1: Kasihan mereka yang hidup Sunan.
S.S. Jenar: Tak ada derita bagi mereka yang tawakal                    (1986:3)

Dari percakapan antara Syekh Siti Jenar dan santrinya saat dalam keadaan melihat para warga masyarakat lalu-lalang dalam kebingungan dan tak lepas dari kesedihan para masyarakatnya. Secara keseluruhan, percakapan tersebut merupakan penanda atau lambang. Syekh Siti Jenar mengucapkan “Berbahagialah yang mati, karena mereka kembali ke hadirat Tuhan”. Hal tersebut mengindikasikan jika manusia yang mati mendapatkan kebahagiaan karena dapat kembali ke rumah Tuhan dengan nyaman dan telah bebas dalam membuat dosa. Selama hidup di dunia, manusia pasti dan selalu membuat dosa. Ketika telah meninggalkan dunia, dia berada di akhirat dan tidak akan berbuat dosa lagi, melainkan menmbus dosa-dosa yang dibuat selama hidup di dunia. Syekh Siti Jenar memaksudkan “bahagia” yaitu pada hidup setelah kematian karena tidak lagi berbuat dosa.
Selanjutnya Syekh Siti Jenar menyampaikan “busa yang terombang-ambing di angin kembali pada samudera”. Hal ini merupakan penanda. Petanda yang dimaksud yaitu berupa acuan yaitu lambang simbolis yang mengindikasikan manusia yang diibaratkan sebuah busa yang kecil tengah berombang-ambing oleh angin. Berombang-ambing oleh angin yaitu di pengaruhi oleh banyak hal selama hidup di dunia, tanpa tujuan dan arah. Hingga kembali pada samudra yang dimaksud yaitu dalam skala lebih besar manusia yaitu Tuhan.
Selanjutnya, sang santri mencoba menanggapi pernyataan Syekh Siti Jenar dengan kesimpulan yaitu jika bahagia yang telah mati, maka yang masih hidup kasihan. Pernyataan simbolis santrinya tersebut untuk menyimpulkan pernyataan gurunya mengenai kebahagiaan saat manusia meninggal. Karena hidup di dunia ini hidup yang penuh dengan berbuat dosa. Maka dari itu, manusia yang masih hdiup merupakan manusia yang berkesedihan akan dosa-dosa. Namun sang guru segera memperbaiki pernyataan muridnya yaitu dengan menyatakan hidup yang bertawakkal tidak akan membuat kita menjadi menderita karena dosa-dosa. Hal tersebut juga sangat berguna karena selama kita masih hidup dan selalu tawakkal kita akan menjemput kematian dengan tenang dan tersenyum karena terbebas dari penebusan dosa dan mendapatkan penebusan atas pahala-pahala yang manusia lakukan saat masih hidup di dunia ini.
S.S. Jenar: Betapa rapuh air ketika bernama gelembung, tanpa arah di angkasa diterbangkan angin. Betapa terbatas dan fana air ketika ia bernama percik dan tidak bernama samudera.
Betapa rapuh engkau ketika kau bernama manusia dan terlunta-lunta di muka bumi, betapa hina ketika kau bernama mahluk dan bukan khalik.
Betapa kecil dan menderita engkau ketika kau bernama Siti Jenar dan tidak bernama Tuhan dan lupa bahwa tiada batas antara kau dan Aku, antara aku dan Kau, antara Kau dan aku.
Karena tiada engkau kecuali Aku. Kecuali Engkau kecuali Aku, kecuali Engkau, kecuali aku. Lailahailallah, Lailahailallah, Lailahailallah.                                                              (1986: 7)

Dari penanda tersebut, dapat disimpulkan bahwa petandanya mengindikasikan sebuah manifestasi dari Syekh Siti Jenar yang sangat alegoris dalam perkataannya. Syekh Siti Jenar mengibaratkan dirinya sebagai hal yang sangat kecil dalam bentuknya, seperti gelembung air yang tentu sangat mudah untuk dapat diterbangkan ke mana saja. Seperti dirinya dapat dipengaruhi oleh berbagai hal yang tentu pula dapat merubah dirinya menjadi sesuatu yang lain dari sifat lahiriahnya. Selanjutnya ia dipercaya sebagai suatu hal yang sangat perlu dikasihani karena bukan merupakan suatu yang dominan dan dianggap pemegang kuasa.
“Betapa rapuh engkau ketika kau bernama manusia dan terlunta-lunta di muka bumi, betapa hina ketika kau bernama mahluk dan bukan khalik”. Penanda tersebut merupakan petanda karena manusia memang rapuh dan sangat tidak terkontrol hidupnya selama hidup di muka bumi ini. Seolah dia sangat membutuhkan nama Sang Khalik sebagai pemilik kuasa atas dirinya sendiri.
Pernyataan di atas tentu sangat berguna bagi kemoralan manusia. Karena nama kita hanya sebagai sebuah manifestasi kehidupan. Untuk skala pemegang kuasa luar tertentu. Manusia diharapkan menjadi sebuah daging yang berisi dalam terjemahan pahala. Maka dari itu, Syekh Siti Jenar terkena dosa-dosa alamiah karena mencoba menjadi sesuatu yang sejati dan Maha ideal. Seolah tiada batas antara Syekh Siti Jenar dengan Tuhan. Sehingga muncul anggapan bahwa Syekh Siti Jenar menganggap dirinya pada Tuhan sebagai hidup dan matinya.
Wujud Aku bersama aku, tetapi juga terpisah dengan aku. Sifat-sifat-Nya menyusup dalam aku. (Sudardi, 2003:103). Ajaran Syekh Siti Jenar terdapat suatu ajaran yang  menggemparkan yaitu: Dalam diri manusia ada Aku yang sejati yang dianggap sebagai Tuhan sejati. (Sudardi, 2003: 104). Dari dua kutipan tersebut, dapat disimpulkan jika Syekh Siti Jenar memang ingin benar-benar menerapkan konsep Manunggaling Kawula Gusti. Maksud “Aku” yaitu merujuk pada Tuhan. Karena ajaran tasawufnya menjadikan dirinya menjadi satu padu dengan Tuhan sebagai pemilik kuasa dirinya.
S. S. Jenar: Benar, kalau yang dimaksud adalah sembahyang biasa, sembahyang lahiriah. Tidak benar, kalau yang dimaksud adalah upaya yang terus menerus menjelmakan sifat-sifat ilahi yang ada pada diri kita. Rakyat Pengging melakukan sembahyang yang kedua ini, sembahyang rohaniah dan jasmaniah. Mereka senantias bertanya pada diri mereka setiap kali mereka akan melakukan sesuatu, apakah perbuatan mereka merupakan penjelmaan dari sifat keilahian yang ada pada diri mereka? Kiranya jelas sembahyang yang demikian itu tidak mengenal waktu.                      (1986: 28)

Penanda tersebut merupakan pernyataan yang dikeluarkan saat Sunan Giri bertanya kepada Syekh Siti Jenar tentang perihal rakyat Pengging yang telah meninggalkan sholat / sembahyang. Jadi petanda menurut Syekh Siti Jenar sesuai pernyataan tersebut, dia mengajarkan untuk mengganggap tidak penting terhadap sholat lima waktu, karena menurutnya sholat tidak mengenal waktu dan boleh kapan saja saat manusia mempunyai waktu luang. Dia juga tidak perlu melakukan sholat lima waktu seperti biasanya, karena terlalu duniawi, dia menginginkan sholat yang menjelmakan sifat-sifat ilahi pada dirinya.
Tuntunan agama Islam tidak perlu lagi karena dalam Aku sejati tersebut tidak ada yang disembah dan menyembah. Aku adalah Tuhan yang mempunyai 20 sifat. (Sudardi, 2003: 104). Kutipan tesebut menunjukan bahwa Syekh Siti Jenar tidak ingin melakukan bentuk penyembahan kepada Tuhan, karena dia menganggap Tuhan telah ada dalam dirinya. Jadi tidak perlu diadakan bentuk penyembahan dalam bentuk sholat atau sembahyang seperti  biasanya, karena akan tercipta ketidakbergunaan dan pembuangan waktu untuk yang tidak perlu.
KESIMPULAN
Dari uraian atau pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sesuai dengan tujuan makalah ini yaitu corak tasawuf yang muncul dalam drama / lakon Syekh Siti Jenar Babad Geger Pengging merupakan salah satu dari ajaran Al Hallaj yaitu Wahdatul Wujud. Ajaran tasawuf tersebut yaitu ajaran yang menginginkan manusia menjadi satu wujud dengan Tuhan dalam diri manusia itu.
Sesuai dengan ajaran yang dapat diambil dari Syekh Siti Jenar pada lakon tersebut yaitu: Dalam diri manusia ada Aku yang sejati yang dianggap sebagai Tuhan sejati dan tuntunan agama Islam tidak perlu lagi karena dalam Aku sejati tersebut tidak ada yang disembah dan menyembah. Aku adalah Tuhan yang mempunyai 20 sifat. Tuhan telah bersemayam dalam diri setiap manusia, Tuhan disebut sebagai Aku sejati. Sehingga tidak perlu melakukan perintah wali sanga untuk sholat dan lain-lain. Ada satu hal lagi yang dapat dikemukakan yaitu hidup di dunia ini adalah kematian, tujuan utamanya ialah mencapai kehidupan dengan Aku sejati. Jadi tidak perlu kita sebagai manusia mencari hidup yang senang dan nyaman, karena kehidupan yang mempunyai kesenangan sejati yaitu saat kehidupan bersama Tuhan setelah manusia meninggal. Menurutnya, raga ini hanya sebuah bangkai yang tidak berarti dan akan berarti jika manusia meninggalkan hidup ini.

Daftar Pustaka
- Aminuddin. 1988. Semantik. Pengantar tentang Studi Makna. Bandung: Sinar Baru.
- K.M, Saini. 1986. Syekh Siti Jenar. Babad Geger Pengging. Bandung.
- Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Salam, Aprinus. 2004. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKiS
- Sudardi, Beni. 2003. Sastra Sufistik. Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia. Surakarta: PT. Tiga Serangkai.
- W.M, Abdul Hadi. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumur. Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar